Cari

Jangan Mengaku Raden dan Fenomena Kerajaan Baru

Amir Hamzah (tengah), Mohammad Lawit (kanan), & Hajat Soedidjo (kiri)

[Historiana] - "Jangan mengaku raden atau membubuhkan gelar bangsawan dalam nama!". Pernahkah anda mendengarnya? Ya, mungkin bagi Anda yang dapat mengingat sejak Proklamasi kemerdekaan hingga tahun 1980-an mendengar kata-kata ini. Dan bagi kita yang memiliki garis keturunan darah biru serta berhak menyandang gelar raden tetapi menanggalkannya. Sewaktu kecil, anak-anak hanya diamanatkan orang tua agar tidak mengaku raden.

Sebenarnya apa sih yang terjadi? kok pernah ada situasi tidak boleh mengaku bangsawan. "Malu!" jawab orang tua kita. Sebenarnya ada peristiwa menyedihkan dalam sejarah bangsa Indonesia, yaitu suatu peristiwa kekerasan yang disebut "Revolusi Sosial".

Revolusi Sosial adalah suatu doktrin diktator proletariat Trotskyisme yang berasal dari Leon Trotsky yang juga dikenal sebagai paham dari Komunis Internasional keempat terhadap struktur kelas serta penciptaan aturan-aturan sosial yang baru. Dalam suatu pergolakan, maka akan terbuka suatu zaman baru dalam kehidupan masyarakat dikarenakan terjadinya transformasi yang luas dan fundamental.


Revolusi Sosial di Jawa

Di Pulau Jawa dikenal dengan "Peristiwa Revolusi Sosial Tiga Daerah yaitu: Tegal, Brebes dan pemalang.

Peristiwa Tiga Daerah Peristiwa tiga daerah adalah suatu peristiwa dalam sejarah revolusi Indonesia yang terjadi antara oktober sampai desember 1945 di Kabupaten Brebes, Tegal, Pemalang, di keresidenan Pekalongan Jawa tengah, dimana seluruh elite birokrat, pangreh praja (residen, bupati, wedana dan camat), dan sebagian besar kepala desa “didaulat” dan diganti oleh aparat pemerintahan baru, yang terdiri dari aliran-aliran islam, sosialis dan komunis. Brebes PemalangTegal 

Revolusi sosial diartikan sebagai suatu revolusi untuk mengubah struktur masyarakat kolonial feodal menjadi susunan masyarakat yang lebih demokratis. Cita-cita ini mulai diperjuangkan oleh sarekat Islam di Pekalongan pada tahun 1918, diteruskan oleh gerakan PKI dan Sarekat Rakyat sampai dengan tahun 1926, tetapi baru tercapai pada bulan Oktober-November 1945. Arti Revolusi Sosial Sarekat islam Gerakan PKI

Revolusi sosial berlangsung secara besar-besaran dan tiba- tiba dengan menggunakan kekerasan Pemberontakan yang ditandai oleh perubahan penguasa tanpa ada perubahan sistem kelas sosial atau distribusi kekuasaan dan pendapatan di kalangan kelompok masyarakat tidak termasuk ke dalam revolusi sosial Para orang revolusioner menentang pengikut gerakan reformasi, karena orang- orang ini berkeyakinan bahwa reformasi yang berarti tidak mungkin tercipta jika sistem sosial yang ada tetap berlaku. Mereka berpandangan bahwa perubahan mendasar hanya mungkin terlaksana bila sistem sosial yang berlangsung dapat diganti dan kaum elit disingkirkan Penyingkiran kaum elit seringkali dilaksanakan dengan cara menghukum atau mengasingkan mereka Pada kebanyakan revolusi, beberapa kelompok bersatu untuk meruntuhkan rezim penguasa Setelah itu terjadilah persaingan sengit antar- kelompok untuk memperebutkan kekuasaan

