[Historiana] - Sejak dahulu, masyarakat Sunda telah memiliki tiga kelembagaan yang masing-masing memiliki tugas yang berbeda satu sama lain. Tiga kelembagaan tersebut memiliki kekuasaan dalam bidangnya masing-masing. Model pembagian/pemisahan kekuasaan tradisional masyarakat Sunda beserta aturan-aturan lainnya cukup jelas digambarkan dalam teks Fragmen Carita Parahyangan (FCP) (abad ke-16 M). . Dalan Sejarah Kerajaan Sunda, dikenal pembagian kekuasaan yang disebut sebagai "Tri Tangtu di Buwana". Konsep ini kekuasaan memimpin masyarakat dibagi kepada Ratu (prebu), Rama, Resi.
Prebu-rama-resi inilah yang disebut sebagai Tri Tangtu di Buana (Tiga golongan yang menentukan roda kekuasaan di dunia). Sistem kekuasaan pada masyarakat Sunda pada masa itu harus dibagi-bagi sedemikian rupa sehingga yang satu terpisah dari yang lainnya. Hal tersebut tentunya sangat beralasan supaya kekuasaan kerajaan tidak terpusatkan pada satu tangan (raja). Dengan pemisahan kekuasaan-kekuasaan itu dapatlah dicegah tindakan-tindakan penguasa secara sewenang-wenang dan kebebasan berpolitik dalam kerajaan akan lebih terjamin.
Diuraikan dalam FCP lempir 5b bahwa, sang prebu itu harus ngagurat batu (menggores batu) yang berarti berwatak teguh dalam menjalankan aturan, sedangkan sang rama harus ngagurat lemah (menggores tanah) yang berarti berwatak bisa menentukan pijakan atau aturan bagi para pelaksana pemerintahan, dan sang resi harus ngagurat cai (menggores air) yang berarti berwatak menyejukkan dan adil. Di sini tampak adanya perbedaan antara organ dan fungsi itu (Darsa, dkk. 2000: 61).
Naskah FCP mengisahkan masa kekuasaan raja Sunda pertama yaitu Sang Tarusbawa hingga kisah Rakeyan Darmasiksa. Pembahasan Naskah FCP ini kita fokuskan pada kebijakan dan aturan yang dikeluarkan oleh Maharaja Tarusbawa. Secara garis besar, teks naskah FCP berisi mengenai tiga kisah utama para penguasa kerajaan Sunda yang berpusat di ibukota Pakuan Pajajaran. Ketiga kisah yang dimaksud adalah:
- Pendahulu Maharaja Tarusbawa,
- Maharaja Tarusbawa penguasa Pakuan Pajajaran yang bertakhta di keraton “Sri-Bima Punta Narayana Madura Suradipati”, dan
- Rakeyan Darmasiksa penguasa dari Saunggalah yang mewarisi keraton di Pakuan Pajajaran (Darsa, dkk., 2000: 59-60).
Ada beberapa hal yang dapat digali dari isi teks FCP, di antaranya. Pertama, sistem pembagian kekuasaan didasarkan atas Tri Tangtu di Buana (tiga penentu urusan di negara) yang terdiri atas golongan: (1) Prebu ialah raja yang bisa dianalogikan sebagai pemegang lembaga eksekutif, (2) Rama ialah tokoh yang dituakan oleh masyarakat yang bisa dianalogikan sebagai pemegang lembaga legislatif, dan (3) Resi ialah kaum “akademisi” dan agamawan yang bisa dianalogikan sebaga pemegang lembaga yudikatif. Kedua, sistem birokrasi dalam hal kekuasaan mengatur seluruh daerah di dalam wilayah kerajaan telah tampak didasarkan atas sistem desentralisasi yang terbagi menjadi 12 wilayah penguasa yang memungkinkan daerah-daerah itu tumbuh secara otonom (Sunda: berkembang sesuai dengan ciri sabumi cara sadésa). Inilah salah satu ciri telah tumbuhnya “Bhineka Tunggal Ika”. Ketiga, model pengaturan pemerintahan yang dikelola melalui pangwereg yang bersifat top-down dan pamwatan yang bersifat bottom-up dalam upaya meningkatkan stabilitas otonomi daerah demi menjamin kehidupan kesejahteraan masyarakat.
