Cari

Hukum dan Undang-Undang Kutara Manawa tentang Perempuan di Zaman Majapahit | Kitab Hukum Kutaramanawa - KUHP Era Majapahit

[Historiana] -  Sejarah Pulau Jawa masa lampau seakan gelap. Hal ini terjadi terkait berbagai kisah legenda yang bersifat mistis lebih dominan daripada hasil kajian ilmiah. Misalnya dalam kisah Sejarah tanah Jawa yang dikutip dari Legenda Tanah Jawa berupa kisah rakyat Penumbalan Tanah Jawa dari gangguan makhluk halus, jin, memedi dan sejenisnya di Pulau Jawa dengan menanam Batu hitam yang dirajah dengan Aji Kalacakra di Gunung Tidar oleh Ngusman Aji. Video: Misteri Asal Mula Pulau Jawa dan Gunung Krakatau | Diskusi Legenda Kuno. Penggambaran yang teramat Suram wajah penghuni pulau Jawa yang dianggap kosong dan hanya dihuni oleh makhluk halus. Sampai-sampai didatangkan 20.000 keluarga atas perintah Sultan Galbah dari negeri Ngerum di Brusah (Turki sekarang) ke Pulau Jawa. Namun secara berangsur hanya tinggal 2000 keluarga dan 20 keluarga saja. Alur cerita ini sejalan dengan Babad Tanah Jawi. Kisah Syekh Subakir dan Sabdo Palon terjadi pada tahun 1404/1405 atau Abad ke-15 Masehi. Padahal kita tahu bahwa di tahun itu, di Jawa bagian Timur masih ada kekuasaan Majapahit dan di Jawa bagian Barat Pajajaran masih eksis. Kisah ini lebih bersifat mistis-bombastis-propagandis

Benarkah penduduk Pulau Jawa segelap dan seburuk itu? Mari kita telusuri dari fakta sejarah. Bahwa Pulau Jawa telah dihuni manusia sejak zaman prasejarah sebelum Masehi. Penemuan Kerangka manusia Gua Pawon 11.500 tahun dan potongan tulang manusia Austronesia di Ciamis berumur 600.000 Tahun.

Kita lihat sejarah zaman kuno yaitu pada kisaran abad 14-15 Masehi yang sekira sezaman dengan Legenda asal-usul Tanah Jawa. Pada abad ke-14 atau 15 Masehi itu, masa pemerintahan Majapahit. Bukan hanya Pulau Jawa dihuni manusia, bahkan saat itu telah maju dengan sistem ekonomi, pemerintahan, militer, teknologi arsitektural dan lain-lain. Lebih menarik lagi, ada hukum yang modern untuk segenap warga negaranya, yaitu dalam Naskah Kutaramanawa. Di Pajajaran ada aturan yang dibuat untuk mengatur rakyat Pasundan dengan Naskah Sanghyang Sasana Mahaguru yang ringkasannya terdapat pada naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian.

Sebelumnya telah diposting artikel mengenai Naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian dan Sanghyang Sasana Mahaguru. Mari kita kutip Naskah Kutaramanawa yang merupakan hukum Pidana dan Perdata di Kerajaan Majapahit. Ada banyak pasal-pasal yang mengatur berbagai persoalam pidana, perdata dan ketatanegaraan. Penulis mengkhususkan pada persoalan hukum yang terkait perempuan. Tujuannya sebagai pembanding kondisi perempuan di hadapan hukum di zaman sekarang yang cerderung termarginalkan bahkan terabaikan baik di negara kita maupun beberapa negara di dunia modern ini. Kita lihat apa saja aturan hukum Zaman Majapahit terkait perempuan? 

Penulis mengutip hasil penelitian Titi Surti Nastiti (2009), kita akan melihat aturan-aturan hukum terkait perempuan. Dalam teks hukum Āgama atau Kutaramanawa  yang merupakan perundang-undangan  dari  masa  Majapahit  menuliskan  peraturan  perundang-undangan yang berlaku pada masa itu dan dari masa-masa sebelumnya, yaitu zaman Mataram Hindu (Medang) seperti terdapat peristiwa hukum pada berbagai prasasti peninggalan kerajaan Mataram. hanya saja teks yang sampai pada kita berasal dari masa Majapahit. 

Teks perundang-undangan Āgama  telah diterbitkan oleh J.C.G. Jonker sebagai disertasinya pada tahun 1885 dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Slamet Mulyana pada tahun 1967. Jonker memberi nomor pasal-pasal teks perundang-undangan itu sesuai dengan teks aslinya, semuanya  berjumlah 275 pasal (Jonker 1885:36--93). Menurut Slamet Mulyana dari 275 pasal tersebut ada yang rangkap dan satu pasal sudah rusak sehingga yang dipakai hanya 272 pasal. Dari pasal-pasal yang ada, Slamet Mulyana (1967:11--2 membaginya menjadi 19 bab, yaitu: (1) ketentuan umum mengenai denda, (2) aśődusta, (3) perlakuan terhadap hamba, (4) aśőtacorah, (5) paksaan; (6) jual beli, (7) gadai; (8) utang piutang; (9) titipan; (10) mahar, (11) perkawinan, (12) pelecehan  seksual, (13) warisan, (14) caci maki, (15) tindak pemukulan, (16) kelalaian/kenakalan, (17) perkelahian (18) tanah, dan (19) fitnah.

Dari ke-19 bab perundang-undangan tersebut ada tiga bab yang memuat peraturan berkaitan dengan perempuan, yaitu tukon, perkawinan, dan parādara. Untuk memudahkan, dalam kutipan ini penomoran tidak mengikuti penomoran Jonker maupun Slamet Mulyana, setiap pasal dimulai dengan nomor satu.

Ada sembilan pasal yang isinya khusus mengatur tukon, yaitu hak-hak seorang gadis mendapatkan sejumlah uang atau barang dari calon mempelai laki-laki, sebagai tanda pengikat.Isi dari sepuluh pasal tersebut adalah:

  1. Hana ta wong-atuwa ning rarā, huwus ananggapi tukon ing anglalamar, samāpta payu, asangketa patĕmune awawarangan, jajaka ikā anganti sa-ujar ing wong-atuwa ning rarā, tka ring pasamaya, den-palakekĕn ing wong len de ning bapa ning rarā, yen mangkana sagung ning tukon, mulihanikĕl tur wong-atuwa ning rarā, kaůĕńůaha patang lakśa de nira sang amawa bhumi.
  2. Yen hana wong wadon elik ing lakine, wet ning tanparĕpe, tukone mulihanikĕl, amadal sanggama arane.
  3. Ring rarā mahu winarang, durung sapaturon lāwan lakine, wet ing tanparěpe ring jajaka ikā, tukon ing rarā mulihanikěl ping ro, amadal sanggama arane wong mangkana.
  4. Tukon ing rarā ucapĕn mangke. Ring rarā winehan dŕwe, mapakna pinaka tukone, wkasan alaki ing len, wet ing rĕpe ring lanang len ikā, bapa ning rarāmnĕng, makādi yen amamangantenakna, iya amarang larangan arane, salwira ning tukon ing anglamar karuhun mulihanikĕl ping ro, tur bapa ning rarāůĕńůanĕn patang lakśa de nira sang amawa bhumi, amadal tukon arane, kunĕng ikang alakirabi dośanya patang lakśa kang strī laki wiwijinĕn de nira sang prabhu.
  5. Ring wong aweh tukon ing rarā, wkasan mati rarā kang tinuku ikā, tan amangsula tukon ing rarā mati, apan kapatyan wĕlya arane.
  6. Ring rarā wurung patmune duk sůĕnge sapaturon, wurung de ning lanange kamalan, paran ta larane makawnang wurung ing patmu? Kuming, tan kawaśa ring sanggama, dudu lanang, wuůug ring wtĕng, ring pupu, ring bobokong, tan katon ing jaba larane, ayan, buyan iku ta wnang pamadalakna de ning rarā, ring rarā mangkana amangsulakna tukon nora anikĕl.
  7. Ring rarā huwus winehan tukon de ning jajaka, asangketa māsa ning dina rahayu patĕtĕmone, durung tka ring pasamaya ning bapa ning rarā, pinungpang ing jajaka kang sasrah tukon ikā, paůakna lan amurugul, āpan tanpangantekĕn pasangketa mangkana śāsanane, tukon tanpa gawe, parahilangĕn, petĕn de ning bapa ning rarā, jajaka ikā, ůĕńůanĕn patang lakśa de nira sang amawa bhumi, mangkana pawarah bhagawān Bhā[r]ggawa.
  8. Ring rarap śeśa [baca: rarā wiśeśa] kawongane, huwus winehan tukon de ning jajaka, tumuli iku angucap angungsi dharmma, lawan angucap angulati art[h]āh, tinggal tukon[e] jakaka ikā, liñok ujar ing jajaka ikā, makidi [baca: makādi] yen sang dwija, kapaten ing dharmma arane, tinińůa ring rarā yen mangkana, de ning tukon petĕn de ning rarā ikā uga, tan muliha maring kang adŕwe panuku strīdhana arane saking āgama.
  9. Ring rarā huwus winehan panglarang de ning jajaka[,] ake[h][,] wong wĕruh yen kaliwat saking limang wulan lawase panglarang ikā, nora wnang udalĕn man[ih] ikang panglarang de ning jajaka, wulañjar aran ing rarā [arane] ling ing loka, wnang rarā ikā wehana ring len dene rāmane.
  10. Ring rarā huwus winehan tukon de ning jajaka wkasan mati jajaka, yen hana harane [baca: arine] lanang jaja[ka] ikā, wnang wehakna ring arine ikādewarahara arane, karĕpana ikā de ning werĕwerĕh ari ning mati, wĕrewerĕh arane jajaka.


Terjemahan:

  1. Jika orang tua gadis telah menerima tukon dari pelamar sebagai tanda [si gadis] telah laku, dan telah menyetujui waktu berlangsungnya pernikahan, sedangkan jejaka menanti janji orang tua si gadis, namun ketika sampai pada waktunya gadis tersebut dikawinkan dengan orang lain oleh bapak si gadis, maka jumlah tukon harus dikembalikan dua kali lipat, dan orang tua si gadis didenda empat laksa oleh raja yang berkuasa.
  2. Jika ada perempuan tidak mau bercampur dengan suaminya, karena tidak menginginkannya, tukon kepada gadis itu harus dikembalikan dua kali lipat. Amadal sanggama namanya.
  3. Jika ada gadis yang telah menikah tetapi belum bercampur dengan suaminya karena [ia] tidak mau melayani jejaka itu, tukon harus dikembalikan dua kali lipat. Amadal sanggama namanya orang yang demikian.
  4. Tukon kepada seorang gadis yang akan diucapkan nanti. Jika seorang gadis telah menerima barang yang dimaksud sebagai tukon, kemudian kawin dengan laki-laki lain karena menaruh cinta kepada laki-laki lain, sedang bapak si gadis diam saja, bahkan mengawinkannya, perbuatan itu disebut mengawinkan gadis larangan. Segala tukon pelamar pertama harus dikembalikan dua kali lipat dan bapak si gadis dikenakan denda empat laksa oleh raja yang berkuasa. Hal itu disebut amadal tukon. Suami-istri yang menikah, masing-masing dikenakan denda empat laksa oleh sang prabu.
  5. Barang siapa memberikan tukon kepada seorang gadis, sedangkan gadis itu kemudian meninggal, tukon itu tidak usah dikembalikan, sebab kapatyan wělyan (= kematian pembelian) namanya.
  6. Seorang gadis yang belum pernah bercampur [dengan suaminya] pada saat tidur bersama, tidak tahu kalau suaminya menderita penyakit yang tidak membolehkan tidur bersama, [seperti]: impoten, tidak bisa bersanggama, bukan laki-laki, mempunyai penyakit budug di perut, di paha, di pantat; [penyakit] yang tidak terlihat dari luar [seperti] menderita penyakit ayan [atau] gila. Dalam hal yang demikian gadis berhak untuk membatalkan perkawinannya, kepada si gadis [si suami] wajib mengembalikan tukon tanpa lipat dua.
  7. Jika seorang gadis telah diberi tukon oleh seorang pemuda, dan telah ditetapkan hari yang baik untuk melangsungkan perkawinannya. [Tetapi] sebelum janji yang telah ditetapkan oleh bapak si gadis itu tiba, gadis tersebut telah ditiduri oleh pemuda yang telah menyerahkan tukon. Perbuatan pemuda itu disamakan dengan merampas kehormatan, karena ia tidak sanggup menepati janji. Demikianlah undang-undangnya. Tukon itu tidak berguna dan hilang. Bapak si gadis tidak usah mengembalikan tukon. Pemuda itu dikenakan denda empat laksaoleh raja yang berkuasa. Demikianlah ajaran bagawan Bharggawa.
  8. Jika seorang gadis bangsawan telah menerima tukon dari seorang pemuda, kemudian pemuda itu berkata bahwa ia akan menjalankan dharmma, atau berkata bahwa ia akan mencari uang, tukon pemuda itu tetap pada gadis tersebut. Namun jika ternyata ucapan pemuda itu bohong, terutama jika pemuda itu seorang guru, kematian dharmma [tidak mengenal dharmma] namanya. Jika demikian, gadis itu dipermainkan. Tukon menjadi milik si gadis, tidak usah dikembalikan kepada pemberinya. Tukon itu disebut stridhana [= harta milik istri] namanya dalam undang-undang.
  9. Jika seorang gadis telah diberi pengikat atau panglarang [dan] banyak orang mengetahuinyan setelah lima bulan lamanya [perkawinan belum dilaksanakan], maka pemuda itu tidak mempunyai hak atas pengikat itu. Gadis yang demikian oleh orang banyak disebut wulanjar [= janda yang belum kawin, belum mempunyai anak]. Ayah gadis itu berhak mengawinkannya dengan orang lain.
  10. Jika seorang gadis telah diberi tukon oleh seorang jejaka, kemudian meninggal, sedangkan pemuda itu mempunyai adik laki-laki, maka gadis itu boleh dikawinkan dengan adik laki-laki tersebut. Gadis itu disebut dewahara, sedangkan adik laki-laki dari pemuda yang telah mati disebut wěrěh wěrěh.

Maksud dari isi pasal 2 dan pasal 3 sebenarnya sama, akan tetapi ada perbedaan dalam susunan kata dan kalimatnya.

