Cari

Mitos Larangan Laki-laki Sunda Menikahi Wanita Jawa

Ilustrasi

[Historiana] - Oleh Alam Wangsa Ungkara. Telah menjadi mitos yang dipercayai turun menurun bahwa: "Jika lelaki Sunda menikahi wanita Jawa akan mengakibatkan rumah tangganya berantantakan". Meskipun banyak fakta membuktikan justru sebaliknya. Rumah tangga pasangan lelaki Sunda dan wanita Jawa malah semakin sugih. Contohnya adik penulis yang lelaki Sunda menikahi wanita Jawa Yogyakarta. Atau.. penulis sendiri yang orang Sunda menikahi wanita Jawa Cirebon. Tapi Cirebon mah Sunda juga! kata orang Yogyakarta mah.

Terlepas dari benar tidaknya mitos tersebut, darimanakah awal mitos ini ada? Banyak pihak menduga bahwa mitos larangan ini berawal dari peristiwa bubat atau perang Bubat tahun yang terjadi pada tahun 1279 Saka atau 1357 M.  Terlepas dari keyakinan bahwa peristiwa bubat itu terjadi atau tidak pernah terjadi.

Ketika Kerajaan Majapahit berjaya, Prabu Hayam Wuruk memiliki keinginan untuk memperistri putri Dyah Pitaloka atau Citaresmi dari Kerajaan Sunda Galuh. Keinginan menikah dengan putrinya itu diterima dan upacara pernikahan akan berlangsung di Majapahit. Maharaja Prabu Linggabuana bersama permaisuri dan putrinya serta rombongan Kerajaan Sunda Galuh berangkat ke Majapahit dan diterima di Pesanggrahan Bubat.

Namun kedatangan itu menimbulkan kesalahpahaman. Tertulis dalam Kidung Sundayana, Patih Gajah Mada meminta agar Hayam Wuruk tak menjadikan kesempatan tersebut sebagai pernikahan semata melainkan menaklukan Kerajaan Sunda Galuh. Hal ini dimaksudkan agar Sumpah Palapa tercapai karena saat itu hanya tinggal kerajaan Sunda Galuh yang belum bisa ditaklukkan, meski sudah dua kali diserang oleh Kerajaan Majapahit.

Dari kesalahpahaman dan perselisihan yang terjadi antara antara Patih Sunda bernama Anepaken dan pejabat tinggi Sunda dengan Gajah Mada, akhirnya terjadilah perang Bubat.

Dalam perang ini disebutkan bahwa Raja Linggabuana, para menteri dan semua prajurit Kerajaan Sunda Galuh gugur. Putri Dyah Pitaloka, putri raja Sunda serta permaisuri dan istri-istri para menteri Sunda memutuskan untuk bela pati (bunuh diri) di atas jenazah suami atau ayah mereka.

Mari kita kritisi kisah ini. Pihak yang dirugikan adalah wanita Sunda. Tetapi justru larangan lelaki Sunda menikahi wanita Jawa. Bukankah seharusnya larang wanita Sunda menikahi lelaki Jawa? nah di sinilah kita merasakan ada hal yang terbalik logikanya.

Darimana Sumber Mitos Larangan Menikah itu?
Terdapat teks larawangan untuk raja Sunda menikahi wanita larangan yaitu estri larangan. Teks tersebut terdapat pada naskah Lontar Sanghyang Siksa Kandang Karesiyan.
"...Jaga rang pacarek deung menak deung gu[s]ti deung bu-haya ing kalih deung estri larangan maka nguni deung tohaan urang..."
(...Hati-hatilah kita berbincang dengan menak, de­ngan majikan pemilik tanah.dengan kedua orang tua, dengan wanita larangan: Begitu pula dengan raja kita...)

Estri larangan adalah wanita atau gadis yang telah bertunangan dan telah menerima panglarang [tanda pinangan]. Dengan demikian tidak ada yang menyebut kan bahwa estri (wanita) larangan adalah wanita Jawa, tetapi lebih kepada hukum pertunangan. Meskipun lelaki Sunda menikah dengan wanita Sunda, tetapi wanita itu sudah tungan tetap dilarang. Hal ini untuk mengatur ketertiban masyarakat dan kerajaan.