Dengan demikian, isi teks naskah FCP ini telah mampu memberikan sebagian gambaran bahwa masyarakat Sunda di masa lampau telah memiliki satu taraf kehidupan sosial kemasyarkatan yang cukup teratur, seperti juga sebagian masyarakat lainnya yang ada di Nusantara. Masyarakat lama telah mewariskan sesuatu yang mungkin sama sekali di luar perhitungan dan perkiraan kita saat ini.
Masalahnya, antara lain, kurangnya pengetahuan dan pengenalan kita terhadap khazanah pernaskahan bangsa kita sendiri. Terbukti, banyak hal yang saat ini sedang menjadi urusan besar, namun telah terbiasa bagi masyarakat masa silam.
Kerajaan Sunda sendiri adalah sebuah federasi yang menganut sistem desentralisasi, di mana wilayahnya terbagi atas 12 negara bagian, yakni Galunggung, Denuh, Sanghyang Talagawarna, Mandala Cidatar, Geger Gadung, Windupepet, Galuh Wetan, Mandala Utama Jangkar, Mandala Pucung, Reuma, Lewa, dan Kandangwesi. Masing-masing negara bagian/wilayah memiliki Tri Tangtu di Buana (prebu, rama, resi) tersendiri (di Indonesia sekarang sejenis dengan gubernur dan DPRD).
Dalam FCP yang di dalamnya melibatkan Tri Tangtu di Buana yang mengandung aspek-aspek komunikasi politik di Kerajaan Sunda. Hal ini ditandai oleh terdapatnya pesan-pesan yang isinya menyangkut pembagian/ pemisahan kewenangan dan kewajiban Tri Tangtu di Buana (prebu, rama, resi). Para pemangku kebijakan dalam masyarakat ini mendapatkan mandat dari aturan atau ketentuan tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh para penyelenggara pemerintahan pada masa itu. Pesan-pesan tentang pembagian kekuasaan ini tersurat dalam FCP lempir 7b-8a.
Kutipan bagian-bagian teks di bawah ini, yaitu bagian-bagian teks naskah FCP yang berisi pembagian kekuasaan yang mengandung aspek komunikasi politik dalam Tri Tangtu di Buana tersebut:
Maharaja Tarusbawa berkata,
“Bagi kalangan Resi diperkenankan melaksanakan seperangkat aturan dasar demi kedamaian di seluruh negeri, yang bertanggung jawab atas urusan kesentosaan. Kalangan Rama (diperkenankan) merumuskan seperangkat aturan dasar demi ketertiban undang-undang pemerintahan, yang bertanggung jawab atas urusan bimbingan. Kalangan Prebu diperkenankan melaksanakan rumusan seperangkat aturan dasar demi ketertiban kedudukan pemimpin (raja), yang bertanggung jawab atas urusan pemerintahan…” (lempir nomor 7b).