Hukum mengenai perkawinan dalam teks Āgama terdiri dari 16 pasal, yaitu:

  1. Ring aomahomah, yen tan aweh wawacan walaga ring deśa, tan siddha pomahomahe[,] wong alakirabi, yen tan asrah papan walagara ring deśa manih ring sirah, ůĕńůa wolung tali de nira sang amawa bhumi, yan ring strīuttamā wolung tali, yan ing strī madhyā patang tali, yan ring strī kaniśthā sewu nĕm atus, yen tinagih de ning deśa tan asrah, mangkana dośane.
  2. Ring wong atatawan lawan rarā, den-singidakĕn ring alas, karakśane, yen katmu de ning bapa ning rarā, kang anawanakĕn yogya amatenana wong-atuwane rarā, yen katĕmu karoronroron ing deśaha, yen ing rahina, nora wnang patenana de ning wong-atuwa ning rarā ikā kang anawanakĕn ikā, anging dunungan ing atatawan ikāůĕńůanĕn rong lakśa de nira sang amawa bhumi.
  3. Yen hana wong amalakekĕn rabi ning wong angundang ing tunggale sapakaraman lāwan kadang-wargga ning lanang, kadang-wargga ning wadon paůa den-undang, iku wong amarang larangan arane; kang amalakekĕn ůĕńůa patang lakśa dene kang aůrwe rabi ańůĕńůaha, kang kinareh alaki-arabi, wnang patenana karo ikā dene kang adŕwe rabi mula, yen amalaku ingurip lanange wadone, paůa kaůĕńůaha amatang lakśa; manih undangundangane sakehe kang wĕruh yen rabi ning wong satunggal satunggal, tan wĕruh yen larangan kan den warang ikā milu kondang ůĕńůa salakśa ring wong satunggal satunggal, wong kang milu anambung ing lungguh, nora wĕruh ring awadine kaůĕńůaha limang tali ring wong satunggal satunggal.
  4. Ring wong wadon elik ing lakine, antinak [baca: antinĕn] satahun dene lakine, yen malĕr elik ring satahun wong wadon ikā, amangsulakna tukon anikĕla pińůo amañcal turon arane.
  5. Ring wong alaki arabi olih amrihmrih arok s[baca: p]omahomahe, gagawane, duk mahu matĕmu sowang sowang, iku nora wnang yen aroka, yen durung gnĕp limang tahun, yen gnĕp limang tahun patĕmune, arok pomahomahe, sakalwira ning dŕwene, samangkanane siddha hawong rikā [baca: awor ikā]; ling sang [pan] pańůita.
  6. Ring wong aweh dŕwe ring anak-mantune, duk sůĕnge mahu aomahomah, yen mati kang wadon alapĕn dene lakine dŕwe ikā; yen mati kang lanang alapĕn dene rabine dŕwe ikā, tan wnang alapĕn de ning aweweh manih, yen huwus awor pomahomahe; hingan ing awor alaki arabi rowlas tahun.
  7. Ring rarā winehan dŕwe de ning bapa dene sihe ring iya, wkasan alaki rarāikā, tan alawas palakine, wkasan māti rarā ikā sadŕwe kang den-gawa alaki ikā, muliha maring bapa-ibu rarā, apan durung awor palakirabine, mangkana manih sadŕwe ning lanang muliha maring lanang; mangkana dharmmane.
  8. Ring wong aomahomah, alawas atĕmu anakanak [rarā], bapa uga wiśeśa ring anake, rarā[ma] wadon nora wiśeśa ring anake, yen den-palakekĕ[n] de ning rarāmane wadon rarā ikā, tanpakon ing bapa, wnang wong atuha lanang amasahakna palakine rarā ikā, yen dudu karĕpe mantu, rarāmane wadon manih rarā ikā, amalekna tukon [,] ring jajaka tan kinarĕpan de ning bapa ning rara.
  9. Yen hana wong elik ing mantune, tumuli anake den-pisahakĕn alaki-arabi, de ning tukon ing lanang mulihanikĕl ping ro, tur angulihakna papĕsĕmbah sadulure ring kuna, wastra, sabuk, siñjang, angsulakna maring mantu tan kinarĕpan, patuku susu tan muliha.
  10. Hana wong apĕpĕgatan alakiarabi, papat yakti ning pĕpĕgatan, cihnane: sāksi, anggĕmpal pisis sadulur ujar ing laki, aweh bañu rahup, aweh wija bras, iku ta lĕwih pinaka cihna yakti ning apĕpĕgatan. siddha atadin arane, yen nora hana yaktine papat iku, dudu tadin arane, durung pgat uga palakirabine, hana po wong wadon mangkana, tanpacihna apĕpĕgatan, tumuli alaki ring len, kang angalap, ůĕńůanen [baca: děndaněn] patang lakśa de sang amawa bhumi.
  11. Ring wong wadon alaki ring len, yen kang lanang mula hilang, māti ring parane[ku], karung[u] lumaku wiku, kuming tan kawaśa ring sanggama makādi wuůug ů[baca: l] arane, yen mangkana tingkah ing wong lanang ikā, kang wadon wnang [a]lakiya ring len.
  12. Ring wong lanang yen edanedanĕn, yenahringanggirih larane, yen ayan larane, kuming tan lanang wkasan elik kang wadon, antinĕn tĕlung tahun, wong lanang ikā dene rabine, konĕn angulatana tamba yen tan waras ing tlung tahun kang lanang ikā, tan dośanan wong wadon ika, yen alakiya ring len, sapanukune, tan muliya maring wong lanang ikā, anganti sĕmi ning pang aking arane.
  13. Śāsana ning alaki arabi, yen lunghā apaparan, minta alayar, sapuluh tahun hingane lawase lunghā, mintar angulati pisis deśāntara, patang tahun hingane lawase lunghā, mintar angaji sarwwaśāstra nĕm tahun lawase lunghā; hana ta wong lunghā atinggal rabine, tan alayar, tan angulati pisis, makadon dadia pomahomah, tan lunghā angaji sarwwaśāstra, yen hana wong mangkana rabine angantiya patang tahun; yan liwat saking patang tahun wnang alakia ring len; ling ing Mānawaśāstra mangkana; yan ing Kuőaraśāstra tlung tahun, wnang alakia ring len, lakine purwwaka tan wnang yen andośanana, ujar ing āgama; pinisahakĕn ing hyang arane.
  14. Ring wong tinambang dene lakine, kang lanang lunghā amet dharmma, atakitaki, ulahayu, antinĕn dene kang wadon wolung tahun, yen lunghā angaji amet śāstra yantĕkana [baca: antekna] nĕm ta[h]un, yen lunghā adagang alayar, amet artha, antekna sapuluk [baca: sapuluh] tahun, yen lunghā[y]arabiyantekna tlung ta[h]un, yenora akikirim kang lanang ring rabine [i]kā, wnang alakiya ring len; ring wong wadon tinambang [de]ne lakine kang lanang apaparan anduradeśa, antinĕn patang [ta]hun dene wong wadon ikā, nora tka patang [ta]hun dene wong wadon ikā, nora tka patang tahun, wnang p[baca: k]ang wadon alakiya ring len.
  15. Ring wong arabi anakawalon, ůĕńůa patang lakśa de nira sang amawa bhumi, anasarnnala[sa]r arane, tanpanut gape [baca: gawe] ring wong mangkana.
  16. Ring wong angahap [baca: angalap] balubalu ning pakaraman balubalu denbidara, ůĕńůa wolung tali de nira sang amawa bhumi.