Kita lihat lagi naskah terkait estri larangan, masi pada naskah Lontar Sanghyang Siksa Kandang Karesiyan:
"Ingetkeun na siksakandang karesian, deung iseuskeun na haloan. Ulah ngeri[ng]keun estri larangan sakalih, rara hulanjar sakalih, bisi keuna ku haloan si panghawanan, Maka nguni ngarowang tangan, sapanglungguhan di catang, di bale, patutunggalan, haloan si panglungguhan ngara[n]na. Patanjeur-tanjeur di pipir, di buruan, patu­tunggalan, haloan si pana/h/taran ngara(n)na." (Ingat-ingat dalam siksakandang karesian dan perhatikan dalam godaan. Jangan berjalan mengiringi semua wanita larangan, semua rara hulanjar agar tidak terkena godaan di perjalanan. Demikian pula memegang tangan[nya], duduk bersama-sama di atas catang, di balai-balai berdua saja, disebut godaan di tempat duduk. Berdiri di belakang rumah atau di halaman berdua saja, disebut-godaan di tempat berdiri namanya.)
Halo adalah berseru (Er); jadi haloan berarti seruan atau godaaan. Mungkin juga dari halwan dalam bahasa Arab zinah. Rara hulanjar adalah janda belum beranak, janda perawan. Dalam bahasa Sunda sekarang disebut Randa Bengstrat, yaitu janda yang belum pernah "disentuh" suaminya. Saat itu bahkan tahun 50-an ke belakang, masih banyak Janda di Sunda yang seperti itu, akibat pernikahan muda.
 
"Sa/ng/nguni sapanginepan, sapamajikan, satepas, sabale deung sanghyang kalih, deung estri larangan sakalih ngara[n]na kebo sapinahan. Nya kehna ingetkeuneun," (Demikian pula sepenginapan, setempat-tinggal, seberanda, sebalai-balai dengan semua orang suci, semua wanita larangan, dinamakan kerbau sepemakanan. Ya semuanya perlu diingat,)

Naskah menggambarkan bahwa rakyat tidak boleh mendekati orang suci, wanita larangan dan bangsawan negara. Jangankan mendekatinya, duduk atau bersandar di bekar mereka duduk dan bersandar tidak boleh! hukumnya akan masuk neraka.

Siapakah wanita larangan tersebut? Ada yang menyebutkan bahwa wanita larangan adalah orang Jawa. Ini akibat rasa sakit hati orang Sunda Pajajaran atas peristiwa Perang Bubat di Majapahit, hingga raja Pajajaran gugur dan Putri Pajajaran Citraresmi Dyah Pitolka bunuh diri di alun-alun Bubat. Namun ada juga yang menyatakan bahwa wanita larangan adalah para wanita kasta tinggi, yaitu istri atau para putri raja dan bangsawan lainnya. Tetapi bila kita cermati dari Naskah ini, bahwa wanita larangan adalah wanita yang sudah menerima pinangan laki-laki, artinya sudah 'diikat' dan menjadi terlarang bagi orang lain. Ini menjadi lebih logis. Aturan dibuat raja agar rakyat hidup tertib.


Larangan dari Kerajaan Galuh?
Bila merunut berbagai sumber catatan sejarah. Teks tertulis mengenai larangan lelaki Sunda menikahi wanita Jawa berasal dari naskah Galuh yaitu Siksa Kandang Karesiyan dan Amanat Galunggung. Dari ini isi naskah sangat terlihat bersifat politis. Kita kutip amanat Galunggung mengenai menjaga kehormatan kabuyutan.
"...mulah munuh tanpa dwasa, mulah ngarampas tanpa dwasa, mulah midukaan tanpa dwasa, mulah nenget a(s)tri sama astri, mulah nenget hulun sama hulun, jaga dapetna pretapa dapetna pegengön sakti, bönangna (ku) Sunda, Jawa, La(m)pung, Baluk, banyaga nu dék ngarebutna kabuyutan na Galungung, asing iya nu mönangkön kabuyutan na Galunggung, iya sakti tapa, iya jaya prang, iya höböl nyéwana, iya bagya na drabya sakatiwatiwana, iya ta supagi katinggalan rama-resi, lamun miprangköna kabuyutan na Galunggung, a(n)tuk na, kabuyutan, awak urang na kabuyutan , nu löwih diparaspade, pahi döng na Galunggung, jaga bönangna kabuyutan ku Jawa, ku Baluk, ku Cina, ku Lampung..."
(...jangan membunuh yang tak berdosa, jangan merampas (milik) yang tak bersalah, jangan menyakiti yang tak bersalah; jangan saling curiga/sesali antara wanita/isteri, jangan saling curiga antara hamba dengan hamba.  Waspadalah kemungkinan direbutnya kemuliaan (kewibawaan, kekuasaan) dan pegangan kesaktian (kejayaan) oleh Sunda, Jawa, Lampung, para pedagang (orang asing) yang akan merebut kabuyutan di Galunggung. Siapa pun yang dapat menguasai kabuyutan di Galunggung, ia akan memperoleh kesaktian dalam tapanya, ia akan unggul perang, ia akan lama Berjaya, ia akan mendapat kebahagiaan dari kekayaan secara turun-temurun, yaitu bila sewaktu-waktu kelak ditinggalkan oleh para rama dan para resi, Bila terjadi perang (memperebutkan) kabuyutan di Galunggung, pergilah ke kabuyutan, bertahanlah kita di kabuyutan. Apa-apa yang lebih (sulit dipertahankan?) dirapikan, semua dengan yang di Galunggung. Cegahlah terkuasainya kabuyutan oleh Jawa, oleh Baluk, oleh Cina, oleh Lampung...)