Kalimat-kalimat yang terdapat dalam kutipan teks di atas merupakan kalimat berita tidak langsung yang berisikan titah Maharaja Tarusbawa, di mana pembagian kewenangan dan tugas kenegaraan bagi kalangan prebu, rama dan resi masih menjadi isi dari teks yang terkandung pada bagian ini. Prebu merupakan kepala pemerintahan, rama adalah wakil dari kerajaan yang bertugas membimbing rakyat, sedangkan resi merupakan pengadil. Setelah Maharaja Tarusbawa melakukan pembagian kewenangan dan tugas tersebut, beliau pun menyampaikan sebuah kalimat yang di dalamnya terdapat nilai moral, seperti yang tertuang dalam kutipan teks berikut:
“…Oleh karena itulah tidak pantas bila berebut kedudukan, dan hendaknya janganlah khawatir saling berebut wilayah kekuasaan. Nah, begitulah kalian bagi kalangan Prebu, Rama, dan Resi semua sebagai kaum pejabat pengatur tanah air…” (lempir nomor 7b)
Kedua kalimat ini adalah kalimat penyimpulan dari kalimat sebelumnya yang berisi pembagian kekuasaan prebu, rama dan resi oleh Maharaja Tarusbawa. Karena kalangan prebu, rama dan resi telah diberikan wewenang masing-masing, maka tidak ada alasan bagi masing-masing orang yang memegang jabatan untuk berebut kedudukan dan wilayah kekuasaan, karena seluruhnya sudah diatur dengan adil oleh Maharaja Tarusbawa. Akhirnya, beliau memperjelas kalimat pembagian kekuasaan tersebut dengan sebuah kalimat penegasan, seperti yang tercantum dalam kutipan berikut:
“…Jikalah sudah sepakat semua, maka mengenai urusan kekuatan itu bagian kalangan Prebu, urusan kata-kata itu bagian kalangan Rama, dan urusan pikiran dan perasaan itu bagian kalangan Resi.” (lempir nomor 8a)
Kalimat ini adalah penutup dari bagian kedua. Maharaja Tarusbawa kembali memberikan penjelasan peran prebu, rama dan resi dalam menjalankan tugas kenegaraannya. Hanya saja, kalimat yang dipakai lebih tersirat. Prebu memegang urusan kekuatan, artinya prebu memiliki kekuasaan untuk menjalankan roda pemerintahan dan berperan pula sebagai penentu kebijakan, rama memegang urusan kata-kata, artinya rama adalah penyalur aspirasi dari rakyat pada pemimpin, dan pembimbing untuk rakyat. Resi memegang urusan pikiran dan perasaan, artinya resi berperan sebagai “otak dan hati” kerajaan; di mana resi berperan besar untuk masalah peradilan demi mewujudkan negara yang adil, makmur dan sentosa.
Kalimat-kalimat yang terdapat dalam kutipan teks pembagian kekuasaan merupakan kalimat berita tidak langsung yang berisikan titah Maharaja Tarusbawa, di mana pembagian kewenangan dan tugas kenegaraan bagi kalangan prebu, rama dan resi masih menjadi isi dari teks yang terkandung pada bagian ini. Prebu merupakan kepala pemerintahan, rama adalah wakil dari kerajaan yang bertugas membimbing rakyat, sedangkan resi merupakan pengadil. Karena kalangan prebu, rama dan resi telah diberi wewenang masing-masing, maka tidak ada alasan bagi masing-masing orang yang memegang jabatan untuk berebut kedudukan dan wilayah kekuasaan, karena seluruhnya sudah diatur dengan adil oleh Maharaja Tarusbawa. Prebu memegang urusan kekuatan, artinya prebu memiliki kekuasaan untuk menjalankan roda pemerintahan dan berperan pula sebagai penentu kebijakan, rama memegang urusan kata-kata, artinya rama adalah penyalur aspirasi dari rakyat pada pemimpin, dan pembimbing untuk rakyat. Resi memegang urusan pikiran dan perasaan, artinya resi berperan sebagai “otak dan hati” kerajaan; di mana resi berperan besar untuk masalah peradilan demi mewujudkan negara yang adil, makmur dan sentosa.
Sistem pembagian wilayah kekuasaan ini berisi tentang pesan-pesan yang disampaikan oleh Maharaja Tarusbawa dan orang-orang berpengaruh di kalangan kerajaan yang membagi wilayah kekuasaan kepada para pemangku jabatan wilayah dalam masyarakat Sunda kuno. Bagian-bagian teks naskah FCP yang berisi pembagian wilayah kekuasaan Kerajaan Sunda yang mengandung aspek komunikasi politik dalam Tri Tangtu Di Buana tersurat dalam bagian-bagian teks berikut:
Dikatakan bahwa anak-anaknya yang bernama Sang Resi Putih, Bagawat Sangkan Windu, Bagawat Cinta Kelepa, Bagawat Cinta Putih, Bagawat Angga Sunyia, Bagawat Tiga Mrewasa, Bagawat Angga Brama, Bagawat Resi Karangan, Bagawat Cinta Premana, Bagawat Tiga Warna, Bagawat Pitu Rasa kembali ke Pakuan, ke keraton Sri “Bima Punta Narayana Madura Suradipati”. Datang mengabdi kepada Maharaja Tarusbawa, baik dari kalangan resi, raja, dengan premana… (lempir nomor 25a-26b).
