Ningrat Kancana - Dewa Niskala dan Para Pengungsi Majapahit Raden Baribin |
[Historiana] - Kisah sejarah yang kita bahas mulai pada Maharaja Niskala Wastu Kancana atau Anggalarang atau Wangisutah lahir di Galuh, Kawali pada tahun 1348 dan wafat pada tanggal 1475, di Kawali, Ciamis. Niskala Wastu Kancana adalah raja dari Kerajaan Sunda Galuh bersatu dan memerintah antara tahun 1371 hingga 1475. Sebelumnya didahului oleh pamannya, Prabu Guru Mangkubumi Bunisora Suradipati atau Prabu Guru di Jampang (1357-1371) yang memerintah setelah kakaknya, Prabu Maharaja Linggabuana, gugur di Palagan Bubat.
Ketika Ayahanda Maharaja Niskala Wastu Kancana yaitu Maharaja Linggabuana gugur di Bubat, saat itu ia berusia 9 tahun. Kakaknya, Puteri Citraresmi Dyah Pitaloka yang lahir pada tahun 1339 M dan ikut gugur bersama ayahnya, Prabu Maharaja, di Bubat pada hari Selasa Wage tanggal 4 September 1357 M. Ibunya Dewi Lara Linsing putri Prabu Arya Kulon Raja Sunda (di Pakuan Bogor sebagai raja bawahan) dengan Dewi Kiranasari putri Prabu Ajiguna Linggawisésa 1333-1340 M.
Setelah mulai remaja Wastukancana kemudian melanglang buana ke Lampung, yang waktu itu masih dalam pengaruh kerajaan Sunda. Dan dari Lampung ini, ia kemudian menikah dengan putri Raja lampung, yang bernama Lara Sarkati. Dan kemudian menjadi prameswari pertamanya ketika ia diangkat menjadi raja pada tahun 1371 M, pada usia 23 tahun. Dari perkawinannya ini ia kemudian mempunyai anak yang bernama:
- Sang Haliwungan, yang dikemudian hari menjadi raja Sunda di Pakuan, dengan bergelar Prabu Susuk Tunggal.
- Sang Haluwesi. Ia yang mengurug Sanghyang Rancamaya (rawa/danau) akibat gangguan Sang Udubasu, Sang Pulunggana, Sang Surugana, ratu hiyang banaspati yang selalu meminta tumbal (Pimatarameun).
Sedang dari pernikahan dengan Dewi Mayangsari, putri pamannya, Prabu Rahyang Bunisora, Niskala Wastukancana mempunyai 4 orang putra:
- Ningrat Kancana yang naik tahta Kawali (Galuh) dan bergelar Prabu Dewa Niskala, yang berkuasa di timur sungai Citarum hingga sungai Cipamali.
- Surawijaya,
- Gedeng Sindangkasih, dan
- Gedeng Tapa.
Sementara itu, Prabhu Suradipati alias Rahyang Bunisora (1357-1371 M) yang menggantikan Prabhu Maharaja Lingga Buana Sang Mokteng Bubat (1350-1357 M). Disebutkan bahwa dari permaisuri, Prabhu Suradipati beroleh empat orang anak, masing-masing adalah:
- Raden Giridewata yang bergelar Kiageng Kasmaya (Ki Gedeng Kasmaya), menjadi ratu di Cirebon Girang;
- Raden Bratalegawa, terkenal dengan sebutan Haji Purwa;
- Ratu Banawati, menjadi ratu wilayah Galuh; dan
- Dewi Mayangsari, menjadi permaisuri Niskala Wastukancana.
