Cari

Batu Yantra sebagai Diagram Magis di Tatar Sunda | Batu Berukir dari Tapos Jawa Barat

[Historiana] - Di Indonesia budaya-budaya eksternal tidak diterima begitu saja, proses sinkretisme terjadi di dalamnya melalui proses yang panjang, suatu pengadopsian budaya luar oleh budaya nenek moyang. Jika kita menyimak contoh kasusnya seperti pola Islam Kejawen, bagaimana Sultan menghadiri suatu ritual mengenakan pakaian batik bercorak kaligrafi ayat kitab suci, atau ketika Raden Saleh menerjemahkan Injil ke dalam bahasa Jawa semasa di Belanda, dan Tradisi Hindu-Budha yang meninggalkan artefaknya di beberapa bagian tanah-tanahIndonesia yang disertai mitos dan serat berbahasa Sunda dan Jawa. Ini suatu cerminan bahwa budaya terjadi atas konsepsi religi. Seluruh agama menghasilkan tradisi kesenian itu sendiri, termasuk Tantra yang meninggalkan jejaknya melalui artefak batu berukir. 

Estetika seni tidak berdiri secara otonom, ia dijangkit oleh variable-variabel budaya secara sistemik. Batu Nyantra adalah salah satu contoh sebuah produk budaya yang kini berada di museum Sribaduga Bandung. Ada dua batu yang memiliki  ukiran Mandala. Menurut Sutresno seorang staf pemandu museum, batu ini telah berada di Museum Sribaduga pada tahun 1980 atas pemindahan dari MUSKALA (Museum Purbakala) yang sebelumnya ditemukan oleh seorang sejarawan Sunda berikut akademisi IKIP Bandung yang kemudian menetap di Bogor –yaitu Profesor Saleh Danasasmita pada tahun 1979. Beliau pernah pula menuliskan kajian tentang salah satu batu tersebut di jurnal Lembaga Kebudayaan UNPAD pada tahun 1982 berjudul “Keterangan tentang ‘Batu Berukir’ dari Tapos Ciampea Bogor.” Inilah yang menjadi pengembangan dan kritik kajian oleh penulis dengan cara mengkaji ulang motif berukir batu Nyantra tersebut dan mengidentifikasi batu lainnya yang diduga juga merupakan medium spiritual.

Tidak ada informasi yang mendetail terkait penyebaran Tantra di Indonesia. Itu disebabkan karena Tantra tersebar secara acak dari Sumatera hingga Bali. Identifikasinyahanya dapat dicapai melalui penemuan artefak, seperti pada prasasti kalasan di Jawa Tengah pada tahun 778. Menurut Saleh Danasasmita disebutkan bahwa Rakai Panangkaran mendirikan bangunan suci untuk Dewi Tara. Di Solo terdapat Candi Sukuh yang memunculkannilai-nilai erotisme, sedangkan di Jawa Barat yang kemasannya tidak memunculkan bentuk erotisme, melainkan mereduksi bentuk ke bentuk yang lebih sederhana, seperti beberapa artefak batu telapak dan bertulis, serta arca-arca Shiwa dan Parwati pada abad ke10 hingga 15, dan prasasti Sriwijaya sendiri pada abad ke 17.

Ada dua permasalahan seputar ini yang diungkapkan Jakob Sumardjo dalam “Khazanah-Pantun Sunda” (2009:373). Ia menjelaskan bahwa Tantra adalah ajaran rahasia di lingkungan yang ekslusif pada zamanHindu-Budha di Indonesia. Dengan kata lain, ajaran ini berlangsung di lingkungan kaum intelektual. Dan di Jawa Tantra dikenal sebagai “Agama Budha” yang merupakan perpaduan Shiwa dan Bhudisme. Sistem Hindu di Indonesia sendiri sangat berbeda jauh dari negri asalnya, India. Hal ini terjadi akibat adanya proses sinkretisme antara ajaran Hindu-Budha dan agama lokal yang begitu kuat dan telah lama berada di tanahnya. Mereka mempercayai yang tunggal, namun pula tidak mene-lantarkan sebuah konsepsi manifestasi.