Mengapa dalam Amanat Galunggung ada pernyataan "Waspadalah kemungkinan direbutnya kemuliaan (kewibawaan, kekuasaan) dan pegangan kesaktian (kejayaan) oleh Sunda, Jawa, Lampung...". Adanya ancaman dari Sunda? ya, karena naskah ini berasal dari Kerajaan Galunggung dimana saat naskah ini ditulis Kerajaan Galuh berpusat di Galunggung (Semenjak Batari hyang Janapati /Janawati). Rupanya suasana 'persatuan' negeri di Pulau Jawa dan Nusantara tetap rawan perebutan kekuasaan. Khususnya kerajaan Sunda-Galuh. Terlihat dengan disebutnya 'ancaman dari Sunda'. Memang  apa yang pernah terjadi?

Ada banyak kisah sejarah Sunda-Galuh yang mengalami masa-masa perebutan kekuasaan. Bermula perebutan Kekuasaan antara Sena dan Purbasora pada tahun 716 Masehi. Sena adalah Raja Galuh putra Mandiminyak putra Wretikandayun. Sedangkan Purbasora putra Sempakwaja putra Wretikandayun. Jadi perebutan antar cucu pendiri Galuh, yaitu antar cucu Wretikandayun. Kelak kmudian hari, anak Sena yaitu Sanjaya balas dendam dengan merebut kembali Galuh dari tangan Purbasora. Peristiwa itu menyebabkan terbunuhnya Purbasora pada tahun 739 Masehi.

Pasca peristiwa perebutan tahta Galuh, Sunda disatukan kembali dengan Sunda (minus kerajaan Saunggalah dan Galunggung yang berdiri sendiri sebagai kerajaan mandiri). Namun tidak berlangsung lama hingga terjadi lagi perebutan kekuasan antara Tamperan putra Sanjaya dengan Ciung Wanara. Akhirnya Sunda Galuh terpecah lagi menjadi 2 kerajaan. Kerajaan Galuh dibawah kekuasaan Ciung Wanara dan Sunda di bawah Hariang Banga(h). Sementara, Sanjaya berkuasa di Kalingg yang kemudian menjai Medang atau Mataram (hindu). Wilayah kekuasaan kerajaan Sanjaya hingga ke timur pulau Jawa dalam Pustaka Rajya-rajya i bhumi Nusantara disebut Jawa Pamotan.

Oleh karena itu, dalam Amanat Galunggung, Prabu Rakeyan Darmasiksa yang disebutkan keturunan Hariang Banga(h) menasihati anak, cucu, umpi (turunan ke-3), cicip (turunan ke-4), muning (turunan ke-5), anggasantana (turunan ke-6), kulasantana (turunan ke-7), pretisantana (turunan ke-8), wit wekas (turunan ke-9), sanak-saudara.

