Cari

Kerajaan Panjalu Ciamis Penerus Panjalu Kediri Jawa Timur?



[Historiana] -   Panjalu adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu yang terletak di ketinggian 731 mdpl dan berada kaki Gunung Sawal, (1764 mdpl) Jawa Barat. Posisi Panjalu dikelilingi oleh benteng alamiah berupa rangkaian pegunungan, dari sebelah selatan dan timur berdiri kokoh Gunung Sawal yang memisahkannya dengan wilayah Galuh, bagian baratnya dibentengi oleh Gunung Cakrabuana yang dahulu menjadi batas dengan Kerajaan Sumedang Larang sedangkan pada sisi utaranya memanjang Gunung Bitung yang menjadi batas Kabupaten Ciamis dengan Majalengka yang dahulu merupakan batas Panjalu dengan Kerajaan Talaga.

Secara geografis pada abad ke-13 sampai abad ke-16 (tahun 1200-an sampai dengan tahun 1500-an) Kerajaan Panjalu berbatasan dengan Kerajaan Talaga, Kerajaan Kuningan, dan Cirebon di sebelah utara. Di sebelah timur Kerajaan Panjalu berbatasan dengan Kawali (Ibukota Kemaharajaan Sunda 1333-1482), wilayah selatannya berbatasan dengan Kerajaan Galuh, sedangkan di sebelah barat berbatasan dengan Kerajaan Galunggung dan Kerajaan Sumedang Larang.



Di Panjalu dikenal Situ lengkong dengan pulau ditengahnya bernama Nusa Larang. Keberadaan Nusa Larang disebutkan dalam Naskah Carita Parahyangan.  Nusa Larang disebutkan sebagai bagian dari Mandala Wana Kusumah. Mandala ini keberadaannya disebut-sebut telah ada sejak zaman Kerajaan Tarumanagara di masa Pemerintahan Raja Tarumanagara ke-7 yaitu Maharaja Suryawarman 535-561 M. Artinya Kerajaan Wana Kusumah telah ada terlebih dahulu sebelum Kian Sancang Putera Raja ke-8 Tarumanagara, Maharaja Kertawarman.


Mandala Wanakusumah termasuk Kabuyutan atau Kemandalaan yang ada di Tatar Pasundan. Keberadaan Wanakusumah disebut dalam Carita Parahyangan ketika memaparkan kisan Prabu Niskala Wastukancana. Penulis Carita Parahyangan mengisahkan Kehidupan Wastu Kancana, dan bagaimana rakyat mencintainya. Uraian tersebut seolah-olah memuji-muji perilakunya, bahkan dapat dijadikan contoh generasi penerusnya. Tulisan dalam Carita Parahyangan tersebut, sebagai berikut:
Aya na seuweu Prebu, wangi ngaranna, inyana Prebu Niskalawastu Kancana nu surup di Nusalarang ring giri Wanakusuma. Lawasniya ratu saratusopat tahun, kena rampés na agama, kretayuga. Tandang pa ompong jwa pon, kenana ratu élé h ku satmata. Nurut nu ngasuh Hiyang Bunisora, nu surup ka Gegeromas. Batara Guru di Jampang. Sakitu nu diturut ku nu mawa lemahcai.
Artinya:
Ada lagi Putra Prabu, termashur namanya, yaitu Prabu Niskalawastu Kancana, yang hilang di Nusalarang Gunung Wanakusuma. Lamanya menjadi Ratu seratus empat tahun, sebab baik menjalankan agama, negara gemah ripah. Meskipun umurnya masih muda, tingkah lakunya seperti yang sudah banyak pengetahuannya, sebab Ratu mengalah kepada Satmata, menuruti yang mengasuhnya, Hyang Bunisora, yang hilang di gegeromas, Batara Guru di Jampang. Begitulah yang diikuti oleh yang menjaga tanah air.
Penyebutan Gunung Wanakusuma(h) sebagai "peristirahatan terakhir" Prabu Niskala Wastukancana di Nusalarang Gunung Wanakusumah. Lokasi Nusalarang di Panjalu, Ciamis. Dengan demikian kita dapat menyebutkan lokasi Mandala atau kerajaan Wankusumah berada di Panjalu Ciamis. Besar kemungkinan, di kemudian hari lebih dikenal sebagai Kerajaan panjalu.