Pada penganut Hindu Saiwa, (penyembah Dewa Shiwa) dianggap yang tunggal sebagai perwujudan tanpa rupa, tanpa warna, tanpa rasa, tanpa bau, tanpa sabda, tanpa raba, dan tanpa penyakit. Jakob kemudian menjelaskan yang Tunggal itu adalah kosong-halus-mutlak (Sukma Sunya). Kemudian muncul pertanyaan bagaimana menyembah Yang Kosong Mutlak? Maka berkembanglah ajaran tentang perwujudan Shiwa. Inilah bibit dari paham emanasi di Indonesia.Hal kepercayaan yang sejatinya abstrak, dalam perkembangannya justru menjaditubuh institusi itu sendiri yang terpecah namun satu. Masing-masing terbagi atas kepercayaan Dewa yang melindunginya. Di antaranya yaitu Agama Saiwa (Shiwa), agama Waisnawa (Wisnu), dan agama Sakta (sakti). Ini berimbas pada pola kosmologi mereka masing-masing yang cenderung banyak sekali penamaan secara kompleks.Letak yang kerap kali membingungkan sebenarnya adalah di sebuah konsepsi manifestasi pendewaan. Ketika Dewa Shiwa adalah seorang Batara Guru di Indonesia, dan Dewa Indra adalah Dewa tertinggi daridewa-dewa, namun periode yang lebih tua menyatakan bahwa Indra merupakan manifestasi dari Shiwa. Dan Shiwa sendiri memiliki ratusan jumlah nama.

Batu Yantra I
Foto: Mochamad Ficky Aulia
- nusaputra.ac.id

 

Batu Nyantra sebelum dipindahkan ke Museum Sribaduga (yang sebelumnya bernama MUSKALA) ditemukan di daerah Tapos, kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Namun informasi di lapangan memunculkan beragam lokasi di antaranya tepi-ansungai Cisadane, Ciaruteun, Cinangneng, dan Ciampea. Warga setempat melalui kuncen mewartai artefak tersebut ditemukan di muara. Dalam kompleks sungai itu, terdapat artefak-artefak lain yang masih diletakkan di sana (in-situ), seperti prasasti Kebon Kopi, Batu Tulis Ciaruteun danBatu Muara. 

Batu Nyantra II memiliki garis nasib yang lebih hilang, tidak ada informasi sedikitpun mengenainya, baik dari pihak Sribaduga, warga setempat, bahkan para ahli sekaligus. Belum lagi terjadi pemekaran wilayah oleh peerintah setempat, yang berimbas pada perubahan nama-nama kawasan. Daerah Ciampea yang dahulu, telah berganti nama menjadi Cibungbulang, yang merupakan ba-gian dari kecamatan Tapos. Adapun hal yang sedi-kit melegakan hanya sebatas dugaan dari Badan Arkeologi Bandung yang mengkelaskan kemungkinan Batu Nyantra II tak jauh dari kompleks sungai sungai tersebut. 

Batu Nyantra I

Sebelum memulai pembedahan, penulis coba memberi gambaran sedikit informasi tentang hal-hal terkait pengkajian batu pertama ini. Yang akan dilakukan untuk menganalisisbatu Nyantra I ini adalah melalui motif yang memiliki elemen-elemen yang merujuk pada makna tertentu, sehingga terbangun suatu interpretasi yang terhubung antara visual dan kajian budayanya.Profesor Saleh Danasasmita, selain salah sa-tu tokoh yang menemukan kembali batu ini di tepian sungai, ia pula pernah menganalisis kualitas yang terdapat pada motif batu Nyantra I pada tahun 1982. Kajian Danasasmita menjadi stimulus untuk menelusuri motif batu Nyantra, dan rupanya ini bisa menjadi sebuah kajian kritis dalam rangka merespon catatan sejarah. 

Foto: Mochamad Ficky Aulia
- nusaputra.ac.id

Batu pertama ini tergolong bebatuan berjenis terasit, jenis yang terdapat di sepanjang aliran sungai Cisadane. Dimensi 45x 35cm,  dengan  jari-jari  lingkaran  15,5cm.  Diyakini merupakan warisan dari pra  Kerajaan Pajajaran, yaitu  zaman Tarumanegara yang terakhir, sekitar abad ke tujuh saat Maharaja   Purnawarman. Karena sejak abad ke empat, Tarumanegara masih didominasi kepercayaan lokal. 