Sang Mahaprabu Niskala Wastu Kancana, memerintah di Kerajaan Sunda, selama 103 tahun 6 bulan lebih 15 hari (1371 1475 Masehi). la wafat dalam usia kurang lebih 126 tahun. la masih sempat mendengar, Majapahit dilanda Perang Paregreg, akibat perebutan tahta di antara keturunan Prabu Hayam Wuruk, yang terjadi pada tahun 1453-1456 Masehi. Akibatnya, selama 3 tahun, Majapahit tidak mempunyai raja. Di saat Majapahit sedang dilanda kerusuhan, ia sedang menikmati ketenangan dan kedamaian pemerintahannya, sambil tak henti hentinya bertirakat dan beribadah (brata siya puja tan palum).
Setelah wafat, Sang Mahaprabu Niskala Wastu Kancana, dipusarakan di Nusalarang, sehingga ia kemudian dikenal dengan Sang Mokteng Nusalarang. Dan membagi wilayah sunda kepada 2 orang anaknya, yang satu berkuasa di Sunda sebelah barat (Pakuan), Bogor dan Sunda sebelah timur (Galuh), Kawali, Ciamis.
Pertama, Ningrat Kancana merupakan putra sulung hasil perkawinan Prabu Niskala Wastu Kancana dengan putri Dewi Mayangsari putri Prabu Bunisora. Ia kemudian diangkat menjadi sebagai Raja Anom di Galuh mendampingi ayahnya (Mahapraburesi Niskala Wastu Kancana penguasa Kerajaan Sunda Galuh), dengan gelar penobatan Ningrat Kancana, Prabu Dewa Niskala.
Pasca Niskala Wastu Kancana
Kerajaan Galuh, rupanya adalah federasi atau aliansi dari beberapa kerajaan yang tersebar seantero tatar Galuh. Wilayah Kerajaan Galuh ini di sebelah timur adalah Sungai Pamali (Cipamali) yang kini berada di Kabupaten Brebes Jawa Tengah dan Kali Serayu Jawa Tengah. Di sebelah baratnya adalah Sungai Citarum. Sebelah barat Citarum adalah Kerajaan Sunda. Pada awal pendiriannya, Secara politis dan militer, Kerajaan Galuh mendapat dukungan dari Kerajaan Kalingga/Mataram Kuno. Para penguasa Mataram Kuno terkait dengan para penguasa Kerajaan Galuh.
Raja Galuh Dewa Niskala yang ketika dinobatkan bernama Rahyang Ningrat Kancana putra Mahaprabu Niskala Wastu Kancana putra Maharaja Linggabuana putra Prabu Ragamulya Luhur Prabawa. Dari jalur ibu ia putra Dewi Mayangsari putri Prabu Bunisora putra Prabu Ragamulya Luhur Prabawa. Prabu Dewa Niskala seorang raja Kerajaan Surawisesa di Galuh Kawali (1475-1482) menikahi Nyimas Ratna Huma atau Dewi Kumudaningsih (istri pertama) kakaknya Banyaksumba yang menjadi Patih Kerajaan Galuh, maka berputra empat orang:
- Raden Banyak Catra alias Raden arya Banyak Catra alias Kamandaka, bupati Galuh di Pasirluhur (Banyumas) yang menikahi Dewi Ciptarasa putri Sri Baginda Maha Prabu Kendadaha, raja kedelapan Kerajaan Pasir Luhur, untuk menyatukan Galuh dan Pasirluhur.
- Raden Aria Banyak Ngampar alias Aria Gagak Ngampar alias Silihwarni, bupati Galuh di Dayeuhluhur (Banyumas), yang menikahi Dewi Purwati alias Dewi Pringgisari adik dari Adipati Pulebahas, untuk meyatukan Galuh dan Dayeuhluhur.
- Raden Banyak Blabur alias Kusumalaya alias Ajar Kutamanggu.
- Ratna Pamekas alias Dewi Ratna Pamekar alias Ratna Ayu Kirana dinikahkan dengan Raden Baribin alias Prabu Haryo Baribin Pandita Putra, untuk menyatukan Galuh dan Majapahit.
