Cari

Terkuak Kerajaan Galuh Purba dari Candi di Galuh Timur


[Historiana] - Banyak yang nyinyir dengan sejarah bangsa. Entah karena minder atau terlalu dicekoki kisah dari luar, bahwa kita di Nusantara ini di masa Awal Masehi masih kosong. Ironis dan menyedihkan! Bagaimana Kita bisa maju? Cara membuat nusantara maju adalah dengan menyingkirkan ego masing-masing dan tetap bersatu sebagai bangsa Indonesia. Karena Majapahit dan Pajajaran tidak runtuh karena serangan luar, melainkan karena konflik internal dan politik. Percayalah.. yang membangun Gunung Padang itu Manusia bukan Jin.

Tidak perlu berdebat atas ketidakyakinan seseorang yang tidak mencintai budaya bangsa sendiri. Bagi kita, orang yang mencintai sejarah bangsa tidak perlu diyakinkan lagi dan untuk pembenci tidak perlu dipaksakan karena akan banyak alasan untuk membenci. Untuk menghentikan perdebatan hanyalah bukti faktual, walau kadang pencarian bukti kerap dihalang-halangi.

Sejak dahulu, tanah Jawa tersohor hingga ke seantero negeri sebagai salah satu pusat peradaban Kerajaan Hindu-Buddha terbesar di dunia. Banyak tapak tilas yang belum semuanya terkuak ke publik. Hal di mana menjadi magnet bagi para peneliti sejarah guna mengungkap keberadaan candi yang masih tertimbun tanah, untuk selanjutnya digali menjadi bekal ilmu pengetahuan faktual bagi generasi yang akan datang.

Keberadaan Kerajaan atau Peradaban Galuh Purba telah lama diyakini sebagian kecil masyarakat kita.

Kini keberadaan Candi di Desa Galuh Timur, KecamatanTonjong, Kabupaten Brebes Jawa Tengah semakin membuktikan bahwa di zaman dahulu Nusantara ini, khususnya Pulau Jawa di awal Masehi bahkan Sebelum Masehi bukanlah wilayah yang kosong. Penemuan Candi setidaknya menunjukkan penanggalan 500 Sebelum Masehi.

Bangunan candi peninggalan sejarah ditemukan setelah tim dari Balai Arkeologi Yogyakarta melakukan penggalian di lahan Perhutani, di Dukuh Kalipucung, Desa Galuh Timur. Selain tim yang dipimpin Prof Gunardi, juga didampingi Sekdes Galuhtimur Muhajir, Babinsa Galuhtimur Sertu Ali Mahfur dan masyarakat sekitar.

Dari penelitian dini yang dilakukan tim Balai Arkeologi, diperkirakan usia bangunan candi ribuan tahun. Hal itu dilihat dari struktur dan komponen bangunan yang ditemukan.

"Dari penelitian awal, bangunan candi diperkirakan bangunan candi tersebut dibangun sekitar tahun 500 Sebelum Masehi (SM) sampai 500 Masehi," kata peneliti Balai Arkeologi Yogyakarta, Prof Gunardi, dalam keterangan seperti dikutip oleh Tribun Jateng, Kamis (25/7/2019).


Awal Penemuan Candi

Muhajir, warga Desa Galuh Timur, Tonjong, Brebes, meyakini jika di desa tempat ia tinggal saat ini masih menyisakan jejak peninggalan sejarah Kerajaan Galuh yang belum terkuak seutuhnya.

Bersama warga setempat, ia menyepakati menggali tanah di lokasi tersebut, meskipun tanpa suplai satu pun pemodal. Motivasinya hanya satu, yakni menelusuri sisa peradaban lama demi kemajuan daerah setempat.

Menurutnya, Kawasan Galuh Timur masih rekat kaitannya dengan jejak peradaban Kerajaan Galuh yang terpeta hingga ke perbatasan Jawa Barat-Jawa Tengah. Maka itu ia putuskan melakukan penggalian perdana, pada 29 Juni 2019.

"Niatnya hanya ingin nguri-nguri (melestarikan). Ingin tahu sejarah desa," kilah pria yang mengemban jabatan sebagai Sekretaris Desa Galuh Timur ini.

Ternyata upaya yang ia genjot tidak berakhir sia-sia. Sudah susah payah, di hari penggalian keempat, Muhajir beserta rekannya, terkejut karena berhasil mengangkat bata-bata merah yang dipandang sebagai harta berharga warisan leluhur.

Penemuan itu membuat mereka kian trengginas mengerahkan energi mencangkul bumi, guna menjawab misteri yang kadung terbersit menghinggapi pikiran Muhajir dan rekannya.

Jerih payah itu pun terbayar lagi, dengan mata kepala sendiri, Muhajir, menemukan batuan lain yang diduga kuat menjadi bagian dari Arca Dwarapala atau patung penjaga gerbang, yang selama ini memang dicari-cari.

"Kami juga menemukan altar untuk berdoa atau persembahan, dan umpak (alas untuk tiang pondasi)," kata Muhajir seperti diberitakan Tagar.id, Selasa, 23 Juli 2019.