Pada abad 19, terjadi aksi protes terhadap tanam paksa (gula) dan beban wajib kerja (corvee) yang menjadi inti dari sistem Tanam Paksa Belanda. “Brandal Mas Cilik” di Tegal merupakan pemberontakan petani pada tahun 1864, dipimpin seorang dukun yang bernama Mas Cilik, yang menyerang pabrik gula dan membunuh pegawai belanda. Aksi protes muncul lagi pada tahun 1926 dengan pemberontakan di dukuh karangcegak, selatan tegal. Kali ini petani melawan wajib kerja (corvee) dengan senjata ideologi modern, yaitu komunis. Peristiwa pemberontakan tahun 1926 ini mengakibatkan banyak pemimpin Tegal dibuang ke tempat pengasingan Boven Digul di irian Jaya. Golongan inilah yang muncul kembali memimpin badan-badan perjuangan dan menyusun strategi politik mengubah struktur pemerintah di Tiga daerah pada tahun 1945 itu. Peristiwa tiga daerah terjadi di sebagian wilayah Jawa Tengah tepatnya di daerah Karesidenan Pekalongan pada bulan Oktober 1945. Peristiwa ini merupakan salah satu dari pergolakan yang muncul di beberapa daerah di Indonesia pada bulan-bulan pertama sesudah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 dan disebut Revolusi Sosial.

Alasan Terjadinya Revolusi Sosial Peristiwa terjadi akibat rasa tidak puas secara sosial ekonomi rakyat setempat pada elite birokrasi yang telah memerintah atas nama Belanda pada dasawarsa kekuasaan kolonial. Taraf hidup kalangan elite birokrasi yang sangat berbeda secara menyolok dengan penduduk kelas bawah memperlebar jurang pemisah dua kelompok tersebut. Hubungan tradisional patron clien antara birokrasi dan petani rusak. Dalam diri kelas bawah telah tertanam dendam untuk membalas hal tersebut dikemudian hari. Dengan tujuan memecat elite birokrasi dan menggantinya dengan penguasa Indonesia yang berbeda nilai dan sikapnya, masyarakat di bawah pimpinan pemimpin-pemimpin Nasionalis Lokal melakukan serangan terhadap elite-elite birokrasi.

Serangan atau revolusi sosial dimulai ketika seorang kepala Desa dipermalukan dan dipecat dari jabatannya di sebuah Kecamatan di Tegal Selatan. Diawali dari peristiwa itu, dalam tempo satu minggu revolusi sosial telah melanda kawasan pedesaan tiga daerah (Brebes, Tegal, Pemalang). Mereka menyerang, menculik dan membunuh wedana, camat, kepala desa, dan pejabat-pejabat elite birokrasi lainnya. Selain itu polisi, Tentara Keamanan Rakyat, orang-orang Cina dan Eropa turut menjadi serangan rakyat. Harta kekayaan orang Cina yang kelihatan seperti toko-toko dan penggilingan padi, dirampok dan diambil alih. Akibatnya banyak pejabat-pejabat elite birokrasi, orang-orang Cina dan Eropa yang tewas terbunuh. Puncak dari kekejaman masyarakat terjadi ketika pada pertengahan bulan Oktober, lebih dari seratus orang Indo-Eropa, Ambon dan Manado mati terbunuh karena dianggap pro tentara Belanda.

Dampak Revolusi Sosial Dampak/perubahan yang fundamental dalam masyarakat. Perubahan yang fundamental itu tampak pada perubahan struktur dari masyarakat kolonial/feodal menjadi susunan suatu masyarakat yang lebih demokratis.


Revolusi Sosial di banten

Revolusi menjalar keseluruh wilayah Karesidenan Banten. Dimana-mana terjadi pergantian  pejabat Pamong praja  oleh para ulama. Ada proses pergantian yang berjalan mulus, namun ada juga yang disertai kekerasan. Proses pemilihan  pejabat baru yang didominasi kaum ulama itu dilakukan melalui rapat-rapat umum (vergadering) yang kebanyakan  diorganisir oleh Dewan Rakyat. Tampak adanya proses demokrasi yang berakar dari pengorganisiran dan partisipasi rakyat, serupa dengan konsep Demokrasi Kerakyatan yang menjadi azas dari banyak gerakan kiri diseluruh dunia hingga kini.