Kalimat-kalimat pada bagian di atas berisikan informasi bahwa orang-orang kepercayaan Maharaja Tarusbawa datang ke Keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati yang merupakan Pakuan (pusat pemerintahan) Kerajaan Sunda.
Setelah kalimat-kalimat informatif tersebut, Maharaja Tarusbawa menyampaikan kalimat-kalimat pelantikan yang berisi pengangkatan Sang Resi Putih sebagai rama di Galunggung. Seperti yang tersurat dalam kutipan teks berikut:
…Maharaja Tarusbawa berkata, “Anakku, Sang Resi Putih, engkaulah yang bertanggung jawab dalam urusan kependidikan; dinobatkan sebagai Batara Dangiang Guru di Galunggung, dan dijadikan sebagai pelindung wilayah, guna menaungi masyarakat daerah yang kegerahan, sebagai lambang ketenteraman negeri. Jaminan kehidupanmu adalah bertanggung jawab pada bidang pendidikan. Tanggung jawabmu ialah mengenai urusan kesejahteraan. Hendaklah jangan beristeri dua atau tiga, satu suami-isteri lebih mulia. Engkau akan dijadikan panutan seluruh masyarakat, dijadikan sebagai peneguh negeri, sebagai pijakan di bumi, kepercayaan setiap orang yang hidup. Apabila engkau berniat beristeri dua atau tiga dapat berdampak buruk sehingga dikatakan keadaan akan jadi kacau…” (lempir nomor 26b-26a)
Dalam bagian ini, Maharaja Tarusbawa menyampaikan pesan berupa kalimat langsung kepada Sang Resi Putih. Sang Resi Putih sendiri dinobatkan sebagai Batara Dangiang Guru, yaitu rama yang bertanggung jawab dalam urusan pendidikan dan ketentraman penduduk wilayah Galunggung. Pada kalimat kedua, pada intinya, Sang Resi Putih hanya boleh memiliki satu istri dan diharamkan berpoligami, karena apabila poligami dilakukan, maka akan terjadi hal yang tidak diharapkan. Disebutkan pula bahwa Sang Resi Putih yang bergelar Batara Dangiang Guru adalah seorang rama yang bertanggung jawab atas urusan kesejahteraan dan menjadi panutan masyarakat.
Lalu, setelah Maharaja Tarusbawa melantik Sang Resi Putih sebagai rama di Galunggung, beliau melantik Bagawat Sangkan Windu sebagai prebu di Denuh. Berikut kutipan teksnya:
…Tersebutlah kesepakatan para penerus seisi istana yang bernaung ke Pakuan. Oleh Maharaja Tarusbawa, Bagawat Sangkan Windu dinobatkan sebagai pemerkokoh Denuh. Hidupnya sebagai peneguh negeri serta seluruh manusia. “Isterimu mesti seorang, dan hendaknya jangan mendua atau tiga karena dapat berdampak buruk sehingga dikatakan keadaan akan jadi kacau, itulah yang dikhawatirkan…” (lempir nomor 26a-10a).
Dalam bagian ini, Maharaja Tarusbawa memberikan kewenangan kepada Bagawat Sangkan Windu untuk menjadi prebu di Denuh. Beliau ditugaskan sebagai pemimpin masyarakat. Sama seperti sebelumnya, Bagawat Sangkan Windu diharamkan untuk berpoligami karena dikhawatirkan keadaan akan menjadi buruk.
Selanjutnya, Maharaja Tarusbawa melantik Bagawat Resi Kelepa sebagai rama di Mandala Cidatar. Seperti yang tertuang dalam kutipan teks berikut:
…Tersebutlah kesepakatan para penerus seisi istana yang bernaung ke Pakuan. Bagawat Resi Kelepa yang dinobatkan sebagai Batara Walayut berkedudukan di Mandala Cidatar. Dia dijadikan pemerkokoh negeri, sebagai daerah kunci. Kewenangannya beristeri satu. “Apabila engkau berniat beristeri dua atau tiga dapat berdampak buruk, dikatakan tidak pantas…” (lempir nomor 10a-10b).
