[Historiana] - Adakah yang masih mengingat Sunda Kalapa zaman Pajajaran? Sebagai puing, ia ibarat sejarah yang luka….
Tak mudah menemukan gambaran utuh Sunda Kalapa sebagai wilayah pesisir Pasundan sekaligus menjadi pelabuhan internasional di zaman Pajajaran. Bukan perkara letak geografisnya yang tidak diketahui, banyak sejarah membahas Sunda Kalapa sebagai Cikal Bakal DKI Jakarta.
Mengamati film "Fatahillah" tahun 1997 besutan Sinema Abad 21 yang disutradarai H Surjadi Soedirdja, ada beberapa hal yang menarik perhatian dari sisi sejarah. Film ini dapat kita tonton di kanal Youtube: Dalam keterangan awal film menuliskan bahwa cerita digubah dari sejarah pengusiran Portugis dari Sunda Kelapa dan berdirinya kota Jakarta di bawah pimpinan Falatehan alias Fadhilah Khan alias Fatahillah. Film ini memang berbasis peristiwa sejarah, namun kental dengan suasana keagamaan. Jadi film ini bisa disebut sebagai syiar agama berbasis sejarah. Kritik ini untuk cinematografi alur cerita film, bukan mengkritik Islam. Penulis sangat paham bahwa agama tidak dapat dikritik. Oleh karena itu, kisah sejarah terkait keagamaan jadi seolah-olah juga tidak bisa dikritik. namun marilah kita memisahkan peristiwa sejarah secara historis.
Film ini diklaim sebagai film sejarah 'pembebasan Sunda Kalapa'. Tentu cara pandang yang datang sebagai pemenang perang. Tulisan ini mencoba mendudukan beberapa istilah dan peristiwa yang terjadi itu untuk menempatkannya sebagaimana kebenaran faktual yang benar secara historis.
Pertama, penggunaan istilah 'pembebasan Sunda Kalapa' serasa mengganjal bagi kita. Kota pelabuhan Sunda Kalapa adalah bagian dari kerajaan Pajajaran. Jadi istilah pembebasan sepertinya tidak cocok, tetapi seharusnya yang cocok adalah penaklukan kota Sunda Kalapa oleh Fatahillah. Artinya pengambilalihan salah-satu kota Pelabuhan Pajajaran.
Kedua, seolah perang terjadi untuk mengusir Portugis yang sudah bercokol di Pelabuhan Sunda Kalapa. Padahal dalam berbagai sumber sejarah menyebutkan bahwa Portugis belum membangun benteng kota di Sunda Kalapa. Ketika Sunda Kalapa sudah jatuh ke tangan Pasukan Demak pimpinan Fatahillah, Portugis baru datang dan tidak menyangka bahwa penguasa Sunda Kalapa sebelumnya sudah gugur dalam pertempuran dan penguasa telah beralih. Terjadilah penyergapan oleh Pasukan Demak di Sunda Kalapa terhadap pasukan Portugis.
Ketiga, penggambaran bahwa kerajaan Pajajaran terbelakang dengan adegan Prabu Siliwangi yang seolah-olah primitif memegang senapan pemberian Portugis. Sebenarnya telah ada kisah dari Cirebon ketika Cirebon menghentikan pengiriman Upeti ke Pajajaran. Pasukan khusus Pajajarajn yang dipimpin Tumenggung Jagabaya, Tumenggung Jagasatru dan Tumenggung Lembusastra mendatangi Cirebon dengan membawa Wedhil (bedil) alias senapan. Artinya, pasukan Pajajaran sudah menggunakan senjata api dan juga telah menggunakan Cannon (meriam) yang disebut Cetbang. Jadi adengan bahwa Prabu Siliwangi seolah tidak mengetahui Senjata api dalam film Fatahillah adalah keliru.