Nusalarang berada di tengah sebuah situ atau telaga bernama Situ Lengkong. Asal-usul Situ Lengkong menurut cerita rakyat yang diwariskan seraca turun temurun dan berdasar Babad Panjalu, sebagaimana tercantum pada laman wikipedia, menyatakan bahwa sebenarnya danau tersebut adalah 'danau buatan' atau hasil usaha manusia. Sejatinya, menurut cerita itu, asalnya tempat tersebut adalah sebuah lembah yang mengelilingi bukit kecil bernama Pasir Jambu (pasir berarti bukit, bs Sunda, red.)

Prabu Sanghyang Borosngora memindahkan kaprabon (kediaman raja) dari Dayeuhluhur ke Nusa Larang. Nusa Larang adalah sebuah pulau yang terdapat di tengah-tengah Situ Lengkong. Dinamai juga Nusa Gede karena pada zaman dulu ada juga pulau yang lebih kecil bernama Nusa Pakel (sekarang sudah tidak ada karena menyatu dengan daratan sehingga menyerupai tanjung). Untuk menyeberangi situ menuju Keraton Nusa Larang dibangun sebuah Cukang Padung (jembatan) yang dijaga oleh Gulang-gulang (penjaga gerbang) bernama Apun Otek. Sementara Nusa Pakel dijadikan Tamansari dan Hujung Winangun dibangun Kapatihan untuk Patih Sanghyang Panji Barani.

Raden Tumenggung Wirapraja kemudian memindahkan kediaman bupati ke Dayeuh Panjalu sekarang. Sementara itu pusat kerajaan Panjalu ditandai dengan sembilan tutunggul gada-gada perjagaan yaitu patok-patok yang menjadi batas pusat kerajaan sekaligus berfungsi sebagai pos penjagaan yang dikenal dengan Batara Salapan, yaitu terdiri dari:
  1.     Sri Manggelong di Kubang Kelong, Rinduwangi
  2.     Sri Manggulang di Cipalika, Bahara
  3.     Kebo Patenggel di Muhara Cilutung, Hujungtiwu
  4.     Sri Keukeuh Saeukeurweuleuh di Ranca Gaul, Tengger
  5.     Lembu Dulur di Giut Tenjolaya, Sindangherang
  6.     Sang Bukas Tangan di Citaman, Citatah
  7.     Batara Terus Patala di Ganjar Ciroke, Golat
  8.     Sang Ratu Lahuta di Gajah Agung Cilimus, Banjarangsana
  9.     Sri Pakuntilan di Curug Goong, Maparah
Panjalu berasal dari kata jalu (bhs. Sunda) yang berarti jantan, jago, maskulin, yang didahului dengan awalan pa (n). Kata panjalu berkonotasi dengan kata-kata: jagoan, jawara, pendekar, warrior (bhs. Inggeris: pejuang, ahli olah perang), dan knight (bhs. Inggeris: kesatria, perwira). Ada pula orang Panjalu yang mengatakan bahwa kata panjalu berarti "perempuan" karena berasal dari kata jalu yang diberi awalan pan, sama seperti kata male (bhs. Inggeris : laki-laki) yang apabila diberi prefiks fe + male menjadi female (bhs.Inggeris : perempuan).

Konon nama ini disandang karena Panjalu pernah diperintah oleh seorang ratu bernama Ratu Permanadewi. Mengingat sterotip atau anggapan umum watak orang Panjalu sampai sekarang di mata orang Sunda pada umumnya, atau dibandingkan dengan watak orang Sunda pada umumnya, orang Panjalu dikenal lebih keras, militan juga disegani karena konon memiliki banyak ilmu kanuragan warisan dari nenek moyang mereka, oleh karena itu arti kata Panjalu yang pertama sepertinya lebih mendekati kesesuaian.