Bagawat Resi Kelepa dinobatkan sebagai Batara Walayut, yakni rama yang berkedudukan di Mandala Cidatar oleh Maharaja Tarusbawa. Disebutkan pula bahwa Mandala Cidatar adalah daerah kunci di wilayah Kerajaan Sunda. Beliau pun hanya bisa memperistri satu wanita, karena apabila beristri lebih dari satu, hal itu bukanlah sesuatu yang pantas untuk dilakukan.
Lalu, Maharaja Tarusbawa mengeluarkan sebuah kalimat yang berisi pelantikan Bagawat Cinta Putih untuk menduduki jabatan prebu di Gegergadung, yang kutipan teksnya terdapat di bawah ini:
…Tersebutlah kesepakatan para penerus seisi istana yang bernaung ke Pakuan. Sementara itu, Bagawat Cinta Putih dinobatkan sebagai Batara di Gegergadung. Dia menjiwai sifat mulia yang penuh tawakal, selang-selang tetap sekedar berdoa, bagaikan dunia dan raga tengadah, yang dijadikan harapan kehidupan suci, mengharap berkah kekayaan. Hendaklah jangan beristeri dua atau tiga karena dapat berdampak buruk sehingga dikatakan keadaan akan jadi kacau, khawatirnya dikatakan tidak pantas memiliki integritas. Sang Prebu selalu menyadari kekuasaan, baik yang besar maupun yang kecil. Demikianlah. (lempir nomor 10b-2a).
Pada bagian teks ini, Bagawat Cinta Putih yang menjiwai sifat mulia yang penuh tawakal diangkat sebagai prebu di Gegergadung. Beliau juga hanya diperkenankan untuk beristri satu, karena apabila beristri lebih dari satu, bisa menyebabkan keadaan menjadi kacau dan menghilangkan integritas prebu yang beliau emban. Dikatakan pula bahwa salah satu sifat prebu yaitu selalu menyadari kekuasaan yang ia miliki, baik itu kekuasaan yang besar (kekuasaannya dalam menjalankan tugasnya sebagai pemimpin masyarakat) maupun kekuasaan yang kecil (kekuasaannya dalam mengendalikan dirinya sendiri).
Setelah pelantikan Bagawat Cinta Putih tersebut, Maharaja Tarusbawa kemudian mengangkat Bagawat Cinta Premana sebagai rama di Puntang. Berikut ini adalah kutipan teksnya:
Tersebutlah kesepakatan para penerus seisi istana yang bernaung ke Pakuan. Oleh Maharaja Tarusbawa, Bagawat Cinta Premana dinobatkan sebagai Sanghyang Premana di Puntang. Dari situlah permulaan apa yang harus diperbuat oleh yang berdaulat apabila sanggup memperkokoh hakikat alam kesejahteraan. Jagat diartikan sebagai buana. Tri Buana terdiri atas bumi, antara, dan angkasa; termasuk di dalamnya langit, rasi bintang, dan kilauan nebula (gugusan bintang) pada malam hari. Itulah sebabnya alam raya bernama demikian. Seandainya itu dipahami dan diamalkan para siswa, maka berarti akan sejahtera. Apabila kalian berniat mempersaudarakan dalam satu kerabat bermadu isteri saudara tua, memperbudak tanpa tebusan, menghukum tak berdasarkan aturan; maka khawatir dapat berakibat hancurnya negeri… (lempir nomor 2b-3a)
Pada bagian ini, Maharaja Tarusbawa memberikan kewenangan kepada Bagawat Cinta Premana menjadi rama di Puntang dengan gelar Sanghyang Premana. Beliau bertugas sebagai wakil rakyat yang membimbing masyarakat menuju kesejahteraan. Disebutkan bahwa apabila masyarakat mengerti akan hakikat kehidupan, maka kesejahteraan akan datang dengan sendirinya. Disebutkan pula bahwa bila para pemegang kekuasaan bermadu isteri saudara tua, memperbudak tanpa tebusan dan menghukum tak berdasarkan aturan, maka negeri akan hancur. Di dalam bagian teks ini disebutkan juga konsep Tri Buana.