Meskipun pasca revolusi pemerintahan diseluruh Karesidenan Banten  didominasi oleh ulama, namun Dewan Rakyat tetap memiliki peran yang sentral. Sesuai kesepakatan dengan Residen Banten, Dewan Rakyat  memiliki fungsi  Eksekutif (pemerintahan), sementara jabatan Residen  hanya bersifat simbolis. Selain itu, Dewan Rakyat membentuk lembaga kepolisian sendiri, yang dinamakan Polisi Keamanan Rakyat dan kemudian dikenal sebagai Polisi Khusus.

Dewan Rakyat juga memiliki pasukan tersendiri, yang tidak melebur dalam TKR. Pasukan Dewan Rakyat itu bernama Laskar Gulkut, yang merupakan akronim dari Gulung Bukut  atau “Basmi  Pamong Praja”. Nama ini berkaitan dengan tindakan mereka yang kerap menyerang aparat pamong praja yang dianggap antek kolonial. Anggota Laskar Gulkut ini kebanyakan dari kalangan  jawara.

Guna menangani problem ekonomi rakyat, Dewan Rakyat  membentuk Dewan Ekonomi Rakyat yang mengatur distribusi pangan bagi kebutuhan rakyat. Dewan Rakyat  mengambil alih cadangan pangan dari pihak Jepang dan pamong praja serta  membagi-bagikannya langsung kepada rakyat. Seluruh stok pangan yang selama ini ditimbun oleh pihak berkuasa disita dan dibagikan langsung kepada rakyat terutama kaum tani miskin. Upaya ini menjadi bagian dari revolusi yang bertujuan merombak alokasi sumber daya yang tidak adil selama masa kolonialisme.

Akhir Revolusi Sosial di Banten
Revolusi Dewan Rakyat  di Banten ini menjadi simbol kemenangan rakyat dalam melumpuhkan struktur politik kolonial. Namun, disisi lain, revolusi ini tidak menghentikan pertentangan dengan kaum pro-Republik lainnya. Hal ini disebabkan karena  Tje Mamat sebagai pimpinan Dewan Rakyat tidak mengakui  Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai lembaga tertinggi negara karena diisi oleh antek-antek Jepang. Menurutnya, hanya Dewan Rakyat yang dapat dianggap sebagai manifestasi dari demokrasi  rakyat yang sebenarnya. Banyak pihak, termasuk kaum ulama, yang menentang pandangan Tje Mamat tersebut.

Pemikiran Tje Mamat yang semacam itu, juga  misi Dewan Rakyat untuk menuntaskan revolusi dengan cara ‘membasmi’ para pejabat lama, mengundang perhatian pemerintah pusat.  Bung Karno dan Bung Hatta  pun berkunjung  ke Rangkasbitung pada tanggal 10 Desember 1945. Disaat yang sama, pasukan Dewan Rakyat menculik dan membunuh bekas Bupati Lebak, RT Hardiwinangun. Pembunuhan itu mengakibatkan pertentangan dengan ulama dan TKR makin menghebat.

Namun, bagi Dewan Rakyat, aksi pembunuhan itu merupakan penegasan bagi sikap mereka yang menuntut penghukuman terhadap para mantan pejabat yang kejam pada rakyat dimasa penjajahan dulu. Pertentangan  antara Dewan Rakyat dan TKR pun menjelma menjadi peperangan.

Menyikapi konflik tersebut, pemerintah pusat berpihak pada kaum ulama dan TKR yang dipandang sebagai wakil sah pemerintah pusat di wilayah Banten. Pemerintah seperti melupakan peranan dari Dewan Rakyat yang mempercepat pengambilalihan kekuasaan dari Jepang serta penyalur aspirasi kaum tani tertindas. Wakil Presiden Mohamad Hatta  bahkan menganggap  Dewan Rakyat  tidak berguna dan  sebaiknya dibubarkan saja.