Menurut Munoz (2006) Kerajaan Panjalu Ciamis (Jawa Barat) adalah penerus Kerajaan Panjalu Kediri (Jawa Timur) karena setelah Maharaja Kertajaya Raja Panjalu Kediri terakhir tewas di tangan Ken Angrok (Ken Arok) pada tahun 1222, sisa-sisa keluarga dan pengikut Maharaja Kertajaya itu melarikan diri ke kawasan Panjalu Ciamis. Itulah sebabnya kedua kerajaan ini mempunyai nama yang sama dan Kerajaan Panjalu Ciamis adalah penerus peradaban Panjalu Kediri.

Nama Panjalu sendiri mulai dikenal ketika wilayah itu berada dibawah pemerintahan Prabu Sanghyang Rangga Gumilang; sebelumnya kawasan Panjalu lebih dikenal dengan sebutan Kabuyutan Sawal atau Kabuyutan Gunung Sawal. Istilah Kabuyutan identik dengan daerah Kabataraan yaitu daerah yang memiliki kewenangan keagamaan (Hindu) seperti Kabuyutan Galunggung atau Kabataraan Galunggung. Kabuyutan adalah suatu tempat atau kawasan yang dianggap suci dan biasanya terletak di lokasi yang lebih tinggi dari daerah sekitarnya, biasanya di bekas daerah Kabuyutan juga ditemukan situs-situs megalitik (batu-batuan purba) peninggalan masa prasejarah.

Pendiri Kerajaan Panjalu adalah Batara Tesnajati yang petilasannya terdapat di Karantenan Gunung Sawal. Mengingat gelar Batara yang disandangnya, maka kemungkinan besar pada awal berdirinya Panjalu adalah suatu daerah Kabataraan sama halnya dengan Kabataraan Galunggung yang didirikan oleh Batara Semplak Waja putera dari Sang Wretikandayun (670-702), pendiri Kerajaan Galuh.

Daerah Kabataraan adalah tahta suci yang lebih menitikberatkan pada bidang kebatinan, keagamaan atau spiritual, dengan demikian seorang Batara selain berperan sebagai Raja juga berperan sebagai Brahmana atau Resiguru. Seorang Batara di Kemaharajaan Sunda mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dan penting karena ia mempunyai satu kekuasaan istimewa yaitu kekuasaan untuk mengabhiseka atau mentahbiskan atau menginisiasi penobatan seorang Maharaja yang naik tahta Sunda.

Menurut sumber sejarah Kerajaan Galunggung, para Batara yang pernah bertahta di Galunggung Aya na seuweu Prebu, wangi ngaranna, inyana Prebu Niskalawastu Kancana nu surup di Nusalarang ring giri Wanakusuma. Lawasniya ratu saratusopat tahun, kena rampés na agama, kretajugaadalah Batara Semplak Waja, Batara Kuncung Putih, Batara Kawindu, Batara Wastuhayu, dan Batari Hyang. Berdasarkan keterangan Prasasti Geger Hanjuang, Batari Hyang dinobatkan sebagai penguasa Galunggung pada tanggal 21 Agustus 1111 M atau 13 Bhadrapada 1033 Caka. Kabataraan Galunggung adalah cikal bakal Kerajaan Galunggung yang dikemudian hari menjadi Kabupaten Sukapura (Tasikmalaya). Besar kemungkinan setelah berakhirnya periode kabataraan di Galunggung itu kekuasaan kabataraan di Kemaharajaan Sunda dipegang oleh Batara Tesnajati dari Karantenan Gunung Sawal Panjalu.

Adapun para batara yang pernah bertahta di Karantenan Gunung Sawal adalah Batara Tesnajati, Batara Layah dan Batara Karimun Putih. Pada masa kekuasaan Prabu Sanghyang Rangga Gumilang atau Sanghyang Rangga Sakti putera Batara Karimun Putih, Panjalu berubah dari kabataraan menjadi sebuah daerah kerajaan. Diperkirakan kekuasaan kabataraan Sunda kala itu dilanjutkan oleh Batara Prabu Guru Aji Putih di Gunung Tembong Agung, Prabu Guru Aji Putih adalah seorang tokoh yang menjadi perintis Kerajaan Sumedang Larang.