Dalam berbagai peristiwa, Kerajaan Galuh sering menjadi lokasi perebutan kekuasan antar kerajaan dari masa ke masa.
  1. Sejak Prabu Mandiminyak (ayah Prabu Sena) menikahi wanita Jawa (Dewi Parwati putri Ratu Shima), kondisi politik Galuh menjadi rawan akibat tekanan Kerajaan Sunda. Sekaligus adanya kolisi kerajaan Sunda dan Jawa Pamotan (Kalingga - Mataram) dapat mengancam keamanan dan eksistensi Kerajaan Galuh. Dari peristiwa skandal Mandiminyak dengan istri Sempakwaja (pwah Rababu), kondisi keamanan dan politik di Galuh tidak stabil. Terbukti peristiwa kudeta Purbasora terhadap Sena putra Mandiminyak.
  2. Rakai Sanjaya yang menjadi penguasa Jawa (dahulu disebut Jawa Pamotan) menikahi Putri Sunda, Teja Purnawangi putri Rakean Sunda putra Tarusbawa, Galuh menjadi lokasi pertempuran. Pertempuran terjadi karena Tamperan Barmawijaya anak Sanjaya terbunuh oleh Ciung Wanara (Sang Manarah) pada tahun 739 M.
  3. Peristiwa perebutan kekuasaan terus berlanjut antar keturunan Kerajaan Sunda dan galuh. )baca juga: Perebutan Takhta Kerajaan Sunda-Galuh, Lalu Pajajaran Runtuh
  4. Raja Sunda Maharaja Shri Jayabhupati (1030 - 1042 M). Sri Jayabupati dalam Carita Parahyangan disebut sebagai Prabu Detya Maharaja. Dia adalah raja Kerajaan Sunda ke-20 setelah Tarusbawa.  Menikahi putri Dharmawangsa Teguh dari Kerajaan Medang (Mataram Hindu). Ia menikahi wanita Jawa. Terjadi peristiwa penyerangan dari Haji Wurawuri yang berafiliasi ke Kerajaan Sriwijaya, hingga terjadi Mahapralaya, yaitu terbunuhnya seluruh anggota keluarga kerajaan Medang kecuali Airlangga beserta istri dan pengikutnya melarikan diri ke Jawa Timur dan selanjutnya mendirikan Kerajaan Kahuripan. Airlangga adalah ipar Shri Jayabhupati (Raja Sunda). Peristiwa ini mungkin diakibatkan kecurigaan Sriwijaya tentang kemungkinan adanya aliansi antara Kerajaan Sunda dan Medang saat itu. Sementara Kerajaan Sunda sendiri 'ditekan' Sriwijaya untuk tidak ikut campur dalam penyerangan itu. Bagi Sri Jayabhupati baik Sriwijaya maupun Medang adalah keluarganya.
  5. Tahun 1482, Raja Galuh Prabu Dewa Niskala (Ningrat Kancana) diminta untuk mengundurkan diri (impeachmen) karena dianggap melanggar aturan adat (ngarumpak larangan) untuk tidak menikahi istri ti kaluaran (estri Larangan). Tekanan ini datang dari Sang Susuktunggal (Prabu Susuktunggal), raja Sunda. Istri Larangan yang dinikahi Prabu Dewa Niskala adalah wanita bangsawan 'pengungsi dari Majapahit' yang sudah tunangan. Tuntutan mundur dari raja Sunda kepada raja Galuh semata karena larangan adat atau ada kekhawatiran politik: Jika Galuh bersekutu dengan Majapahit? Iya iya demikian, tentu membahayakan Kerajaan Sunda.
  6. Menjelang runtuhnya Kerajaan Pajajaran tahun 1579, terlepasnya wilayah Cirebon dan diikuti Banten. Dimana kerajaan Cirebon dan Banten selanjutnya berkoalisi dengan Kerajaan Demak. Ditandai pernikahan keluarga kerajaan. Maka terbentukan penyatuan bukan hanya antar keluarga kerajaan tetapi tentunya bidang politik dan keamanan kerajaan. Kemudian terbukti, Kerajaan Pajajaran diserang hingga akhirnya burak.
Jadi, mitos larangan menikahi wanita Jawa oleh lelaki Sunda terkait politik kerajaan. Kekhawatirannya adalah adanya sekutu atau aliansi yang akan menghapus kekuasaan raja-raja Sunda dan Galuh. Untuk rakyatnya sendiri, baik menurut naskah Siksa Kandang Karesiyan maupun naskah perjalanan Bujangga Manik, tidak tergambar adanya permusuhan antara rakyat Sunda dan Jawa. malah dalam SIksa Kandang Karesian disarankan bagia siapa saja yang berkunjung ke Jawa untuk belajar bahasa Jawa dari sana. Dianggap sia-sia jika pula dari Jawa tidak mengerti bahasa Jawa.


Mitos di Kalangan Rakyat
Ini salah satu contoh yang dialami penulis. Di tahun 1982, penulis sempat bertanya pada Uyut (buyut) mengenai benar-tidaknya jika lelaki Sunda menikahi wanita Jawa akan terkena supata (kutukan) yaitu hidup berkekurangan.