Penumpasan Dewan Rakyat, yang berarti penghentian laju revolusi sosial, pun dimulai. Pasukan TKR berhasil menangkap para pemimpin Dewan Rakyat seperti Tje Mamat dan Ali Arkam pada bulan Januari 1946 di Ciomas. Seluruh anggota laskar Gulkut ditangkap dan dilucuti. Dewan Rakyat pun dibubarkan.

Revolusi sosial di Banten  tahun 1945-1946 merupakan salah satu peristiwa perjuangan rakyat yang harus tetap dicatat dalam lembaran sejarah bangsa. Revolusi tersebut juga memberikan pelajaran penting bahwasanya konsep-konsep  revolusioner, seperti Demokrasi Kerakyatan, Dewan Rakyat atau Pemerintahan Revolusioner, pernah menjadi bagian tak terpisahkan dalam revolusi kemerdekaan kita. Semua konsep itu bahkan pernah teraplikasikan, dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Revolusi Sosial di Sumatera

Meletusnya revolusi sosial di Sumatra Utara tidak terlepas dari sikap sultan-sultan, raja-raja dan kaum feodal, pada umumnya, yang tidak begitu antusias terhadap kemerdekaan Indonesia. Karena, setelah Jepang masuk, Pemerintah Jepang mencabut semua hak istimewa kaum bangsawan dan lahan perkebunan diambil alih oleh para buruh. Kaum bangsawan tidak merasa senang dan berharap untuk mendapatkan hak-haknya kembali dengan bekerja sama dengan Belanda/NICA, sehingga semakin menjauhkan diri dari pihak pro-republik.

Sementara itu, pihak pro-republik mendesak kepada komite nasional wilayah Sumatra Timur supaya daerah istimewa seperti Pemerintahan swapraja/kerajaan dihapuskan dan menggantikannya dengan pemerintahan demokrasi rakyat sesuai dengan semangat perjuangan kemerdekaan. Namun pihak pro-republik sendiri terpecah menjadi dua kubu; kubu moderat yang menginginkan pendekatan kooperatif untuk membujuk kaum bangsawan dan kubu radikal yang mengutamakan jalan kekerasan dengan penggalangan massa para buruh perkebunan.


Revolusi Sosial Maret 1946

Peristiwa Tanjung Balai
Di Tanjung Balai, Asahan, 3 Maret 1946, sejak pagi ribuan massa telah berkumpul. Mereka mendengar bahwa Belanda akan mendarat di Tanjung Balai. Akan tetapi, kerumunan itu berubah haluan mengepung Istana Sultan Asahan. Awalnya gerakan massa ini dihadang TRI. Akan tetapi, karena jumlahnya sedikit, massa berhasil menyerbu Istana Sultan. Besoknya, semua pria bangsawan Melayu di Sumatra Timur ditangkap dan dibunuh. Hanya dalam beberapa hari, 140 orang tewas, termasuk para penghulu, pegawai didikan Belanda, dan sebagian besar kelas tengku.


Peristiwa Simalungun, Karo, Langkat dan Deli
Amir Hamzah salah satu korban
Revolusi Sumatra Timur
Di Tanjung Balai dan di Tanjung Pasir hampir semua kelas bangsawan mati terbunuh. Sedangkan di Simalungun, Barisan Harimau Liar membunuh Raja Pane. Gerakan ini juga memakan korban yang terjadi di Tanah Karo. Di daerah kesultanan besar, Deli, Serdang, dan Langkat, Persatuan Perjuangan mendapat perlawanan. Serdang yang memang dalam sejarahnya anti-Belanda tidak terlalu dibenci masyarakat dan juga terlindung karena ada markas pasukan TRI di Perbaungan. Sedangkan, Istana Sultan Deli terlindung akibat adanya benteng pertahanan tentara sekutu di Medan, sementara Istana Langkat juga terlalu kuat untuk diserbu.