Prabu Dewa Niskala seorang raja Kerajaan Surawisesa di Galuh Kawali (1475-1482) menikahi permaisuri Uma Dewi/Dewi Siti Samboja/ Dewi Rengganis (istri kedua), maka berputra dua orang:
- Jayadewata atau Raden Pamanahrasa (Saat berusia 9 tahun bergelar Raja Sunu)
- Ningratwangi alias Prabu Rangga Pupuk dan berputra Jayaningrat alias Prabu Jayadiningrat alias Prabu Jaya Pupuk
Prabu Dewa Niskala seorang raja Kerajaan Surawisesa di Galuh Kawali (1475-1482) menikahi rara hulanjar atau isteri larangan yang bernama Dyah Retna Astunalarang alias Ratna Astunawangi, maka berputra:
- Parbamenak berusia 15 tahun bergelar Rajaputra.
- Surayana berputra Nyi Wandasari menikah dengan Syekh Maulana Akbar alias Syekh Bayanullah yang mendirikan Pondok Quro di desa Sidapurna ibu kota Kajene (Kuningan). Dia adalah adik Syekh Datuk Kahpi yang mendirikan Pondok Quro di Amparan Jati (Cirebon)
Peristiwa turunnya raja Galuh dan Raja Sunda berlangsung bersamaan. Saat itu menjadi penguasa Kerajaan Galuh adalah Prabhu Dewa Niskala atau Prabhu Ningrat Kancana (1475-1482) putra Maharaja/ Mahaprabu Niskala Wastukancana.
Sementara itu, di wilayah Kerajaan Sunda dipimpin oleh Prabhu Susuktunggal (1475-1482) putra Maharaja/ Mahaprabu Niskala Wastukancana. Bedasarkan nama para raja ini, diketahui bahwa keduanya -penguasa Galuh dan Sunda, sebagai putra Maharaja/Mahaprabu Niskala Wastukancana. Dengan demikian, Prabu Ningrat Kancana/Dewa Niskala dan Prabu Susuktunggal/Sang Haliwungan adalah bersaudara (kakak-adik berbeda ibu).
Kedua raja, baik Raja Galuh maupun Raja Sunda memerintah sejak 1475 dan berakhir pada tahun 1482 Masehi. Keduanya naik tahta dan turun tahta secara bersamaan. Penyebabnya adalah konflik antara keduanya.
Kisah berawal ketika Ningrat Kancana naik tahta dengan gelar Dewa Niskala. Tiga tahun setelah menduduki singgasana yaitu 1478 M terjadi peristiwa penting di Pulau Jawa, Kerajaan Majapahit kala itu setelah dilanda pemberontakan dan perang saudara dengan pasukan Islam dari Demak di bawah pimpinan Adipati Demak Raden Patah atau Jin Bun, putra Prabhu Kertabhumi atau Prabhu Brawijaya. Akibatnya banyak petinggi Majapahit yang mengungsi, di antaranya Raden Baribin, saudara seayah Prabhu Kertabhumi.
Beserta keluarganya ia mengungsi hingga sampai ke
ibukota kerajaan Galuh Surawisesa (situs Astana Gede Kawali Ciamis).
Prabhu Dewa Niskala menerima dengan baik Raden Baribin beserta
rombongan, bahkan lebih dari itu, putrinya Ratna Ayu Kirana dinikahkan
dengan Raden Baribin. Selain itu, salah seorang gadis pengungsi
Majapahit ada yang dinikahi oleh Sang Prabhu Dewa Niskala. Padahal
menurut hukum yang berlaku pada masa itu, gadis itu berstatus sebagai
gadis larangan, karena sudah bertunangan dan belum dibatalkan
pertunangannya. Prabhu Susuk Tunggal menjadi murka. Karena dengan
tindakan tersebut, jelas-jelas Prabhu Dewa Niskala sudah melanggar adat
yang ditabukan oleh keluarga keturunan Prabhu Wangi, yang gugur di
Bubat. Mereka bersumpah tidak akan melakukan perjodohan ataupun hubungan
kekerabatan dengan Majapahit. Dengan itu, Sang Susuk Tunggal menyatakan
putus hubungan kekerabatan, juga hubungan kenegaraan antara Sunda
Pakuan dengan Galuh Surawisesa.