Saat itu Uyut penulis mengatakannya benar. Beliau menjelasan bahwa 'menikahi perempuan Jawa ibarat menikah dengan Indung (Ibu)'. Namun sayang, Uyut tak dapat menjelaskan alasannya, mengapa wanita Jawa disebut Indung. Namun, Uyut menambahkan sedikit tambahan cerita bahwa 'kisah pantangan' itu yang melahirkan kisah 'Sangkurang'. Penulis semakin penasaran sekaligus bingung. Tak tak pernah terjawab, karena saat itu penulis masih duduk dibangku SD kelas 2. Apalagi Uyut menambahkan kisah itu terkait rasa terimakasih orang Sunda kepada Aji Saka yang menyelamatkan orang Sunda dari Dewata Cengkar yang gemar memakan manusia. Wuiiihhh... makin lieur mendengarnya saat itu.

Penjelasan didapatkan dari Profesor Sugeng Priyadi, Sejarawan dari Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Ia seorang peneliti dengan banyak karyanya seputar sejarah Sunda-Jawa berbasis di wilayah Banyumasan Jawa Tengah. Dalam video youtube berjudul "Mengapa Galuh, Mengapa Mataram?" menjelaskan tentang asal mula Galuh dan Mataram, Keduanya memiliki makna yang sama yaitu "Ibu".

Berawal dari kronologi sejarah awal Kerajaan Galuh. Wretikandayun putra Kandiawan putra Manikmaya menikah dengan Pohaci Bungatak Mangale‑ngale (nama gadis), sedangkan ketika masih anak-anak bernama Manakasih dan ketika menjadi permaisuri raja Galuh bergelar Prameswari Déwi Candrarasmi putri Resi Makandria. Dikisahkan, Pendiri Kerajaan Galuh, Sang Wretikandayun memiliki anak Ra-Hyang Sempakwaja, Ra-Hyang Kidul dan Ra-Hyang Mandiminyak. Ra-Hyang Sempakwaja menikah dengan Poh Rababu (Pwah Rababu). Nama Poh Rababu sendiri bukan nama aslinya, namun sebagai sebutan kehormatan. Bagawat Resi Makandria, yaitu mertua Wretikandayun juga beristri dengan nama Rababu.

Kata Poh menunjukkan bahwa pemilik nama itu kedudukan terhormat. kata poh juga tersemah pada 'Poh Aci' atau Pohaci. Pohaci adalah kosmologi filsafat Sunda-Galuh mengenai kekuatan dan kekuasaan alam supranatural yang banyak terkait dengan sosok yang diberi nama Pohaci.

Kembali ke kata Poh Rababu. kata itu bisa dibreakdown "Poh" dan "Ra" dan "Babu". "Ra" berati 'Agung', sebagai sebuah kehormatan. kata Ra banyak digunakan di zaman Majapahit seperti Ra Kuti, Ra Wedeng, Ra Semi, Ra Banyak dan lain-lain. kata "Babu" bermakna Ibu. Hal ini juga mengingatkan penulis pada nenek yang penulis panggil dengan kata "Babu". Saat itu penulis merasa aneh ketika menyebut nama panggilan Nini/nenek dengan kata "Babu". Ternyata artinya Sang Ibu.

Keturunan Ra-babu kemudian menjadi raja-raja Galuh, Sunda dan Kalingga. Kemudian Kalingga berubah menjadi Mataram (Hindu). Pendiri kerajaan Mataram (Hindu) adalah Rakai Sanjaya putra Sena putra Mandiminyak (dari hasil skandal dengan istri kakaknya Ra-Hyang Sempakwaja, yaitu Poh Ra-Babu).

Menurut Sugeng Priyadi Galuh dan Mataram memiliki maksud arti sama yaitu 'Ibu yang Agung'. Galuh dan Mataram bermakna Ibunda para raja. Kisah ini dapat dibandingkan dengan Ken Dedes, dimana darinya para raja Jawa kelak akan terlahir dan berkuasa di Tanah Jawa.

Menurut naskah Bali, Galuh berarti Ibu dari leluhur orang Bali.

Jadi kisah Uyut di atas lebih tergambar meski pun samar-samar. Ra-Babu atau Ibu yang Agung menjadi ibu para raja di Mataram yang seolah mewakili suku Jawa. Oleh karena itu, wanita Jawa dianggap Ibu oleh orang Sunda juga oleh orang Bali.

Mitos tersebut semakin luntur di kalangan bangsa Indonesia. Seiring semakin berkembangnya peradaban dan kehidupan dunia yang semakin modern, mitos ini tidak lagi menjadi hambatan dalam melaksanakan pernikahan antara lelaki Sunda dan Wanita Jawa. Sebagaimana disampaikan dalam awal artikel ini, penulis dan adik penulis juga beristri Urang Jawa.

Sponsor