Lihat juga versi videonya
Selepas melantik bagawat Cinta Premana menjadi rama di Puntang, Maharaja Tarusbawa lalu menyampaikan sebuah kalimat informatif yang berisi tentang pengangkatan Bagawat Tiga Warna sebagai rama di Mandala Pucung. Beliau bersama istrinya bertugas membimbing masyarakat menuju kesejahteraan. Berikut ini kutipan teksnya:
…Tersebutlah kesepakatan para penerus seisi istana yang bernaung ke Pakuan. Oleh Maharaja Tarusbawa, Bagawat Tiga Warna dinobatkan sebagai penebar anak (murid) di Mandala Pucung, diberi kewenangan bagi isterinya… (lempir nomor 3a).
Pada kalimat terakhir dari bagian teks lembar 25a-3b FCP ini, Maharaja Tarusbawa memberikan kewenangan kepada Bagawat Piturasa sebagai rama di Mandala Utama Jangkar. Sebagaimana yang tertuang dalam kutipan teks berikut:
…Bagawat Piturasa dinobatkan sebagai Batara Sugih Warna di Mandala Utama Jangkar, diberi kewenangan isterinya merencanakan pelaksanaan persiapan didirikannya pintu gerbang, mengingat pada bekas Maharaja Tarusbawa bermukim dahulu keluar lewat gerbang istana itu. (lempir nomor 3a-3b).
Bagawat Piturasa dinobatkan sebagai Batara Sugih Warna di Mandala Utama Jangkar, di mana Mandala Utama Jangkar merupakan tempat keluarnya Maharaja Tarusbawa dari wilayah kerajaan. Mandala Utama Jangkar terletak pada batas terluar Kerajaan Sunda, di mana Maharaja Tarusbawa memberikan kewenangan pada istri dari Bagawat Piturasa untuk merencanakan pelaksanaan persiapan didirikannya pintu gerbang wilayah Kerajaan Sunda.
Jadi, konstruksi kalimat yang mengandung teks Tri Tangtu di Buana dalam Fragmen Carita Parahyangan (FCP) pada tahap pertama menunjukkan bahwa Tri Tangtu di Buana adalah tiga lembaga yang terdiri dari prebu, rama, dan resi. Prebu memegang urusan kekuatan, artinya prebu memiliki kekuasaan untuk menjalankan roda pemerintahan dan berperan pula sebagai penentu kebijakan.
Maharaja Tarusbawa mengangkat Bagawat Sangkan Windu dan Bagawat Cinta Putih sebagai prebu di Denuh dan Gegergadung. Rama memegang urusan kata-kata, artinya rama adalah penyalur aspirasi dari rakyat pada pemimpin, sekaligus sebagai pembimbing untuk rakyat. Berkaitan dengan rama, Maharaja Tarusbawa mengangkat Sang Resi Putih, Bagawat Resi Kelepa, Bagawat Cinta Premana, Bagawat Tiga Warna, dan Bagawat Piturasa sebagai rama di Galunggung, Mandala Cidatar, Puntang, Mandala Pucung, dan Mandala Utama Jangkar. Resi memegang urursan pikiran dan perasaan, artinya resi berperan sebagai “otak dan hati” kerajaan; di mana resi berperan besar untuk masalah peradilan demi mewujudkan negara yang adil, makmur, dan sentosa. Ketiga lembaga tersebut mengandung aspek-aspek komunikasi politik dalam peristiwa pembagian kekuasaan dan pembagian wilayah kekuasaan Kerajaan Sunda. Peristiwa pembagian kekuasaan tertuang dalam naskah FCP lempir 7b-8a, sedangkan peristiwa pembagian wilayah kekuasaan tersurat dalam lempir 25a-3b.