Keempat, dalam film juga ada adegan kesepakatan antara Prabu Siliwangi dengan pihak Portugis. Dalam film, Prabu Siliwangi seolah tidak bisa menulis dengan ditunjukkannya adegan Prabu Siliwangi membubuhkan cap jempol. Fakta sejarah sebenarnya bahwa Prabu Siliwangi adalah seorang raja besar dan ahli administrasi kerajaan. Otomatis, ia memiliki kemampuan menulis. Selain itu, kerjasama antar-negara di zamannya telah dilakukan dengan Kerajaan Dekhan India, Pagan, Srilanka, Malaka dan lain-lain. Serta yang paling jelas adalah adanya bukti dokumentasi perjanjian Pajajaran-Portugis bahwa Prabu Siliwangi membubuhkan tanda tangan.
Nagara Kretabhumi I/2 dan sumber Portugis mengisahkan bahwa Surawisesa pernah diutus ayahnya menghubungi Alfonso d'Albuquerque
(Laksamana Bungker) di Malaka. Ia pergi ke Malaka dua kali (1512 dan
1521). Hasil kunjungan pertama adalah kunjungan penjajakan pihak
Portugis pada tahun 1513 yang diikuti oleh Tome Pires, sedangkan hasil
kunjungan yang kedua adalah kedatangan utusan Portugis yang dipimpin
oleh Hendrik de Leme (ipar Alfonso) ke Ibukota Pakuan Pajajaran
atau disingkat Pakuan atau Pajajaran (sekarang kota Bogor) pada tahun
1522. Dalam kunjungan itu disepakati persetujuan antara Kerajaan Sunda
dan Portugis mengenai perdagangan dan keamanan.
Dari perjanjian ini dibuat tulisan rangkap dua, lalu masing-masing pihak
memegang satu) Menurut Soekanto (1956) perjanjian itu ditandatangai 21
Agustus 1522. Ten Dam menganggap bahwa perjanjian itu hanya lisan.
Namun, sumber Portugis yang kemudian dikutip Hageman menyebutkan "Van deze overeenkomst werd een geschrift opgemaakt in dubbel, waarvan elke partij een behield".
![]() |
Prasasti "Padrao" dan Surat Perjanjian kerjasama Pajajaran -Portugis Sumber: Heuken 2007. |
Maka pada tanggal 21 Agustus 1522 dibuatlah suatu perjanjian yang
menyebutkan bahwa orang Portugis akan membuat loji (perkantoran dan
perumahan yang dilengkapi benteng) di Sunda Kelapa, sedangkan Sunda
Kelapa akan menerima barang-barang yang diperlukan. Raja Sunda akan
memberikan kepada orang-orang Portugis 1.000 keranjang lada tiap tahun
untuk ditukarkan dengan muatan sebanyak dua "costumodos" (kurang lebih
351 kuintal) sebagai tanda persahabatan.
Sebuah batu peringatan atau padraõ dibuat untuk memperingati peristiwa
itu. Padrao dimaksud disebut sebagai layang salaka domas dalam cerita
rakya Sunda Mundinglaya Dikusumah. Padraõ itu ditemukan kembali pada tahun 1918 di sudut Prinsenstraat (Jalan Cengkeh) dan Groenestraat (Jalan Nelayan Timur) di Jakarta.
Kelima, kembali pada film "Fatahillah" yang menggambarkan adegan bahwa Fatahillah menyampaikan salam kepada Sanghyang melalui orang-orang Banten Girang dan menyatakan bahwa mereka tidak memusuhi Pajajaran. Film menggambarkan seolah-olah peristiwa Penyerangan Sunda Kalapa merupakan peristiwa yang tidak ada hubungannya dengan Pajajaran. Padahal Sunda Kalapa adalah bagian dari wilayah Pajajaran. Fakta sebenarnya, kondisi dalam film tidak sesuai dengan sejarah. Dalam Naskah Lontar Carita Parahyangan. Dalam masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi) mencatat adanya kerjasama Kerajaan Pajajaran dan Portugis terkait pelabuhan milik Pajajaran. Putera mahkota, Surawisesa diutus Pajajaran untuk perjanjian itu.Surawisesa adalah putera Sri Baduga Maharaja, Surawisesa dari permaisuri (garwa padmi) Kentring Manik Mayang Sunda dan juga cucu Prabu Susuktunggal. Ia dipuji oleh Carita Parahiyangan dengan sebutan "kasuran" (perwira), "kadiran" (perkasa) dan "kuwanen" (pemberani). Selama 14 tahun memerintah ia melakukan 15 kali pertempuran. Pujian penulis Carita Parahiyangan memang berkaitan dengan hal ini.