Terjemahan:

  1. Dalam berumahtangga, jika tidak memberikan surat keterangan perkawinan kepada desa, tidak syah perkawinanya. Jika suami istri tidak menyerahkan surat keterangan perkawinan juga kepada kepala desa, dendanya delapan tali oleh raja yang berkuasa, jika si istri itu orang utama, jika dari kalangan menengah dendanya empat tali, [dan] jika orang rendahan, dendanya seribu enam ratus. Jika ditagih oleh desa [tetapi] tidak menyerahkannya, sekian itulah dendanya.
  2. Jika ada orang melarikan gadis, menyembunyikan di dalam hutan dan menjaganya, jika diketahui oleh orang tua si gadis, ayah gadis itu berhak membunuh si pencuri. Namun jika kedua-duanya ditemukan kembali pada siang hari, orang tua gadis itu tidak berhak membunuh si pencuri. Pemilik rumah yang ditempati, akan didenda dua laksa oleh raja yang berkuasa.
  3. Jika ada orang menikahkan seorang istri dan mengundang tetangga sepekarangan serta sanak saudara mempelai laki-laki dan mempelai perempuan, disebut bahwa orang itu melanggar larangan. Orang yang menikahkannya didenda empat laksa, demikian pula mempelai laki-laki. Suami pertama berhak membunuh kedua mempelai itu. Jika mempelai laki-laki dan mempelai perempuan memohon hidup, masing-masing akan didenda empat laksa. Juga para undangan yang mengetahui bahwa mempelai perempuan itu istri orang, masing-masing akan didenda dua laksa. Para undangan yang tidak mengetahui larangan tersebut akan didenda masing-masing satu laksa. Orang yang ikut menghadiri tanpa mengetahui rahasia pernikahan itu, masing-masing akan didenda lima tali.
  4. Jika perempuan tidak suka kepada suaminya, supaya suami menunggu selama setahun. Jika setelah setahun masih tetap tidak suka kepadanya, perempuan itu harus mengembalikan tukon dua kali lipat. Amancal turon, namanya.
  5. Jika dalam perkawinan suami istri ingin mencampur harta milik yang dibawanya masing-masing ketika menikah, percampuran itu tidak dibenarkan sebelum genap lima tahun. Setelah genap lima tahun menikah, barulah diizinkan percampuran harta milik suami istri itu. Percampuran harta milik itu baru syah. Demikian kata sang pendeta.
  6. Jika orang memberi harta kepada anak menantunya ketika mereka menikah, jika anak perempuannya meninggal, harta itu menjadi milik suami. Jika suaminya yang meninggal, maka hartanya menjadi milik istrinya. Orang tua yang memberikan [harta tersebut] tidak berhak mengambilnya kembali jika telah bercampur kekayaannya. Batas waktu percampuran kekayaan dalam perkawinan adalah 12 tahun.
  7. Jika seorang gadis menerima pemberian dari bapaknya karena kasih kepadanya, kemudian gadis itu menikah. Pernikahannya tidak berakhir lama karena gadis itu meninggal, maka semua harta yang dibawanya ketika menikah kembali kepada orang tua si gadis, karena belum terjadi percampuran kekayaan. Demikian undang-undangnya.
  8. Jika orang berumah tangga setelah lama pernikahannya itu lahir anak perempuan, maka ayahnya berhak atas anak itu; ibunya tidak mempunyai hak atas anaknya. Jika anak itu dinikahkan oleh ibunya tanpa perintah ayahnya, maka ayahnya berhak menceraikan anak perempuannya, jika menantunya kurang disukai. Ibunya harus mengembalikan tukon kepada pemuda yang ditolak ayahnya.
  9. Jika ada orang tidak suka kepada menantunya, kemudian anaknya diceraikan dari perkawinan, harus mengembalikan tukon dua kali lipat kepada pihak laki-laki, dan segala pemberian sebelumnya [yaitu] pakaian, sabuk, kain, supaya dikembalikan kepada menantu yang ditolak itu. Uang pembeli susu tidak usah dikembalikan.
  10. [Jika] ada orang bercerai, ada empat bukti perceraian, yaitu saksi, memecah uang yang diucapkan oleh saudara dari pihak laki-laki, memberikan air untuk mencuci muka, memberikan butir beras. Itulah bukti perceraian. Namanya siddha atadin. Jika empat bukti itu tidak dilakukan, perceraian itu tidak syah, perkawinan itu belum terpisah. Jika ada perempuan tanpa bukti perceraian tersebut menikah dengan laki-laki lain, ia akan didenda empat laksa oleh raja yang berkuasa
  11. Jika perempuan menikah dengan laki-laki lain karena suaminya hilang, meninggal dalam perjalanan, terdengar suaminya menjadi pendeta, impoten tidak bisa bersanggama terutama budug sakitnya. Jika demikian keadaan suaminya, perempuan itu boleh menikah dengan orang lain.
  12. Jika laki-laki [menderita penyakit] gila, batuk kering, ayan, impoten, banci, dan akhirnya si istri tidak suka kepadanya, supaya menunggu selama tiga tahun. Suaminya disuruh berobat. Jika selama tiga tahun tidak sembuh dari penyakitnya, si istri jangan disalahkan kalau ia menikah lagi dengan orang lain. Tukon tidak usah dikembalikan kepada suaminya. Menunggu dahan bertunas, namanya.
  13. Aturan dalam perkawinan, jika [suami] pergi mengembara, pergi berlayar, sepuluh tahun batas lamanya pergi, jika pergi mencari uang ke desa lain, empat tahun batas lamanya pergi, jika pergi belajar untuk menambah ilmu pengetahuan, enam tahun batas lamanya pergi. [Jika] ada orang pergi meninggalkan istrinya, tidak berlayar, tidak mencari uang untuk menambah harta kekayaan yang dibawa dalam perkawinan, tidak pergi untuk menambah ilmu pengetahuan. Jika ada orang yang demikian, istrinya menunggu empat tahun, jika lewat dari empat tahun, [ia] boleh menikah dengan orang lain. Demikian kata Mānawaśāstra; jika [menurut] Kutaraśāstra tiga tahun, boleh menikah lagi dengan orang lain. Suami yang terdahulu tidak berwenang menghukumnya, kata Agama dipisahkan oleh Hyang namanya.
  14. Jika [ada] orang ditinggalkan suaminya untuk menjalankan dharmma, menjadi pendeta, untuk berbuat kebaikan, perempuan itu harus menunggu selama delapan tahun. Jika [si suami] pergi belajar untuk mencari pengetahuan, harap menunggu selama enam tahun. Jika pergi berlayar untuk berdagang, mencari uang, harap menunggu selama sepuluh tahun. Jika pergi menikah lagi, harap ditunggu selama tiga tahun. Jika si suami tidak pernah mengirim apa pun kepada istrinya, si istri boleh menikah dengan laki-laki lain. Jika seorang istri yang ditinggalkan suaminya untuk mengadakan perjalanan jauh, ia harus menunggu selama empat tahun, jika empat tahun telah lewat dan suaminya belum kembali, si istri boleh menikah lagi dengan laki-laki lain.
  15. Jika [ada] orang menikah dengan anak tirinya, dikenakan denda empat laksa oleh raja yang berkuasa. Orang yang demikian disebut tersesat. Tidak mengikuti tata susila orang yang demikian itu.
  16. Jika [ada] mengambil janda yang ditinggal di halamannya, atau mengambil janda orang lain yang dihukum mati, dikenakan denda delapan tali olah raja yang berkuasa.