Muhajir menilai, bata-bata merah dan bebatuan yang ia temukan mirip dengan struktur bangunan kerajaan-kerajaan kuno zaman Hindu-Buddha. Saat menggali lubang, firasatnya mengatakan, masih ada bangunan candi yang tertimbun tanah di bawah sana dan belum ditemukan.

Di antara ilham yang membisikinya, kian dikuatkan lagi dengan penemuan kolam pemandian sisa-sisa peradaban lama. "Warga yang tahu menyebutnya Candi Gagang Golok. Selain itu, mungkin juga ada bangunan semacam sendang untuk mandi karena di situ juga kami temukan ada sumurnya," kata dia.

Menemukan situs bersejarah di sana, Muhajir mengaku baru menggali tanah sedalam 1,5 meter, belum menggali maksimal. "Sementara perkiraan luas situsnya ‎bisa lebih dari itu 8x8 meter," ucapnya.

Membisiki Pemerintah

Muhajir tidak ingin serakah, oleh sebab itu ia lempar bola supaya penemuan ini dikaji lebih mendalam agar berguna bagi ilmu pengetahuan dan untuk masyarakat sekitar.

Pertama, ia membisiki penemuan dugaan candi ke Balai Pelestari Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah. Selain itu, dia melapor pula ke Pemerintah Kabupaten Brebes dan Perhutani tertanggal 15 Juli 2019.

Tiga hari kemudian, staf dari BPCB Jawa Tengah serta Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Brebes pun merespons langsung mendatangi lokasi yang digadang-gadang sebagai jejak peradaban Kerajaan Galuh.

"Setelah melihat ke lokasi penemuan BPCB meminta penggalian dihentikan sementara, karena temuan hasil penggalian akan diteliti lebih dulu," jelasnya.

Melihat makin ramainya kunjungan orang pemerintahan, membuat warga sekitar kian penasaran untuk mendekat ke kawasan hutan jati di Petak 144 A1 Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Tonjong, Badan Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Pengarasan, di Desa Galuh Timur, tempat ditemukannya reruntuhan Kerajaan Galuh.

‎Perhatian penduduk sekitar terpusat pada tumpukan batu bata yang telah diangkat dan diletakkan di atas tanah, yang saat ini dipagari bambu serta telah dipasangi garis polisi.

Alhasil, pengunjung hanya bisa melongok sambil berdiskusi dari luar pagar, tidak bisa menyentuh reruntuhan bangunan dan batuan yang bernilai sejarah ini.

Sejarah Galuh Purba

Menurut Fruin-Mees: Geschiedenis van Java, 1919, halaman 16-20 menyebutkan bahwa Kerajaan Galuh Kalingga yang sebelumnya merupakan bagian kerajaan Galuh Purba, nantinya akan berkembang pesat dan pamornya mengalahkan Kerajaan Galuh Purba. Apalagi setelah pusat kerajaan Galuh Purba berpindah ke – Kawali (tercantum di Prasasti Bogor) dan menjadi bawahan Kerajaan Tarumanegara pada masa pemerintahan Purnawarman (395 -434 M).

Van der Meulen (1988): (Indonesia di Ambang Sejarah - Kanisius) menyatakan bahwa pendatang-pendatang dari tanah Kutai datang ke tanah Jawa jauh sebelum abad ke 1 Masehi. Pendatang-pendatang itu masuk dari pantai Cirebon dan menetap di pedalaman sekitar gunung Cerme, gunung Slamet dan lembah sungai Serayu.

Kerajaan Galuh Purba dibangun oleh pendatang yang menetap di kawasan Slamet (Ratu Galuh), kemungkinan kerajaan bernama Galuh Sinduala ( Bojong Galuh) dan beribukota di Medang Gili (78 M) Namun ini masih di ragukan karena Bahasa dan tulisan sansekerta belum di kenal luas pada jaman itu.

Di bawah Galuh purba atau galuh Gora. (gora adalah nama gunung slamet sebelum berubah jadi gunung agung..dan akhirnya jadi gunung slamet), berdiri kerajaan2 kecil yang meliputi:

Pada abad 1 – 6 banyak kerajaan yang memakai kata galuh selain kerajaan Galuh Purba di Jawa. Menurut Laporan Tim Peneliti Sejarah Galuh tahun 1972, terdapat beberapa kerajaan yang menggunakan kata galuh diantaranya:
  • Kerajaan Galuh Rahyang yang berlokasi di Brebes, beribukota di Medang Pangramesan
  • Kerajaan Galuh Kalangon yang berlokasi di Roban, beribukota di Medang Pangramesan
  • Kerajaan Galuh Lalean yang berlokasi di Cilacap, beribukota di Medang Kamulan
  • Kerajaan Galuh Tanduran yang berlokasi di Pananjung, beribukota di Bagolo
  • Kerajaan Galuh Kumara yang berlokasi di Tegal, beribukota di Medangkamulyan
  • Kerajaan Galuh Pataka yang berlokasi di Nanggalacah, beribukota di Pataka
  • Kerajaan Galuh Nagara Tengah yang berlokasi di Cineam, beribukota di Bojonglopang
  • Kerajaan Galuh Imbanagara yang berlokasi di Barunay (Pabuaran), beribukota di Imbanagara
  • Kerajaan Galuh Kalingga yang berlokasi di Bojong, beribukota di Karangkamulyan
  • Kerajaan Galuh Pataruman yang berlokasi di Banjasari beribukota Banjar Pataruman
  • Kerajaan Bojong Galuh yang berlokasi di Lakbok beribukota Medang Gili
Kerajaan-kerajaan diatas merupakan bagian-bagian dari Kerajaan Galuh Purba tapi justru kerajaan-kerajaan tersebut ada yg kemudian berkembang lebih besar dari kerajaan besar Galuh Purba.