Kalapa telah disebut sebagai kota pelabuhan dalam Bujangga Manik (BM), Carita Parahyangan (CP) dan The Suma Oriental of Tome Pires
(SOTP). Kota itu terletak di muara Sungai Ciliwung dan adalah kota
pelabuhan utama Kerajaan Sunda. Namanya telah berubah berulang kali,
yaitu Jayakarta (1527), Batavia atau Betawi (1619), dan Jakarta
(1942). Ia pernah disinggahi Bujangga Manik dan Tome Pires. Kiranya
Bujangga Manik tidak menjelaskan keadaan kota pelabuhan itu, tetapi Tome
Pires menerangkannya:
The port of Calapa is a magnificent port. It is the most important and best of all. This is where the trade is greatest and whither they all sail from Sumatra, and Palembang, Laue, Tamjompura, Malacca, Macassar, Java and Madura and many other places. … This port is two days’ journey from the city of Dayo where the king is always in residence, so that this is the one to be considered the most important (Cortesao 1944: 172).
(Pelabuhan Calapa adalah pelabuhan yang luar biasa. Itu yang paling penting dan terbaik dari semuanya. Di sinilah perdagangan terbesar dan ke mana mereka semua berlayar dari Sumatra, dan Palembang, Laue, Tamjompura, Malaka, Makasar, Jawa dan Madura dan banyak tempat lainnya. ... Pelabuhan ini adalah perjalanan dua hari dari kota Dayo di mana raja selalu tinggal, sehingga inilah yang dianggap paling penting).
Referensi
- Tarling, Nicholas (ed). 1999. "The Cambridge History of Southeast Asia: Volume Two from c. 1500 to c. 1800". Cambridge University Press. googlebooks
- Barbosa, Duarte. 1918. The Book of Duarte Barbosa. London: The Hakluyt Society.
- Cortesao, Armando. 1944. The Suma Oriental of Tome Pires. London: The Hakluyt Society.
- Atja & Saleh Danasasmita. 1981c. Carita Parahiyangan. Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.
- Danasasmita, Saleh. 1975. Latar Belakang Sosial Sejarah Kuno Jawa Barat dan Hubungan antara Galuh dengan Pajajaran. Dalam: Atja (Editor). Sejarah Jawa Barat: Dari Masa Prasejarah hingga Masa Penyebaran Agama Islam, hlm. 40-81. Bandung: Proyek Penunjang Peningkatan Kebudayaan Nasional Propinsi Jawa Barat.
- Darsa Undang A. & Edi S. Ekadjati. 2003. Fragmen Carita Parahiyangan dan Carita Parahiyangan. Dlm. Tulak Bala: Sistim Pertahanan Tradisional Masyarakat Sunda, Ajip Rosidi (Editor). hlm. 173-208. Bandung: Pusat Studi Sunda (Seri Sundalana I).
- Djajadiningrat, Hoesein. 1983. Tinjauan Kritis tentang Sajarah Banten: Sumbangan bagi Pengenalan Sifat-sifat Penulisan Sejarah Jawa (Penterjemah: KITLV bersama LIPI). Jakarta: Djambatan.
- Heuken, A (2002) The Earliest Portuguese Sources for the History of Jakarta: including all other historical documents from the 5th to the 16th centuries. Jakarta: Cipta Loka Caraka. researchgate.net Diakses 16 Januari 2019