 Panjalu adalah salah satu kerajaan daerah yang termasuk dalam kekuasaan Kemaharajaan Sunda karena wilayah Kemaharajaan Sunda sejak masa Sanjaya (723-732) sampai dengan Sri Baduga Maharaja (1482-1521) adalah seluruh Jawa Barat termasuk Provinsi Banten dan DKI Jakarta serta bagian barat Provinsi Jawa Tengah, yaitu mulai dari Ujung Kulon di sebelah barat sampai ke Sungai Cipamali (Kali Brebes) dan Sungai Ciserayu (Kali Serayu) di sebelah timur.

Menurut Naskah Wangsakerta, wilayah Kemaharajaan Sunda juga mencakup Provinsi Lampung sekarang sebagai akibat dari pernikahan antar penguasa daerah itu, salah satunya adalah Niskala Wastu Kancana (1371-1475) yang menikahi Nay Rara Sarkati puteri penguasa Lampung, dan dari pernikahan itu melahirkan Sang Haliwungan yang naik tahta Pakwan Pajajaran (Sunda) sebagai Prabu Susuktunggal (1475-1482), sedangkan dari Nay Ratna Mayangsari puteri sulung Hyang Bunisora (1357-1371), Niskala Wastu Kancana berputera Ningrat Kancana yang naik tahta Kawali (Galuh) sebagai Prabu Dewa Niskala (1475-1482).

Lokasi Kerajaan Panjalu yang berbatasan langsung dengan Kawali dan Galuh juga menunjukkan keterkaitan yang erat dengan Kemaharajaan Sunda ada empat kawasan yang pernah menjadi ibukota Sunda yaitu: Galuh, Parahajyan Sunda, Kawali, dan Pakwan Pajajaran. Kerajaan-kerajaan lain yang menjadi bagian dari Kemaharajaan Sunda adalah: Cirebon Larang, Cirebon Girang, Sindangbarang, Sukapura, Kidanglamatan, Galuh, Astuna Tajeknasing, Sumedang Larang, Ujung Muhara, Ajong Kidul, Kamuning Gading, Pancakaki, Tanjung Singguru, Nusa Kalapa, Banten Girang dan Ujung Kulon.

Ada dugaan Sanghyang Borosngora yang menjadi Raja Panjalu adalah Hyang Bunisora Suradipati, ia adalah adik Maharaja Linggabuana yang gugur di palagan Bubat melawan tentara Majapahit pada tahun 1357. Hyang Bunisora menjabat sebagai Mangkubumi Suradipati mewakili keponakannya yaitu Niskala Wastu Kancana yang baru berusia 9 tahun atas tahta Kawali . Hyang Bunisora juga dikenal sebagai Prabu Kuda Lelean dan Batara Guru di Jampang karena menjadi seorang petapa atau resi yang mumpuni di Jampang (Sukabumi). Tentunya perlu penelitian lebih lanjut untuk memastikan dugaan ini.

Sementara itu sumber lain dari luar mengenai kaitan Panjalu dengan Sunda yakni dari Wawacan Sajarah Galuh memapaparkan bahwa setelah runtuhnya Pajajaran, maka putera-puteri raja dan rakyat Pajajaran itu melarikan diri ke Panjalu, Kawali, dan Kuningan.

Sumber-sumber sejarah Kerajaan Panjalu Ciamis sedikitpun tidak ada yang menyebutkan secara gamblang hubungannya dengan Kerajaan Panjalu Kediri, akan tetapi kesamaan nama kedua kerajaan ini sedikit-banyak menunjukkan adanya benang merah antara keduanya, apalagi nama Raja Panjalu Kediri Maharaja Kertajaya (1194-1222) juga disebut-sebut dalam Prasasti Galunggung (1194).