Paradāra arti harafiahnya adalah istri orang lain atau perbuatan serong. Dalam paradāra menyebutkan pelbagai jenis hukuman atau denda yang dikenakan kepada laki-laki yang mengganggu perempuan. Pasal-pasal yang terdapat dalam paradāra, yaitu:

  1. Děńda ning paradāra ucapěn mangke: paradāra arane rabi ning wong len. Wong anggaměli rabi ning arabi, sira sang prabhu ring kunakuna agawe ůěńůa, anuta sasůěng ing dośa, gung ing ůěńůa rong lakśa maring adŕwe rabi, patukune hurip kang anggaměli, yen strī uttama ring ůĕńůa salakśa strīmadhyama ikā; ring ůěńůa limang tali strī kaniśta ikā, dudu sang prabhu angalap ůěńůa ikā, kang adŕwe rabi wiśesa ring ůěńůa, yen harěpisis, kuněng duk sůěnge anggaměli karuhan dene ikang arabi, wnang patiha ning anggamli.
  2. Wong amungpang rabi ning arabi, den-tut maring gnah ing wong wadon ikā, wet ning rěpe kang amungpang, dosane kang amungpang dosa pati de nira sang amawa bumi.
  3. Ring wong maring paturon ing rabi ning arabi karěpe angalonana, děnda rong lakśa yen luput ikang rabi denaloni, ůěńůa maring kang adŕwe rabi, patukune hurip kang harěp angalonana, yen kna dene angaloni ůěńůa pati dene kang adŕwe rabi.
  4. Ring wong anggamli rabi ning arabi, tur angaloni pisan, hana kang akon angalonana ring umah ing wong kang akon gnahe angaloni, kang aůrwe umah suka gnah ing angaloni ůĕńůanĕn kang adŕwe umah, rong lakśa de nira sang amawa bhumi, kang angaloni dośa pati ring laki kang ingalona ikā, yen saking Mānawa iki; yen saking Kuőara, kang angaloni dośa pati, yen harĕp ahuripa ůĕńůa patang lakśa, kang akon tur angajani angalona ring umahe, ůĕńůa patang lakśa de nira sang amawa bhumi.
  5. Ring wong anilih panganggo ring rabi ning arabi ring aspi, wkasan kawŕtta ring wong akeh, kang anilih ůĕńůa rong lakśa dene kang adŕwe rabi.
  6. Ring wong aucapucap lāwan rabi ning aspi, harĕp ahutanga ujare ůĕńůanĕn salakśa, mantange ring wong; hayo aucapucap lāwan rabi ning arabi, larangan ing alarangan ring aspi, apan ewĕh ring smara pinamalĕran; yadyan pańůita tuwi, hayo sira sapocapan lāwan strī ring aspi, apan ing samuha ning indriya śakti dahat, ewuh lināwan hala ning tan rumakśa ring indriya, hilang ikang kapańůitaan, yan inumbar; mangkana ling sang hyang āgama.
  7. Wong wadon angiringakĕn rarā, den-atĕrakĕn maring imah ing jajaka, manih hana wong wadon aweh gnah, de ning ajaka lāwan rarā atmu tan sareh, sangkane aweh gnah ikā len-upahupahi de ning jajaka lāwan rarā ikā, ikā ta kang angatĕrakĕn rarā, kang aweh gnah, karorong wadon ikāůĕńůanĕn patang ewu de nira sang amawa bhumi, kahilangane dośane.
  8. Ring wong anggamĕli rarā, angajak atatawan, amamanis ing ujar, angajak maring aspi, momahomahan arane; ůeńůanĕn patang tali de nira sang amawa bhumi, yen hana wong mangkana.
  9. Ring wong atukar lāwan rabi ning arabi, akeh wong wĕruh patukare, ring wong lanang mangkana strīsanggrahana arane, ůĕńůa rong lakśa maring adŕwe rabi; ring wong atukar lawan rarā cilik ůĕńůa rong lakśa maring sang adŕwe bhumi.
  10. Ring wong anggamĕli rarā, anangis akrak rarā ginamĕlan ikā, akeh wĕruh yogya gawenĕn sākśi pinaka cihnane hana, pakenana [baca: patenana] kang anggamli de nira sang amawa bhumi.
  11. Ring wong anggamĕli rabi ning arabi, tugĕlana tangane kang anggamĕli de nira sang amawa bhumi, iku ůĕńůane, tur cihnanana tuńůungĕn saking deśa nira, iku tĕtĕngĕre, yen anggamĕli rabi ning wong.
  12. Ring wong angucapucap lawan rabi ning arabi, ring śunpa [baca: śunya] ring taman, ring alas, ring kali, sagnahane angucapucap uś [uga?] kikiwan uga hana smune maring wong wadon ikā, nanging tan kalawanan de ning wadon, wong wadon ikā tan istri rabi ning arabi, tan kapinghit, [king] anĕmoni guyu, angujarwating [baca: angujiwati] strīsanggrahańa arane, ůĕńůanĕn kang anĕmoni guyu ikā limang tali, sangkane ańůik [baca: akůik] ůĕńůane, reh ing wong wadon tan kapinghit, dudu larangan ing uttamajanma .
  13. Ring wong angucapucap lawan rabi ning wong tumul[i] kaping[h]it dene lakine wong uttama-janma, iku stra [baca: strī]sanggrahańa arane .....
  14. Yen angucap[u]cap kararangguhan ing aspi, anghing dene araraśan ika, tan akārańa saking harĕp ing wong wadon ikā, tan asmu pangucapucap ing basaja, kewala saking tan-wĕruhe ring lak[i], ring wong mangkana ůĕńůanĕn limang tali, dośane strīsanggrahan[a] kalilane [baca: kalingane] ring wong lanang lawan wong wadon, yen ujar ing śāstra, tan wnang yen asapocapana ring aspi, lawan rabi ning arabi, yen rabiha ning sanak, rabiha ning paman, [w]uwa kunĕng, rabiha ning anakmantu sakalwira ning strī larangan, tan yogya rowanga ning sapocapan ring aspi, tan ulaha nira sang wĕruh ing hang [baca: sang hyang] āgama, apan mangkana dharmma ning dadi jahangĕt ing bra[h]ma.
  15. Ring wong amahugi ri [baca: ra]bi ning arabi [ningi], lawan amahugi larangan ing larangan, amahugiha ri[ng][ka] kawula dāsih nira sang lĕwih, makādi kawula nira sang amawa bhumi, amahugi pinahugi de ning wong wadon, akārańa paůa karĕpe, kang den-pahugenĕn burat, kĕmbang, suwĕng, al[i]ali, lading panunuratan, pangriringgitan, dodot, būśańa, sapaweweh ing amahugi haga [baca: uga] pawehwehe kang lanang manih pawewehe kang wadon ikā, katmu asisiwo[n] lāwan wong wadon ring aspi, makādi, yen angguguńananana, iku strīsanggrahańa arane, ůĕńůa pati dośane; mangkana dośana ling sang pańůita.
  16. Ring wong abcikula kajatine ingunggahan de ning rarā, han [baca: tan] dośanana kang ingunggahan ikā, de nira sang amawa bhumi. Ring wong asor kajat[i]ne, sor kulane, ing[u]nggahan ing rarā paramenakajatine, pisahakna rarā ikā lawan kang den-unggahi, huwus apisah, takonana de nira wong-atuwane rarā ikā, yen dudu karĕpe mantu wong lanang sor kulane ikā, patenana wong lanang ikā de nira, rarā ikā ulihakna maring rarā[ma]ne, manih yen paůa karĕpe rarā ikā lawan rarāmane lanang, wong lanang [k]asor kulane ikā, aweha tukon maring bapa ning rarā ikā, jawikapatĕh arane.
  17. Ring [wong] wadon amarang, akon aharang [baca: amaranga] m[i]trane wadon, lawan hana wong wadon sapadaluran lawan wong wadon lunghāatata[r]wan ing [baca: tin]utakĕn de ning wong lanang, manih hana wadon aweh dunungan ing wong lunghā, ring wong wadon mangkana katlu iku ůĕńůanĕn patang tali de nira sang amawa bhumi.