1.Bindu

Ialah titik pusat di tengah yang terbentuk oleh motif bunga teratai. Bindu bukanlah motif yang tercerai dari motif lain, melainkan motif yang terbentuk atas motif/garis. Secara harfiah Bindu;Bindhu adalah suatu titik pusat, dalam istilah Sunda disebut Masagi –bagaimana lingkaran mampu membentuk persegi. Bulat bermakna kesempurnaan, kebebasan mutlak, kebenaran sejati, tak berwaktu-tak beruang, kosong atau dengan kata lain sebuah titik Atma atau Ke-Ilhian. Dan kotak sama sisi ialah representasi dari ke-imanenan.Bindu merupakan konsep kosmologis, bagaimana semesta tercipta. Satu titik yang di dalamnya memiliki tiga titikyang diurai, namun tetap satu entitas dalam ruang yang berbeda. Adapun bentuk yang dihadirkan dalam wujud visual maupun difungsikan ke dalam wujud meditasi, Tantris membentuk sinergi kosmik yang “bahan dasarnya” merupakan berasal dari bentuk Bindu. Bentukhasilnya merupakan sebuah representasi sebuah bentuk bentuk alam. Penguraian Adjit mookerjee dapat masuk ke dalam pembahasan ini, titik yang telah menjadi karakter adalah sebagai berikut: 


Pada praktek meditasi Yoga pun demikian, bagaimana meditasi membuat kesan untuk memanggil sang Dewa. Bindu terletak di dada, sebagai pusat pemancaran ke delapan arah, persis seperti apa yang tertera pada motif daun teratai. Dan inilah sifat dari Mandala. Baik ditubuh, pembacaan semesta maupun diagram magis.

Dalam dunia senirupa titik adalah suatu pijakan awal untuk menjadi garis, bentuk dan ruang. Gambaran titik bisa sekecil mungkin, bahkan paradoksnya, titik besar adalah ruang, akan tetapi masih dapat disebut titik juga. Karena titik dapat meruang secara menyeluruh. Ini dapat menjadi sebuah analogi dari konsep Bindu pada Mandala. Hal ini diperjelas kemudian oleh Amrizal Selayan –seorang pengajar sekaligus pematung asal Minang, pada tanggal 4 Agustus 2013 di kediamannya, dalam wawancara itu beliau merespon soal titik :

“Perkembangan ruang dalam rupa berbalik arah kembali kepada esensi titik, bagaimanapun titik atau masagi merupakansuatu esensi yang dapat meruang sekaligus.”

2.Padma

Padma atau teratai merupakan salah satu elemen motif pada Batu Nyantra I, yang menempel atau menginduk pada lingkaran pusat atau Bindu. Teratai direpresentasikan sebagai simbol dari kehidupan yang abadi, seperti roda aturan dalam kosmologi Hindu-Budha. Disebutkan pada The Art of Tantra, (1993;126), Philip Rawsonmenjelaskan bahwasanya teratai merupakan sebuah bentuk representatif dari kemurnian kosmik. Penulis melihathubungan ini terjalin antara satu sama lain dengan energi kosmos yang bersatu, antara teratai dan air. Padma sendiri sebenarnya merupakan sebuah produk pemikiran ajaran Budha, yang dianggap tempat di mana para Dewa Dewi bersemedi. Dalam Padma, terdapat sebuah getah dalam bunga, yang bernama ambrosia, di istilah dan mitos timur berjulukan Amerta, dalam mitos ini jika air tersebut diminum, akan menjadi Bodhi, manusia kekal, yang telah tuntas dalam tahapan spiritual tertinggi. Teratai tumbuh di atas air, ini terkait dengan penemuan Batu Nyantra yang ditemukan di sekitaran sungai.

Ini merupakan bentuk cara seorang Tantris dalam pencarian pembebasan jiwa ketika dia masih hidup. Mencari kebahagiaan dan kebenaran tunggal melalui perputaran energi yang divisualisasikan ke dalam bentuk teratai. Ini merupakan suatu proses pengolahan pikiran dalam tubuh yang melarutkan diri pada kekosongan, hingga mencapai dunia yang dianggap transenden. Dengan kata lain, keabadian di saat hidup.