Paul Michel Munoz (2006) mengemukakan bahwa sisa-sisa keluarga dan pengikut Kertajaya (Raja terakhir Dinasti Sanjaya di Jawa Timur) melarikan diri ke daerah Panjalu (Sukapura/Ciamis) pada tahun 1222 untuk menghindari pembantaian Ken Angrok (Ken Arok), pendiri Kerajaan Singhasari/Dinasti Rajasa. Kertajaya sendiri sebagai Raja Kediri terakhir tewas dalam pertempuran di Tumapel melawan pemberontakan Akuwu Tumapel, Ken Angrok.

Berdasarkan kitab Nagarakretagama, Maharaja Kertajaya bersembunyi di Dewalaya (tempat Dewa) atau tempat suci, maka bukan tidak mungkin Maharaja Kertajaya sebenarnya tidak tewas di tangan Ken Arok, melainkan melarikan diri ke Kabataraan Gunung Sawal (Panjalu Ciamis) yang merupakan tempat suci dimana bertahtanya Batara (Dewa) Tesnajati.

Ibukota atau pusat kerajaan Panjalu berpindah-pindah sesuai dengan perkembangan zaman, beberapa lokasi yang pernah menjadi pusat kerajaan adalah : Karantenan Gunung Sawal Karantenan Gunung Sawal menjadi pusat kerajaan semasa Panjalu menjadi daerah Kebataraaan, yaitu semasa kekuasaan Batara Tesnajati, Batara Layah dan Batara Karimun Putih. Di Karantenan Gunung Sawal ini terdapat mata air suci dan sebuah artefak berupa situs megalitik berbentuk batu pipih berukuran kira-kira 1,7 m x 1,5 m x 0,2 m. Batu ini diduga kuat digunakan sebagai sarana upacara-upacara keagamaan, termasuk penobatan raja-raja Panjalu bahkan mungkin penobatan Maharaja Sunda.

Dayeuhluhur (kota tinggi) menjadi pusat pemerintahan sejak masa Prabu Sanghyang Rangga Gumilang sampai dengan Prabu Sanghyang Cakradewa. Kaprabon Dayeuhluhur terletak di bukit Citatah tepi Situ Bahara (Situ Sanghyang). Tidak jauh dari Dayeuhluhur terdapat hutan larangan Cipanjalu yang menjadi tempat bersemadi Raja-raja Panjalu. Konon Presiden I RI Ir Soekarno juga pernah berziarah ke tempat ini sewaktu mudanya untuk mencari petunjuk Tuhan YME dalam rangka perjuangan pergerakan kemerdekaan RI.


Referensi

  1. Argadipraja, R. Duke. (1992). Babad Panjalu Galur Raja-raja Tatar Sunda. Bandung: Mekar Rahayu.
  2. Ayatrohaedi. (2005). Sundakala: Cuplikan Sejarah Sunda Berdasarkan Naskah-naskah "Panitia Wangsakerta" dari Cirebon. Jakarta: Pustaka Jaya.
  3. Ekadjati, Edi S. (2005). Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta. Jakarta: Pustaka Jaya.
        Hidayat, Yayat. Mengenal Warisan Kerajaan Panjalu. Artikel Majalah Misteri Edisi 20 Peb - 04 Mar 2010.
  4. Iskandar, Yoseph (1997). Sejarah Jawa Barat: Yuganing Rajakawasa. Bandung: Geger Sunten.
  5. Sukardja, H.Djadja. (2002). Situs Karangkamulyan. Ciamis: H. Djadja Sukardja S.
  6. Pleyte, Cornelis Marinus. 1911-1913, "Dutch, Book, Illustrated edition: De inlandsche nijverheid in West-Java : als sociaal-ethnologisch verschijnsel / door C. M. Pleyte." Batavia: Javasche boekhandel &​ drukkerij.
  7. Akarasa. "Kerajaan Panjalu Ciamis : Mungkinkah Penerus Panjalu Kediri, Jawa Timur? [1]" oleh Ulul Rosyad. akarasa.com 2017 Diakses 27 Oktober 2019.
Baca Juga

Sponsor