 Terjemahan:

  1. Denda paradāra yang diucapan sekarang: paradāra artinya istri orang lain. Orang yang memperkosa istri orang lain, sang prabhu sudah sejak dulu mengenakan denda, sesuai dengan besar kecilnya kesalahan. Jumlah dendanya dua laksa untuk suaminya, jika istri itu orang utama; jika berasal dari orang menengah, dendanya selaksa; jika orang rendahan, dendanya lima tali. Penerima denda bukan sang prabhu. Denda itu menjadi hak milik sang suami, demikian itu jika ia mengehendaki denda uang. Jika sedang memperkosa tertangkap basah oleh sang suami, pemerkosa itu boleh dibunuh.
  2. Orang yang meniduri istri orang lain, setelah mengikutinya sampai di rumah perempuan itu, karena ia berminat kepadanya, yang meniduri dikenakan pidana mati oleh raja yang berkuasa.
  3. Jika [ada] orang pergi ke tempat tidur perempuan yang telah bersuami, dengan maksud menidurinya, dendanya dua laksa, jika perempuan itu meloloskan diri dari pelukannya. Denda itu diserahkan kepada yang punya istri sebagai penebus hidupnya. Jika ia berhasil menidurinya, dikenakah pidana mati oleh yang punya istri.
  4. Jika orang memegang perempuan yang telah kawin dan sekaligus menidurinya, serta jika ada orang yang menuruhnya untuk menidurinya di rumahnya, karena yang menyuruh itu menyediakan tempat, ia dikenakan hukuman mati oleh suami perempuan yang ditidurinya, sedangkan orang yang menyuruh dikenakan denda dua laksa oleh raja yang berkuasa. Demikian itu menurut Mānawa. Jika menurut Kuőara orang yang meniduri, dikenakan hukuman mati. Jika ia ingin hidup, kena denda empat laksa. Orang yang menghasut dan menyuruh meniduri di rumahnya, dikenakan denda empat laksa oleh raja yang berkuasa.
  5. Barang siapa meminjam pakaian perempuan yang telah menikah di tempat sepi, kemudian diketahui orang banyak, orang itu dikenakan denda dua laksa oleh raja yang berkuasa.
  6. Barang siapa berbicara dengan perempuan yang telah menikah di tempat sepi, meskipun katanya akan berutang, dikenakan denda selaksa. Itu adalah larangan. Jangan berbicara dengan perempuan yang telah menikah, terutama di tempat sepi, karena nafsu birahi susah dikendalikan. Meski seorang pendeta sekalipun, dilarang menegur seorang istri di tempat sepi, karena nafsu indera sangat kuat susah dilawan. Jika tidak dapat menjaga inderanya, tetapi mengumbarnya, hilanglah kependetaannya. Demikian kata Sang Hyang Agama.
  7. Jika perempuan mengiringkan seorang gadis dan mengantarkan ke rumah seorang pemuda, atau jika ada perempuan memberi tempat untuk pertemuan yang tidak senonoh antara seorang pemuda dan seorang gadis, karena menapat upah dari pemuda dan gadis itu, kedua perempuan baik yang mengantarkan gadis maupun yang menyediakan tempat itu dikenakan denda empat ribu oleh raja yang berkuasa sebagai penghapus kesalahannya.
  8. Jika [ada] orang memperkosa gadis, mengajak lari, berkata manis, mengajak ke tempat sepi, babi namanya. Dikenakan empat tali oleh raja yang berkuasa terhadap orang yang demikian.
  9. Jika [ada] orang yang bertengkar dengan seorang perempuan yang telah menikah dengan disaksikan oleh orang banyak. Lelaki yang demikian namanya strīsanggrahana. Dendanya dua laksa untuk suaminya. Lelaki yang bertengkar dengan gadis kecil, dikenakan denda dua laksa oleh raja yang berkuasa.
  10. Jika [ada] orang memperkosa seorang gadis, kemudian gadis itu berteriak menangis, sedangkan banyak orang yang mengetahuinya, buatlah orang-orang itu saksi sebagai bukti. Orang yang memperkosa itu dikenakan pidana mati oleh raja yang berkuasa.
  11. Jika [ada] orang memperkosa perempuan yang telah bersuami, orang yang demikian itu supaya dipotong tangannya oleh raja yang berkuasa. Itulah dendanya. Usirlah dari desa tempat tinggalnya [dan] beri tanda sebagai ciri bahwa ia pernah memperkosa istri orang.
  12. Jika [ada] orang berbicara dengan perempuan yang telah menikah di tempat sepi, di taman, di hutan, di sungai, di mana pun di tempat yang terpencil, dan kelihatan bahwa ia ada maksud kepada perempuan itu, tetapi tidak dilayani oleh perempuan itu, sedangkan perempuan itu bukan istri utama, tidak terpingit, lalu mengajak tertawa malah melirik, perbuatan itu disebut strīsanggrahana. Laki-laki yang mengajak tertawa itu supaya didenda lima tali. Alasan mengapa dendanya sedikit ialah karena perempuan itu tidak dipingit dan bukan istri larangan orang utama.
  13. Barang siapa berbicara dengan istri orang, kemudian istri itu dipingit oleh suaminya, karena ia orang utama, perbuatan itu disebut strīsanggrahana.....
  14. Jika berbicara dengan seorang istri di tempat sepi, tetapi tidak disebabkan karena ia menginginkan perempuan itu dan dalam pembicaraannya tidak mengandung maksud apa-apa, hanya karena ia tidak tahu [bahwa perempuan itu telah menikah], orang yang demikian itu supaya dikenakan denda lima tali, kesalahannya strīsanggrahana. Sebabnya ialah karena menurut undang-undang laki-laki dilarang berbicara di tempat sepi dengan perempuan yang telah bersuami, meskipun perempuan itu istri saudaranya, istri pamannya, istri menantunya, pokoknya dengan perempuan yang telah menikah, perempuan larangan. Tidak baik berbicara dengan teman di tempat sepi. Orang yang tahu akan undang-undang jangan melanggarnya; orang yang ingat kepada Brahmāwajib mengindahkan undang-undang itu.
  15. Jika [ada] orang memberi hadiah kepada perempuan yang telah menikah atau memberi hadiah kepada perempuan larangan, [yaitu] kekasih orang kaya, [perempuan yang] menjadi hamba raja yang berkuasa, memberi atau menerima hadiah dari seorang perempuan karena sama-sama suka, misalnya bedak, bunga, subang, cincin, pisau tulis, wayang, kain, pakaian, berupa apa pun pemberian itu baik dari pihak laki-laki maupun perempuan, atau ketahuan berolok-olok tertawa-tawa dengan perempuan di tempat sepi, perbuatan itu disebut strīsanggrahana dan dikenakan pidana mati. Demikianlah dosanya kata sang pendeta.
  16. Jika ada orang dari keturunan baik dilamar oleh seorang gadis, jangan dikenakan denda orang yang dilamar itu oleh raja yang berkuasa. Jika orang rendahan, yang tidak dari keturunan baik dilamar oleh seorang gadis dari keturunan tinggi, supaya gadis itu dicegah dan dipisahkan dari orang yang dilamarnya. Sesudah terpisah, supaya orang tua gadis itu diminta keterangannya bahwa orang tuanya tidak ingin mempunyai menantu laki-laki dari keturunan rendah, supaya laki-laki itu dikenakan pidana mati. Gadis itu supaya dikembalikan kepada ayahnya. Tetapi jika gadis maupun ayahnya memang menghendaki laki-laki dari keturunan rendah itu, supaya ia memberikan tukon kepada ayah gadis itu. Jawi kapateh, namanya.
  17. Jika ada perempuan menikahkan atau menyuruh menikah teman perempuannya, jika ada perempuan hidup bersama dengan perempuan lain yang lari dari kejaran suaminya, jika ada perempuan memberi tempat kepada perempuan yang lari, tiga macam perempuan itu dikenakan denda empat tali oleh raja yang berkuasa.