3. Wajra

Foto: Mochamad Ficky Aulia
- nusaputra.ac.id

 Wajra sebagai batu Permata melambangkan keabadian, kesucian dan kesehatan. merupakan batu yang paling murni di antara batu-batu yang lain dan sebuah benda yang paling keras yang pernah ditemukan manusia, oleh karenanya disebut batu mulia. Kemampuannya untuk merefleksikan cahaya dipercaya mampu meningkatkan kejernihan pikiran dan tubuh. Adapun yang menganggap batu ini mampu meningkatkan keberanian. Dalam bahasa Sansekerta, batu Permata disebut dengan "vajra" yang berarti pencerahan.Sedangkan Saleh Danasasmita menyebut ini adalah Wajra yang memiliki arti petir, atau adalam bahasa Indonesia memiliki arti mani;manik atau permata. Vajrajuga merupakan nama lain dari ajaran Tantra di Budha yaitu Vajrayana. Beliau mengaitkan Wajra dengan Trisula, yakni suatu senjata Indra dan trisula milik Shiwa. Tidak dipersalahkan, karena sulit menentukan bentuk asli Wajra. Karena sebagian menyebutnya sebagai senjata pukul Dewa Indera hingga menimbulkan cahaya seperti halilintar, seperti Thunderboltyang digunakan oleh Dewa Zeus. Sebagian menganggap yang memiliki dua muka adalah wajra/bajra, ditemukan pula patung-patung baru di India, yang memiliki satu wajah seperti garpu tersebut padabagian atas saja. Ada pula bentuk wajra yang tanpa ujung, artinya saling bertemu dan menutup pada masing-masing pangkalnya. Dalam mitos Purana, bahwa Bajra, atau Wajra merupakan senjata dari Dewa Iswara, Iswara sendiri merupakan sosok manifestasi Shiwa dalam Nawasanga. Diceritakan Wajra terbuat dari tuang benulang Dadici1. Yang pada akhirnya dipindahkan tangankan kepada Dewa Indra. Dewa Indra sendiri dalam sekelumit periode tradisi Hindu adalah manifestasi dari Shiwa itu sendiri pula.Di Indonesia, Wajra yang mengarah ke delapan arah diasosiasikan sebagai arah mata angin. Ini terkait dengan konsep kepercayaan pada Tantra Hindu-Budha, yaitu Astadipalaka. Di mana mereka meletakan kepercayaan yang menganggap ada utusan Dewa-dewa (manifestasi Shiwa) yang menjagagunung Mahameru, sebuah gunung yang dianggap suci oleh masyarakat Hindu-Budha. Dewa-dewa tersebut bekerja melalui arah mata angin, serta mempunyai peran masing-masing.

4. Motif Ular

Foto: Mochamad Ficky Aulia
- nusaputra.ac.id

Motif terakhir Batu Nyantra I adalah bagian luar dari motif trisula.Penulis memiliki pandangan yang berbeda tentang ini dari apa yang menurut Saleh merupakan sebuah stilasi gajah. Membaca kedelapan arah Wajra, penulis kemudian beranggapan ada kemungkinan-kemungkinan lain yang terkait. Salah satunya adalah bahwa ini menyerupai bentuk ular. Yang merupakan simbol dari Dewi Parwati atau Durga. Beliau adalah seorang Shakti dari Shiwa.

Sistem monisme Shiwa meleburkan diri terhadap Brahma melalui persetubuhan energi kosmosnya dengan Dewi Parwati. Ini merupakan simbol dari penyatuan dua entitas. Shiwa digambarkan seperti seluruh semesta. Kemudian DewiParwati disimbolkan dengan bagian bawah, karena kaitannya dengan kesuburan. Begitu pula ular dipercaya oleh masyarakat primordial sebagai Dewi bumi. Karena letaknya yang di bawah.


Batu Nyantra II

Batu Yantra II
Foto: Mochamad Ficky Aulia
- nusaputra.ac.id

 

Agus Aris Munandar menganggap ini adalah warisandari Raja Tarumanegara, dan mereka bukan penganut paham Wajrayana, melainkan mereka penganut Weda kuno (yang sebenarnya metode Tantra telah ada namun samar penamaannya). Suatu anggapan yang menarik, karena di sekitaran daerah Ciaruteun, masih dalam komplek tersebut, terdapat prasasti Ciaruteun, prasasti peninggalan Tarumanegara yang terdapat ukiran Sansakerta mengenai pemujaannya terhadap Waisnawa. Istilah Waisnawa tersebut di India justru lebih popular di kalangan Tantris. Sebagai bentuk pengabdian terhadap wisnu. Jika ini merupakan produk Tantra, maka ini dibuat oleh para penganut metode Tantra Waisnawa (Wisnu) atau (Pancharatra).Di mana para penganutnya menyembah Wisnu, tetapi Wisnu di dunia Tantra bukan merupakan sumber Dewa utama. Melainkan wujud transendensi lain dari semesta dan kehidupan, cara kepercayaan ini dilakukan Tantris dalam rangka bertujuan agar dapat masuk ke dimensi Brahma –yang seiring juga mengabdi pada Shiwa.