Perlu Diingat bahwa Kerajaan yang beridiri mulai tahun 0 - 600 M adalah periode  Hindu-Buddha pra-Mataram. Beberapa Kerajaan yag eksis pada periode ini di Pulau Jawa adalah:
  1. Galuh purba di lemah wangi Gunung Gora atau Gunung Agung atau Gunung Slamet
  2. Salakanagara
  3. Tarumanagara
  4. Sunda-Galuh
  5. Kalingga
  6. Kanjuruhan

Versi Videonya...


Kekuasaan Galuh Purba

Kerajaan Galuh Purba mempunyai wilayah yang sangat luas dari Indramayu, Cirebon, Brebes, Tegal, Pemalang, Bumiayu, Banyumas, Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen dan juga ada yang menyatakan sampai Kedu, Kulonprogo juga Purwodadi.

Sistem Pemerintahan Galuh Purba
Belum diketahui berdasarkan Prasasti khusus. Namun disebutkan bahwa Pemimpin Kerajaan disebut sebagai "Ratu Galuh". Istilah Ratu tidak menunjukkan sosoknya sebagai perempuan. Ratu merupakan istilah asli Nusantara untuk menyebutkan seorang pemimpin sebuah entitas masyarakat dan pemerintahannya yang kelak disebut sebagai Kerajaan.

Istilah Ratu menyebar seantero Nusantara. Pelafalannya menjadi Datu (di Sumatera - Melayu), atau Latu (di Sulawesi). Istilah ratu masih berkerabat dengan istilah Datu dan Latu (latuhalat = ratu barat). Istilah ratu sesungguhnya merupakan bahasa asli Nusantara, khususnya bahasa Jawa Kuno. Ratu berarti penguasa atau pemimpin suatu kelompok dan gelar ini tidak memandang jenis kelamin. Prasasti Canggal misalnya, menyebut raja pertama Mataram Hindu sebagai "Rake Mataram Sang Ratu Sanjaya". Dalam sejarah Kerajaan Singhasari terdapat nama Mahisa Campaka yang menjabat sebagai "Ratu Angabhaya". Baik Sanjaya maupun Mahisa Campaka adalah nama laki-laki. Namun keduanya masing-masing bergelar "ratu". Hal itu menunjukkan kalau "ratu"tidak harus identik dengan perempuan.

Seiring berjalannya waktu, kebudayaan Hindu semakin berkembang di bumi Indonesia. Istilah "raja" yang berasal dari bahasa Sanskerta mulai menggantikan penggunaan gelar ratu. Istilah ratu bergeser menjadi terkesan feminin dan bersinonim dengan rani.  Sisa istilah ini hanya untuk tempat tinggal pemimpin yang disebut Keratuan atau Keraton. Sementara untuk wilayah dan sistem politiknya disebut Kerajaan. Selanjutnya Ratu diganti dengan Raja. Penggunaan istilah Raja dipengaruhi Budaya India seiring masuknya ajaran Hindu-Buddha ke Nusantara.

Tidak diketahui dengan pasti kapan istilah ratu mulai dipakai kaum perempuan. Naskah Babad Tanah Jawi yang ditulis pada abad ke-17 mulai membedakan penggunaan gelar jabatan, yaitu untuk perempuan digunakan istilah ratu, misalnya Ratu Kalinyamat atau Ratu Pembayun, sedangkan untuk laki-laki digunakan istilah "sultan", "prabu", "pangeran", "panembahan", atau "sunan".

Akan tetapi tidak sepenuhnya istilah ratu tergeser oleh raja. Meskipun raja-raja Jawa zaman sekarang menggunakan gelar sultan atau sunan, tetapi bahasa Jawa untuk istilah istana tetap menggunakan kata keraton yang berasal dari kata "ke-ratu-an", yang berarti tempat tinggal ratu.


Referensi

  1. "Kisah Penemuan Bangunan Kuno di Galuh Timur Tonjong Brebes," jateng.tribunnews.com /26 Juli 2019 Editor: Catur waskito Edy. Diakses 3 Agustus 2019
  2. "Galuh Purba." wikipedia.org
  3. "Candi Peradaban Kerajaan Hindu-Buddha Terbaru di Jawa." 3 Agustus 2019. Reporter: Farid Firdaus -  Editor:  Morteza Syariati Albanna. Tagar.id Diakses 3 Agustus 2019.

Sponsor