Pergolakan sosial berlanjut sampai 8 Maret 1946. Sultan Bilah dan Sultan Langkat ditangkap lalu dibunuh. Berita yang paling ironis adalah p3m3 rkosaan dua orang putri Sultan Langkat pada malam jatuhnya istana tersebut,pada 9 Maret 1946, dan dieksekusinya penyair terkemuka, Tengku Amir Hamzah. Meskipun p3m3 rkosa ditangkap dan dibunuh namun revolusi telah melenceng jauh.  Gerakan itu begitu cepat menjalar ke seluruh pelosok daerah Sumatra Timur oleh para aktivis PKI, PNI dan Pesindo. Puluhan orang yang berhubungan dengan swapraja ditahan dan dipenjarakan oleh laskar-laskar yang tergabung dalam Volksfront. Di Binjai, Tengku Kamil dan Pangeran Stabat ditangkap bersama beberapa orang pengawalnya. Istri-istri mereka juga ditangkap dan ditawan ditempat berpisah.

Tanggapan Pemerintah

Pada tanggal 5 Maret Wakil Gubernur Mr. Amir mengeluarkan pengumuman bahwa gerakan itu suatu “Revolusi Sosial”. Keterlibatan aktivis Partai Komunis Indonesia dalam revolusi sosial di Sumatra Timur memberikan kontribusi besar; terlebih lagi tanggal 6 Maret 1946, Wakil Gubernur Dr. Amir secara resmi mengangkat M. Joenoes Nasoetion, yang juga ketua PKI Sumatra Timur sebagai Residen Sumatra Timur. Untuk meminimalkan korban Revolusi Sosial, Residen Sumatra Timur M. Joenoes Nasution untuk sementara waktu bekerja sama dengan BP.KNI maupun Volksfront, dan Mr. Luat Siregar diangkat menjadi Juru Damai (Pasifikator) untuk seluruh wilayah Sumatra Timur dengan kewenangan seluas-luasnya.

Fenomena Munculnya Kerajaan-kerajaan Baru

Indonesia dihebohkan dengan kemunculan berbagai kerajaan baru yang dianggap fiktif karena jauh dari sejarah Nusantara sebenarnya. Apakah ini kebangkitan para bangsawan yang selama ini menyembunyikan statusnya? Rasanya tidak. Penulis menilai bahwa mereka yang mendirikan kerajaan-kerajaan baru sejatinya tidak bertujuan "mengangkat kembali" harkat martabat mereka yang sempat ditelikung selama puluhan tahun.

Bukti-bukti pelanggaran hukum pidana telah menjerat para pelaku yang bersembunyi dalam kabut kesejarahan kerajaan di masa lalu. Akibatnya justru para bangsawan sebenarnya semakin terpuruk dan tertutupi batu besar sejarah nusantara. Ironis dan menyedihkan.

Ini adalah revolusi sosial jilid 2. Jika diawal kemerdekaan republik Indonesia terjadi pembunuhan fisik, sekarang terjadi pembunuhan karakter (Character Assasination) terhadap para pemangku adat sejati dari keluarga kerajaan-kerajaan di Nusantara.

Revolusi di Zaman Sekarang

Salah satu bentuk tindakan revolusi sosial yang dilakukan adalah terorisme.Terorisme termasuk ke dalam pergerakan revolusi yang menggunakan taktik pengeboman.penculikan, penyekapan, pembajakan dan pembunuhan.

Referensi

  1. Nationalism and Revolution in Indonesia, George McTurnan Kahin, Cornell University Press, 2003 (cetak pertama 1952), hal.412, ISBN 0-87727-734-6
  2. Patologi Sebuah Revolusi: Catatan Anthony Reid tentang Revolusi Sosial di Sumatra Timur Maret 19461, Wara Sinuhaji, Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Sastra USU, Historisme, Edisi No. 23/Tahun XI/Januari 2007

Sponsor