Lama-kelamaan ketegangan itu
semakin meruncing, sehingga sesepuh kedua pihak yang berseteru
berinisiatif untuk mengadakan musyawarah. Musyawarah tersebut
menghasilkan sebuah keputusan, yaitu baik Prabhu Susuk Tunggal maupun
Prabhu Dewa Niskala harus bersedia turun dari tahta mereka. Sebagai
pengganti mereka berdua, maka disepakati Pangeran Jayadewata atau Pamanah Rasa yang naik tahta pada tahun 1482 M.
Dia
dinobatkan dua kali pada tahun yang sama. Pertama, ia dinobatkan di
Galuh Surawisesa menggantikan ayahnya dengan gelar Prabhu Guru
Dewataprana. Kedua, ia menerima tahta dari Prabhu Susuk Tunggal
sebagaimana hasil musyawarah para pinisepuh, dengan gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.
Bagaimana Nasib Para Pengungsi Majapahit (Raden Baribin)?
Ketika Raden Baribin dan rombongan diterima Raja Galuh yaitu Prabhu Dewa Niskala, bahkan hingga dinikahkan dengan putrinya. Kondisi para pengungsi Majapahit ini tidak terpengaruh oleh pertentangan antara Prabhu Dewa Niskala dan Prabhu Susuk Tunggal. Raden Baribin dapat dengan tenang menjalani kehidupannya di wilayah kerajaan Galuh. Demikian pula di masa pemerintahan Jayadewata atau Sribaduga Maharaja.
Lihat juga versi videonya...
Di saat Jayadewata atau Sri Baduga Maharaja menjadi penguasa Pajajaran, para raja bawahan tetap eksis termasuk raja Galuh dan raja Sunda. Pasa lengsernya Raja Galuh Dewa Niskala atau Ningrat Kancana, kedudukan raja Galuh dipegang oleh Ningratwangi putranya yaitu adik Jayadewata atau Sri Baduga Maharaja. Jadi para pengungsi Majapahit ini tetap mendapatkan perlindungan dan bantuan dari Kerajaan Galuh hingga Pajajaran.
Setelah situasi politik menjadi jelas dengan berkuasanya Kerajaan Demak, akhirnya Raden Baribin menuju ke Panjer yang di zaman Majapahit masih negara Panjer (sekarang Kebumen Jawa Tengah). Keturunan dari Raden Baribin dari Dewi Ratna Pamekas menurunkan para penguasa di Dayeuh Luhur (Cilacap) dan Pasir Luhur (Banyumasan).
Mengenai silsilah istri Raden Baribin yaitu Ratna Pamekas, Banyak Catra, dan Banyak Ngampar berasal dari Babad Pasir dan Babad Banyumas. Dari 32 naskah Babad Banyumas menunjukkan adanya enam versi, yaitu: (1) versi Mertadiredjan, (2) versi transformasi teks Mertadiredjan, (3) versi Dipayudan, (4) versi Wirjaatmadjan, (5) versi Danuredjan (tembang), dan (6) versi Danuredjan (gancaran) (Priyadi, 1995a: 347).
Bila naskah-naskah baru yang diketemukan ditambahkan, maka terdapat 62 Naskah Babad Banyumas dengan 15 versi. Seperti dikatakan Prof Sugeng Priyadi bahwa pelacakan terhadap versi Babad Banyumas yang berisi legitimasi bagi keluarga-keluarga baru harus dilakukan karena adanya gejala kenaikan status, pendirian berbagai paguyuban, tradisi silahturahim, dan lain-lain. Oleh karena itu, gejala tersebut harus senantiasa dicermati agar tradisinya dapat diketahui sedini mungkin. Hal itu juga didukung oleh tingkat mobilitas penyalinan teks Babad Banyumas yang tergolong tinggi sehingga penelitian lanjutan senantiasa diperlukan.
