Cari

Prabu Siliwangi Ngahiyang - Sang Mokteng dan Sang Lumahing | Gelar Anumerta Kuno Raja Sunda-Galuh


 

[Historiana] - Dalam Naskah Sunda Kuno Carita Parahyangan (CP), terdapat beberapa nama raja disebut Sang Mokteng atau Sang Lumahing. Istilah mokteng atau lumahing disematkan bagi raja-raja yang telah mangkat. Dalam bahasa Jawa kuno kata mokteng yang berasal dari kata mokta ring, memiliki makna yang "melesat di". Lumahing dalam bahasa Kawi ditulis Lumaheng yang artinya "bertempat di".

Mokteng berkaitan dengan moksa yang dimaknai kebebasan atau lepasnya jiwa raga dari ikatan duniawi menuju swarga. Mokta sebagai gambaran melesatnya (perjalanan) jiwa menuju swarga selalu di bubuhi kata ring yang menunjukan tempat. Lepasnya jiwa dalam naskah religi sunda kuno disebut juga kaleupasan.

Biasanya penyebutannya mokteng maupun lumahing selalu satu paket dengan nama raja dan tempat wafatnya. Dengan kata lain sang mokteng maupun sang lumahing merupakan "gelar anumerta" bagi raja ataupun penguasa yang wafat di suatu tempat.

Misalnya prabu Ragasuci dikenal sebagai Sang mokteng Taman, Prabu Langlangbumi disebut Sang mokteng Kreta, Prabu Linggabuana disebut Sang Lumaning Bubat, Dewa Sanghyang bergelar Sang Mokteng Patapan, Prabhu Pucukwesi Sang Mokteng Hujungcariang, Sang Prabhu Wulunggadung Sang mokteng Jayagiri dan lain-lain.


Kata mokteng dan lumahing, dalam kronologi sejarah Sunda umumnya digunakan sebagai bahasa naskah karena dalam prasasti untuk menyebut raja yang wafat ditulis sida-mokta. Seperti pada Prasasti batu tulis bogor yang menyebut rahyang dewa niskala sa(ng) sida mokta di guna tiga (Rahyang Dewa Niskala yang di pusarakan di Guna Tiga) dan rahyang niskala wastu ka(n) cana sa(ng) sida mokta ka nusalarang (rahyang Niskala Wastu Kancana yang dipusarakan di Nusa Larang).

Masyarakat Sunda secara umum menyebut istilah sang mokteng maupung sang Lumahing cukup dengan kata ngahiyang dan itu berlaku sampai saat ini. Istilah Ngahiyang ini terkenal melalui kisah Prabu Siliwangi ngahiyang. Kata ngahyang dipengaruhi oleh anasir agama lokal Sunda yang dalam naskah Siksa Kandang Karesian disebut Agama Jati Sunda, karena menempatkan unsur Hyang sebagai adikodrati tertinggi di atas dewa-dewa Hindu atau Buddha. 

Moksa merupakan bagian terakhir dari Panca Srada yaitu lima keyakinan umat Hindu. Adapun bagian dari kelima Panca Srada adalah percaya adanya Brahman, percaya adanya Atman, percaya adanya Karma Pala, percaya adanya Punarbhawa, dan percaya adanya Moksa. Moksa sendiri berasal dari bahasa Sanskerta yaitu akar kata “Muc” yang artinya “Membebaskan” atau “Melepaskan” (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 2).

Berdasarkan pengertian diatas dapat kita simpulkan bahwa Moksa adalah terbebasnya jiwa (atman) dari ikatan duniawi atau samsara (kelahiran kembali). Ngurah Nala dan Sudharta (2009: 41) menjelaskan apabila Atman itu sudah bersih, oleh karena Ia mentaati petujuk-petunjuk Sang Hyang Widhi (Tuhan), maka Atman itu tidak terikat dengan hokum karma, disebut Niskama Karma, dan Tidak lagi mengalami Punarbhawa, tidak mengalami Samsara. Keadaan inilah yang disebut Moksa atau kelepasan (pembebasan). 


 

Prabu Siliwangi yang terkenal adalah Sribaduga Maharaja. Ia mokta/moksa atau ngahiyang alias wafat pada 31 Desember 1521 M dan dipusarakan di Rancamaya, Bogor. Informasi ini didapatkan dari Prasasti Batu Tulis Bogor yang dibuat oleh putranya Surawisesa dan bersumber Naskah lontar Carita Parahyangan, "Ratu Jayadéwata, sang mwakta ring Rancamaya" yang artinya Ratu Jayadewata yang moksa di Rancamaya. Sayang sekali, Rancamaya Bogor sekarang ini telah berubah menjadi kompleks perumahan mewah dan lapangan golf.


Referensi

  1. Atja. 1968. "Tjarita Parahjangan: Naskah Titilar Karuhun Urang Sunda." Bandung:  Jajasan Kebudajaan Nusalarang.
  2. Atja, dan Saleh Danasasmita. 1981. Carita ParaHyangan (Transkripsi, Terjemahan, dan Catatan.  Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat. 
  3. Ayatrohaedi. 1981. “Peranan Benda Purbakala dalam Historiografi Tradisional” dalam Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, Penelitian dan Penerbitan Buku/Majalah Pengetahuan Umum dan Profesi Dep. Dik. Bud. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
  4. Iskandar, Drs. Yoseph. 1997. "Sejarah Jawa Barat, Pustakaning Raja Kawasa." Bandung: Geger Sunten. 
  5. Nastiti, Titi Surti. "Prasasti Kawali". Jurnal Penelitian Balai Arkeologi Bandung 4 (1996):19-37.
  6. Ngurah Dwaja, I Gusti dan Mudana, I Nengah. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas XII. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
  7. "Pengertian Moksa dan Tingkatan-Tingkatannya" mutiarahindu.com 30 April 2018 Diakses 18 Maret 2021.
  8. Radea, Pandu. 2020, "Kawali-Panjalu : Pusara Para Raja Sunda Galuh". jernih.co 19 Juni 2020 Diakses 18 Maret 2021.
  9. Raffles, Sir Thomas Stamford. 1830. "The History of Java. Volume I". ebook academia.edu Vol I.
  10. Titib, I Made. 2006. "Persepsi Umat Hindu di Bali Terhadap Svarga, Neraka, Moksa Dalam Svargarohanaparva." Surabaya: Paramita.
  11. The History of Java, v. 1-2 EBook-No‎: ‎49843. Free ebook guttenberg.org Diakses 18 Maret 2021.

Sponsor