Menurut beberapa naskah Jawa Barat dan juga dari hasil penelitian Belanda, bahwa lokasi keraton Pajajaran merujuk pada Lawang Gintung sekitar prasasti batu tulis Bogor.
Pasca keraton Pajajaran dibakar, dibumihanguskan tanpa sisa oleh pasukan Banten pada tahun 1579 M, bekas-bekasnya mungkin masih bisa dikenali. Kemudian bekas lokasi keraton Pajajaran itu seiring waktu berubah menjadi hutan yang sangat lebat.
Pada tahun 1699 M Gunung Salak meletus, dengan letusan yang sangat dahsyat (sebagian ahli vulkanologi menyebutnya longsoran Gunung Salak, bukan letusan). Kemudian pada tahun 1702 M, Gubernur Jendral Belanda di Batavia memerintahkan Riebeck untuk meninjau lokasi mana saja yang terkena dampak letusan dahsyat Gunung Salak. Riebeck melihat hutan lebat dibekas lokasi keraton pajajaran itu telah berubah menjadi tanah lapang yang luas dan kosong.
Hutan bekas lokasi keraton pajajaran itu telah tertimbun lumpur dan lahar Gunung Salak yang telah mengeras.
Peta Portuguese Colonial Dominions in India and the Malay Archipelago – 1498-1580 |
Pakuan Pajajaran atau Pakuan (Pakwan) atau Pajajaran adalah pusat pemerintahan Kerajaan Sunda, sebuah kerajaan yang selama beberapa abad (abad ke-7 hingga abad ke-16) pernah berdiri di wilayah barat pulau Jawa. Lokasi Pakuan Pajajaran berada di wilayah Bogor, Jawa Barat sekarang.
Pada masa lalu, di Asia Tenggara ada kebiasaan menyebut nama kerajaan dengan nama ibu kotanya sehingga Kerajaan Sunda sering disebut sebagai Kerajaan Pajajaraan.
Baca juga:
- Kian Santang, Kian Sancang dan Sayidina Ali bin Abi Thalib
- Yang Jarang Diketahui tentang Prabu Siliwangi
- Prabu Siliwangi Versi Wangsakerta, Limbangan, Sukapura & Parakanmuncang
- Cariosan Prabu Siliwangi | Legenda
- Inilah 151 istri Prabu Siliwangi? Siapa saja nama-namanya....
Lokasi Pajajaran pada abad ke 15 dan abad ke-16 bisa dilihat pada peta Portuguese Colonial Dominions in India and the Malay Archipelago – 1498-1580 di atas.
Pakuan Pajajaran hancur, rata dengan tanah, pada tahun 1579 akibat serangan pecahan kerajaan Sunda, yaitu Kesultanan Banten. Berakhirnya zaman Kerajaan Sunda ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana (singgahsana atau tempat penobatan raja-raja Sunda), dari Pakuan Pajajaran ke Keraton Surosowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf.
Batu berukuran 200x160x20 cm itu diboyong ke Banten karena tradisi politik agar di Pakuan Pajajaran tidak dimungkinkan lagi penobatan raja baru, dan menandakan Maulana Yusuf adalah penerus kekuasaan Sunda yang sah karena buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga Maharaja, raja Kerajaan Sunda. Palangka Sriman Sriwacana tersebut saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surosowan di Banten. Masyarakat Banten menyebutnya Watu Gilang, berarti mengkilap atau berseri, sama artinya dengan kata Sriman.
Baca juga: Eksistensi Kerajaan Pajajaran dan Siliwangi
Dalam kropak (tulisan pada lontar atau daun nipah) yang diberi nomor 406 di Mueseum Pusat terdapat petunjuk yang mengarah kepada lokasi Pakuan. Kropak 406 sebagian telah diterbitkan khusus dengan nama Carita Parahiyangan. Dalam bagian yang belum diterbitkan (biasa disebut fragmen K 406) terdapat keterangan mengenai kisah pendirian keraton Sri Bima, Punta, Narayana Madura Suradipati:
"Di inya urut kadatwan, ku Bujangga Sedamanah ngaran Sri Kadatwan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Anggeus ta tuluy diprebolta ku Maharaja Tarusbawa deung Bujangga Sedamanah. Disiar ka hulu Ci Pakancilan. Katimu Bagawat Sunda Mayajati. Ku Bujangga Sedamanah dibaan ka hareupeun Maharaja Tarusbawa.Artinya :
Di sanalah bekas keraton yang oleh Bujangga Sedamanah diberi nama Sri Kadatuan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Setelah selesai [dibangun] lalu diberkati oleh Maharaja Tarusbawa dan Bujangga Sedamanah. Dicari ke hulu Ci Pakancilan. Ditemukanlah Bagawat Sunda Majayati. Oleh Bujangga Sedamanah dibawa ke hadapan Maharaja Tarusbawa."
.
Dari sumber kuno itu dapat diketahui bahwa letak keraton tidak akan terlalu jauh dari "hulu Ci Pakancilan". Hulu sungai ini terletak di dekat lokasi kampung Lawanggintung yang sekarang, sebab ke bagian hulu sungai ini disebut Ciawi.
Dari naskah itu pula kita mengetahui bahwa sejak zaman Pajajaran sungai itu sudah bernama Ci Pakancilan. Hanyalah juru pantun kemudian menerjemahkannya menjadi Ci Peucang. Dalam bahasa Sunda Kuna dan Jawa Kuna kata "kancil" memang berarti "peucang".
Referensi
- Argadipraja, R. Duke. (1992). Babad Panjalu Galur Raja-raja Tatar Sunda. Bandung: Mekar Rahayu.
- Ayatrohaedi. (2005). Sundakala: Cuplikan Sejarah Sunda Berdasarkan Naskah-naskah "Panitia Wangsakerta" dari Cirebon. Jakarta: Pustaka Jaya.
- Ekadjati, Edi S. (2005). Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta. Jakarta: Pustaka Jaya.
- Hidayat, Yayat. Mengenal Warisan Kerajaan Panjalu. Artikel Majalah Misteri Edisi 20 Peb - 04 Mar 2010.
- Iskandar, Yoseph (1997). Sejarah Jawa Barat: Yuganing Rajakawasa. Bandung: Geger Sunten.
- Sukardja, H.Djadja. (2002). Situs Karangkamulyan. Ciamis: H. Djadja Sukardja S.
- Pleyte, Cornelis Marinus. 1911-1913, "Dutch, Book, Illustrated edition: De inlandsche nijverheid in West-Java : als sociaal-ethnologisch verschijnsel / door C. M. Pleyte." Batavia: Javasche boekhandel & drukkerij.