Batu Nyantra II berukuran lebih kecil dari sebelumnya yang pertama. Dari segi motif batu ini berbeda dengan Batu Nyantra I, juga adanya cekungan dalam pada batu, pada tradisi Sunda disebut Dakon. Peneliti arkeologi di Balai Arkeologi Bandung, Sriwahyuni dan Nanang Sartono beranggapan :“ini merupakan dua polesan yang berbeda zaman, antara motif dan dakon.”

Jika itu sebatas kemungkinan, maka perlu adanya respon yang menolak untuk kemungkinan tersebut melalui kemungkinan lainnya, Aulia sendiri tidak melihatnya begitu. Karena letaknya bisa begitu teratur antara dakon dan motif. Maka kemungkinan tersebut merupakan suatu pen-gaplikasian dari penjelasan kosmos secara metafor bahwa adanya dunia lain selain manusia di atas sana.

Dakon pada batu kedua merupakan bentuk lain dari Yoni, seharusnya terdapat pasangannya yaitu lingga yang berbentuk semacam bola, yang kemudian diletakan di atas cekungan tersebut saat ritual. Ini tidak seperti dakon yang lain, yang fungsinya sebagai tempat sesaji.Agus Aris Munandar menanggapinya secara cendikiabahwa semuanya bisa terjadi dan berfungsi lebih dari itu, karena bisa terkait dengan keastrologian, sebagai alat untuk menentukan sesuatu yang berkaitan dengan waktu. Namun, belum ada penjelasan yang merucut ke dalam dunia astrologi.Ditambah tidak diketemukannya Sang Lingga.

Adapun kesimpulan dari uraian analisis adalah proses budaya begitu panjang dan rumit, suatu kepercayaan yang ada begitu saja tidak terlepas dari kualitas kehidupan masyarakatnya yang juga tumbuh berkembang. Kesadaran sesungguhnya adalah sebuah kesederhanaan dalam kerumitan. Tradisi Tantra di Indonesia telah hilang, namun unsurnya masih terdapat di pola kehidupan sehari-hari manusianya. Bagaimana masyarakat kita masih mempercayai hal-hal mistis di segi yang sangat materalistis. Bagaimanapun pergerakan budaya tidak lepas dari catatan sejarah.

Lalu kesimpulan mengenai batu ialah bahwa keduanya merupakan sebuah unsur Mandala dalam arti Diagram Magis, akan tetapi, dalam klasifikasinya, Batu I yang bernama Batu Nyantra, merupakan produk benar atas artinya yang berasal dari Yantra dan Batu ke II lebih tepat dengan nama Batu Cakra. Mengingat keduanya memiliki fungsi untuk memanggil Dewa-dewa yang ditujunya. Batu Nyantra I merupakan bentuk atau alat yang digunakan untuk persembahan Dewa Shiwa. Sedangkan Batu II, merupakan Batu Cakra yang erat kaitannya dengan Wisnu.Batu-batu tersebut memiliki kaitan erat dengan alam, karena masyarakat setempat menganut yang beraliran Wajrayana atau menginduk pada HinduSaiwa, cendurung memiliki paham monisme naturalistik. Sejajar dengan ditemukannya batu tersebut di sekitaran Sungai. Ini terkait dengan mitos-mitos Gunung Meru dan Air Amerta. Ini mendukung berdirinya sebuah makna terhadap motif tersebut. Namun letak kecacatan ialah ketika posisi batu tersebut saat ditemukan. Tidak ada sama sekali informasi tentang ini.


Sumber: Aulia, Mochamad Ficky,  S.Ds., M.Sn.. “Analisis Motif Batu Yantra Sebagai Diagram Magis Di Jawa Barat“ Jurnal Universitas Nusa Putra. Departemen Desain Komunikasi Visualuniversitas Nusa Putra, Sukabumi, Indonesia jurnal.nusaputra.ac.id - pdf

Referensi

Danasasmita, Saleh. 1982. "Keterangan tentang "batu berukir" dari Tapos, Ciampea, Bogor". Bandung: Lembaga Kebudayaan Universitas Padjadjaran, 1982
ii, 18 leaves : ill. ; 28 cm.

Sponsor