Selain pasal-pasal yang mengatur tukon, perkawinan, dan paradāra, ada pasal lainnya yang penting dalam kehidupan masyarakat Jawa Kuna, yaitu mengenai hak waris. Dalam perundang-undangan Āgama hak waris ini disebut (drewe kaliliran) yang diatur sebagai berikut:

  1. 1. Ring wong aomahomah, arabi sawiji, wkasan akeh [an]ake, mati rarāmane lanang; anak lanang kang atuha, angalapa sing dŕwene lěwih karuhun, uddhāra arane saking āgama, sasůěnge pangalape, yen agung pomahomah den-agung pangalape ring panglěwih yen alit pomahomah, den-alit pangalape [ring pa]ngalěwih, lwir ing uddhāra, satahil, rong tahil, patang tahil [tinuta] anuta sayogya ning dŕwe dinum, sańůěg ing hingan, ring wong mahomah [baca: pomahomah] paralimaněn de ning anakang atuw[h]a, ring mas limang tahil, pinaka panganggo de ning rarāma, paůa lěwi[h] rupane, warńnane, kang patang duman alapěn ing sanak-atuha, kang sa[dun]duman duměn papak ring sanak anom kabehan, dŕwe kabeh mangkana uga, ring pañcoddhāra tan yogya hayo angalap dŕwe limang duman, sanakabeh saduman den-kěmbuli, hingane alapěn patang g[baca: d]uman uga, pangalěwiha saking sanaka[beh] a[baca: i]ngaranan caturuddhāra, hayo pahjeddara [baca: pañcoddhāra] yen sanakatuha anganggo caturuddhāra aněmu kaděrggayu sanaka.
  2. Dŕ[we] ning [ta]npanakanak, yen mati, sang prabhu sira angalap.
  3. Li [baca: ring] wong tanpanakanak angodara paradeśa mati ring parane, dŕwene alapěn de nira sang amawa bhumi, dŕwe kalěbu ring sumur arane.
  4. Yan sang brāhmana arabi papat, sahos kanakśabrāhmangabmakā, dumana sawlasan uga, tan wehana sapaduman ing kang mtu saking brāhmańī, saking kśatriyā, saking wong tani, saking [wong] adagang, tan paůakna, mangkana dharmma ning saratka.
  5. Hana ta wtu ning anak rowlas ucapěn mangke ling baőhāra Madu [baca: Manu] mawarah ring janma kabeh, ingětakna sapating ambatgawe, něněm keh ing anak, wehana dŕwe kaliliran, kang něněma ning anak tan wehana dŕwe kaliliran, paran ta patunggaltunggalane. Anak ing ragisakan rarehan duk paůa jajaka rara, olih ing ramā reńa amara[ng], rabi kapingroning aomahomah, huwus akinga tuwi, bh[baca: ng]anging tan hana pocapane hala, tanpawada, tur kinon alakiha de ning rāma-reńane, anak paweweh ing sanak, kadang wargga, anak pinalaku anak ing wong len, anak oleh ing rabi abibisan, kinon de ning laki, sangkane anakanak, anak ing wong len debuñjal [baca: den-buñcal] pinupupupu ingaku anak, hinubang [baca: iku kang] něněm, wnang amet[a] dŕwe [li] kaliliran. Ĕndi ta kang něněm[a]ne [nora] wnang ameta dŕwe kaliliran. Anak sůěng ing rarā tan kasapekśan kang pinaka bapa, anak casaruban akehanůuha, anak ing wong wadon apěpěgatan lawan lakine tumuli alaki ring len, mahu kaworran wong wadon ikā, mati lakine kang pińůo, tan alawas muli[h] r[ing] lakine mula anutugaděn dadihanirara ikā, anak [ing] olih ing atuku, anak ing wong len amalaku ingaku anak, anak ing kawula sor kawongane inaku anak.
  6. Yen anak paweweh, lawan anak ing wong len ginawe anak, wehana satngah dumdumane, tan milu kaduman-duman ring angaku anak, yen ora [h]ana anak tměn, wnang i[ka]ng anak paweweh, anak ing len [g]inawe anak, angalapa sing sa-dŕwe ning angaku anak.


Terjemahan:

  1. Jika orang yang berumah tangga dengan satu istri, mempunyai anak banyak, [kemudian] si suami meninggal [maka] anak laki-laki tertua boleh mengambil harta milik [orang tuanya] lebih dahulu. Dalam Āgama disebut uddhāra. Pembagian warisan [di atur seperti berikut]: jika besar warisan itu maka ia mendapat bagian yang besar dari kelebihannya; jika sedikit warisan itu maka ia mendapat sedikit kelebihannya. Seperti [aturan] dalam uddhāra: Setahil, dua tahil, empat tahil, bergantung pada [besar kecilnya] warisan yang akan dibagi, jadi ada batasnya. Warisan hendaknya dibagi lima oleh anak tertua, [jika warisan itu berupa] perhiasan yang dipakai orang tuanya [seberat] emas lima tahil, warna dan rupanya sama. Empat bagian diambil oleh anak tertua; yang sebagian dibagi rata di antara semua anak-anaknya yang lebih muda. Warisan lainnya dibagi demikian juga. Anak tertua tidak dibenarkan mengambil lima bagian itu semuanya; sebagian diperuntukkan bagi semua anak lainnya. Paling banyak ia dibenarkan mengambil empat bagian. Sisanya untuk semua saudaranya. Empat bagian itu disebuit caturuddhāra. Jangan sekali-kali mengambil kelima bagian itu semuanya. Jika anak tertua hanya mengambil empat bagian, ia akan memperoleh umur panjang.
  2. Harta orang yang tidak mempunyai anak, jika meninggal, sang prabhu yang mengambil.
  3. Jika orang tanpa anak merantau ke tempat lain dan meninggal di perantauan, hartanya diambil oleh penguasa, hartanya itu masuk ke dalam sumur namanya.
  4. Jika seorang Brāhmańa mempunyai istri empat, melahirkan anak dari pelbagai kasta, harta miliknya supaya dibagi sebelas. Tidak boleh disamakan warisan anak yang lahir dari perempuan Brāhmańa, dengan yang lahir dari perempuan Kśatrya, dari perempuan petani, dan dari [perempuan] pedagang. Demikianlah peraturan di seluruh dunia.
  5. Mengenai kelahiran dua belas anak yang [akan] dibicarakan sekarang [seperti] dikatakan Batāra Manu kepada semua manusia. Supaya diingat apa yang dilakukan. Enam orang anak yang akan mendapat warisan, yang enam lainnya jangan diberi warisan. Bagaimana perinciannya? Anak yang lahir dari perkawinan gadis dan jejaka yang oleh bapak ibunya dinikahkan. Anak yang lahir perkawinan kedua, sekalipun pun miskin namun tidak ada perkataan buruk, tidak ada ejekan, dan si laki-laki mendapat izin kawin dari bapak-ibunya. Anak pemberian saudara [yang masih] anggota keluarga. Anak yang diaku dari orang lain. Anak yang diperoleh dari perzinahan si istri karena disuruh suaminya agar mempunyai anak. Anak buangan yang dipungut dan diaku sebagai anak. Itulah enam macam anak yang akan memperoleh warisan. Mana enam anak yang tidak boleh mendapat warisan? Anak yang lahir dari gadis yang diperkosa oleh bapak [si anak]. Anak campuran dari banyak [laki-laki]. Anak dari perempuan yang bercerai dan kawin lagi dengan laki-laki lain dan perempuan itu bercampur [dengan suaminya], [karena] suami kedua itu meninggal, tidak lama kemudian kembali kepada suami yang pertama dengan anak dalam kandungannya. Anak yang diperoleh dari pembelian. Anak orang lain yang minta agar diaku anak. Anak hamba yang berasal dari keturunan rendah yang diaku anak.
  6. Anak pemberian dan anak orang lain yang dijadikan anak, akan memperoleh separuh bagian. Tidak ikut mendapat bagian bagi [orang] yang mengaku anak. Jika tidak ada anak pungut [maka] yang berhak [adalah] anak pemberian, anak orang lain yang dijadikan anak, mempunyai hak atas semua harta orang yang mengaku anak.