Di samping itu, naskah Pustaka Rajya-rajya I Bhumi Nusantara Parwa 2 Sargah 4 (PRBN), juga memuat teks Babad Banyumas. Teks ini jelas berbeda dengan versi-versi yang lain. Ada kemungkinan teks ini menjadi teks yang melahirkan Babad Banyumas versi Banjarnegara. Selain itu, teks Sejarah Wirasaba yang menjadi tradisi di Purbalingga yang ditransformasikan menjadi Babad Banyumas versi Banjarnegara, maka teks Sejarah Wirasaba menjadi versi tersendiri.
Secara keseluruhan sampai penelitian terakhir ini, ada 15 versi Babad Banyumas. Versi-versi tersebut sebagai berikut: (1) Babad Banyumas Kalibening, (2) versi Mertadiredjan, (3) versi Jayawinata, (4) versi Adimulya, (5) versi transformasi teks Mertadiredjan, (6) versi PRBN, (7) versi Dipayudan atau versi Banjarnegara, (8) versi Kasman Soerawidjaja, (9) versi Wirjaatmadjan, (10) versi Oemarmadi dan Koesnadi, (11) versi Panenggak Widodo-Nakim, (12) versi Danuredjan (tembang), (13) versi Danuredjan (gancaran), (14) versi Keluarga Baru (semua gancaran: Dipadiwiryan, Dipayudan Banjar-negara, Cakrawedanan, Mertadiredjan, Gandasubratan, dan keluarga Banjar-Gripit-Badakarya), dan (15) versi Sejarah Wirasaba.
Referensi
- Atja. 1986. Carita Purwaka Caruban Nagari: Karya Sastra Sebagai Sumber
Pengetahuan Sejarah. Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa
Barat.
- Cortesao, Armando. 1944. "The Suma Oriental of Tome Pires". London: The Hakluyt Society.
- Darsa, Undang Ahmad. 2017. "Islam dan Panorama Keagamaan Masyarakat Tatar Sunda". Jurnal Indo-Islamika, Volume 7 No.1 Januari-Juni 2017/1438.
- Ekadjati, Edi S. 1980. Babad Cirebon: Tinjauan Sastra. Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia 9:1 1 (Jun 1980/1981): 1-32.
- Sunardjo, RH Unang. 1983. "Meninjau Sepintas Panggung Sejarah Pemerintahan: Kerajaan Cerbon 1479-1809". Bandung: Penerbit Tarsito.
- "Tabir Perjalanan Sejarah 'Menusa Cerbon'" disparbud.jabarprov.go.id Diakses 27 Oktober 2020.
- Priyadi, S. 2002. "Babad Banyumas dan Versi-versinya". Jurnal HUMANIORA Volume XIV. No. 2/2002. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. ugm.ac.id Diakses 29 Oktober 2020.
- Priyadi, S. 1995c. "Tedhakan Serat Babad Banyumas: Suntingan Teks, Terjemahan, dan Fungsi Genealogi dalam Kerangka Struktur Naratif". Berkala Penelitian Pasca Sarjana. Jilid 8, No.4A, November. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
- Priyadi, S. 2006. "Babad Pasir: Banyumas dan Sunda". Jurnal BAHASA DAN SENI, Tahun 34, Nomor 1, Februari 2006. Purwokerto: Universitas Muhammadiyah Purwokerto. sastra.um.ac.id Diakses 29 Oktober 2020.
- Sutaarga, Moh. Amir. 1982. Prabu Siliwangi. Jakarta: Pustaka Jaya.
- Tjandrasasmita, Uka dll. 1975. Sejarah Nasional Indonesia, Jilid III. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
- "Kerajaan Japura" putrabalayuda.blogspot.com Diakses 27 Oktober 2020.