Terdapat kaitan yang kuat antara pembagian kekuasaan Tri Tangtu di Buana dalam naskah FCP pada lembar 7b-8a dengan teks pembagian kekuasaan pada lembar 4b-5a yang berisi tentang pembagian kekuasaan oleh Maharaja Tarusbawa kepada kalangan prebu, rama dan resi dalam menjalankan tugasnya. Berikut ini adalah kutipan teks FCP lembar 4b-5a yang berisi tentang proses pembagian kekuasaan dalam Kerajaan Sunda yang melibatkan Tri Tangtu di Buana:
Anggeus pahi diduuman ku Maharaja Tarusbawa, diduuman deui jagat, saukur nu wenangkeun rabi tunggal. Na jagat kreta di sang resi dijiéunan lemah putih, lemah pasartan husireun wong kapanasan; jagat darana di sang rama; jagat palaka di sang prebu. Kéh mulah dék paala-ala, palungguh-lungguhan. Haywa pamali pangmeunang dék paala-ala.
Terjemahan:
Setelah semua mendapat bagian dari Maharaja Tarusbawa, dibagi lagi tanggung jawab kekuasaan, untuk setiap yang diharuskan beristeri satu. Maka dunia kesentosaan tanggung jawab kalangan Resi yang dijadikan sebagai tempat suci, tempat mencari keadilan orang yang teraniaya. Dunia bimbingan tanggung jawab kalangan Rama. Dunia pemerintahan tanggung jawab kalangan Prebu. Nah janganlah saling berebut kedudukan. Hendaklah jangan khawatir saling berebut penghasilan (lembar nomor 4b dan awal lempir 5a).
Kaitan kuat juga terjadi dalam teks Tri Tangtu di Buana dalam naskah FCP dengan Tri Tangtu di Buana dalam naskah Amanat Galunggung (AG). Kedua bagian teks ini menyebutkan tentang pembagian kekuasaan prebu, rama dan resi dalam lingkup Tri Tangtu di Buana. Bagian yang persis sama terdapat pada bagian kalimat yang menyebutkan bahwa dunia bimbingan adalah tanggung jawab rama, dunia kesentosaan menjadi tanggung jawab resi, dan dunia pemerintahan menjadi tanggung jawab prebu. Sama halnya dengan kalimat yang menyebutkan bahwa dalam pekerjaanya sebagai pejabat, hendaknya kalangan prebu, rama dan resi tidak berebut penghasilan.
Hanya saja, pada bagian teks yang terdapat pada naskah lontar Amanat Galunggung (AG), bagian akhirnya juga menyebutkan hal-hal yang harus dilakukan untuk menjadi seorang pejabat yang mulia, dengan perbuatan, ucapan dan sifat-sifat yang terpuji. Dengan menjiwai sifat-sifat tersebut, niscaya para pemegang tampuk kekuasaan ini akan menjadi teladan masyarakat. Keterkaitan ini membentuk sebuah intertekstualitas, di mana esensi teks yang sama terkandung dalam dua naskah yang berbeda. Kaitan ini semakin menguatkan konsep Tri Tangtu di Buana sebagai sistem kelembagaan Kerajaan Sunda yang menganut pembagian/pemisahan kekuasaan dan memuat unsur-unsur politik yang kuat, yang di dalamnya juga terkandung aspek-aspek komunikasi politik. Aspek komunikasi politik yang terkandung di dalam kedua naskah ini berkaitan dengan aktor politik (Maharaja Tarusbawa) dan pesan-pesan politik yang berkaitan dengan pembagian kekuasaan dan sikap-sikap yang harus dimiliki oleh prebu, rama, dan resi dalam sistem pemerintahan Tri Tangtu di Buana.
Jadi, konsep Tri Tangtu di Buana ini mulai dijalankan di lingkungan elit Kerajaan Sunda mulai dari Kerajaan Sunda berdiri (setelah Kerajaan Tarumanagara tenggelam pada abad ke-7 M) hingga Kerajaan Sunda tenggelam pada abad ke-16 M. Dengan kata lain, teks Tri Tangtu di Buana yang banyak mengandung aspek komunikasi politik ini dikomunikasikan melalui naskah Fragmen Carita Parahyangan selama 9 abad lamanya.
Sumber:
Permana, Rangga Saptya Mohamad., M.I.Kom. 2015. "Makna Tri Tangtu di Buana yang Mengandung Aspek Komunikasi Politik dalam Fragmen Carita Parahyangan". Jurnal Kajian Komunikasi, Volume 3, No. 2, Desember 2015 hlm 173-191. academia.edu Diakses 18 Nopember 2020.