Apabila pasal-pasal di atas merupakan aturan-aturan yang berlaku pada masyarakat Jawa Kuna, maka pada masa Majapahit pejabatnya sendiri yang dipercaya untuk memutuskan suatu perkara disebut saptopapatti (tujuh upapatti) seperti yang disebutkan dalam kakawin Nāgarakŕtāgama:

83.2. maűkin / rabůekana yāwaůarańi kapawitranya riŋ rāt / prakāśa, űhiŋ jambudwīpa lāwan / yawa ktaű inucap / kottamanyan / sudeśa, dening kweą saŋ widagůeű aji makamukha saŋůyakśa saptopapatti, mwaŋ pañjyaŋ jīwa lekan taűar asiű umuűūp kāryya kapwātidakśa. (Pigeaud 1960, I:64).

Terjemahan:

Makin masyhur kesucian pulau Jawa di seluruh jagat, hanya India dan Jawa yang disebut negara utama, dengan banyaknya orang yang ahli dalam hukum dipimpin dewan hakim yang terdiri dari tujuh pejabat kehakiman/keagamaan, dan Pañjang Jīwa, Lekan, Tangar, dalam [mengerjakan] apa pun [mereka] benar-benar tahu akan tugasnya, semuanya sangat terampi.

Adapun untuk pengadilan tertinggi dipimpin oleh Dewan Pertimbangan Kerajaan yang dalam prasasti disebut bhatāra saptaprabhu, dalam kakawin Nāgarakŕtāgama disebut pahĕm narendra terdiri dari raja, ayah-bunda raja, paman raja, dua adik perempuan raja beserta suaminya:

71.2. kunaŋ i pahĕm narendrā haji rāmā saŋ prabhū kalią sireki pinupul, hibu haji saŋ rwa tansah awawānuja nŕpati karwa saŋ priya tumūt, gumunita saŋ wruheŋ gumuńadośaniŋ bala gumantyane saű apatią, linawĕlawön datan hana katŕpatiniŋ twas amaűun/ wiyoga sumusuk. (Pigeaud 1960, I:55).


Terjemahan:

Adapun pahĕm narendra [terdiri dari] raja [serta] ayah dan paman sang raja, mereka berdua hadir, ibu dan adik raja ada bersama mereka, demikian pula kedua adik perempuan raja bersama suami mereka, mereka berbicara untuk mempertimbangkan baik buruknya orang yang menggantikan sang apatih, tidak seorang pun merasa senang hatinya karena kesedihan yang mendalam.

Catatan menarik bahwa ratusan tahun Nusantara dijajah Belanda. Sementara negeri Belanda sendiri dahulu kala menggunakan hukum adatsebagai sumber hukum primer dengan Hukum Romawi sebagai sumber hukum sekunder. Periode hukum adat ini berakhir pada tahun 1806 ketika Republik Belanda bubar dan Kerajaan Hollandia didirikan di bawah kekuasaan Prancis (Raja Louis Bonaparte, adik ketiga dari Napoleon Bonaparte).

Setelah kekalahan Napoleon, didirikanlah negara Belanda baru yang merupakan gabungan Negeri Belanda dan Belgia. Bangsa Belanda tidak ingin kembali ke hari-hari di mana terdapat hukum yang beranekaragam (hukum-hukum adat lokal) dan dimulailah sebuah proyek untuk membuat kitab undang-undang hukum perdata Belanda. Setelah Belgia memisahkan diri pada tahun 1830, kitab undang-undang yang baru (yang tidak pernah diberlakukan) harus diperbarui lagi untuk dibersihkan dari "pengaruh-pengaruh Belgia". Kitab undang-undang hukum yang baru diberlakukan pada tahun 1838.

Di Nusantara, KUHP yang sekarang diberlakukan adalah KUHP yang bersumber dari hukum kolonial Belanda, yakni Wetboek van Strafrecht voor Nederlands-Indië. Pengesahannya dilakukan melalui Staatsblad Tahun 1915 nomor 732 dan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1918.


Sumber:

Nastiti, Titi Sutri. 2009. "Kedudukan dan Peranan Perempuan dalam Masyarakat Jawa Kuna (Abad VIII--XV Masehi)". Disertasi. universitas Indonesia 


Referensi

  1. Iguchii, Masatoshi. 2015. "Java Essay: The History and Culture of a Southern Country". UK ed. edition: Troubador Publishing Ltd. ISBN-13: 978-1784621513 google Books Diakses 3 Juli 2019.
  2. Judd, J.W. "The earlier eruption of Krakatau", Nature 40, 1889, 365. Pustaka Raja Purwa (Book of Ancient King).
  3. Leadbeater, C.W. 1951. "The Occult History Of Java". India, Adyar Madras: The Theosophical Publishing House. Versi online theosophist.org Diakses 3 Juli 2019.
  4. Tennyson, Alfred. "St Telemachus. telelib Diakses 3 Juli 2019.
  5. "Ancient Times in the Malay Peninsula". Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society Vol. XVII. 1939. Indian Agricultural Research Institute, New Delhi. SINGAPORE: Printers Limited.  archive.org Diakses 3 Juli 2019.
  6. "Menelusuri Jejak Cerita Rama Dalam Serat Pustakaraja Karya Pujangga R. Ng. Ranggawarsita" Majalah Jumantara Edisi : Vol. 3 No. 1 - April 2012. perpusnas.go.id Diakses 3 Juli 2019

 

Baca Juga

Sponsor