Cari

Prabu Linggabuana yang Gugur di Bubat | Maharaja Sunda-Galuh

 



[Historiana] -  Perang Bubat? Benarkah pernah terjadi atau hanya fiksi? Silang pendapat peristiwa ini telah berlangsung berabad-abad. Berbagai argumentasi para sejarawan dikemukakan. Anda bisa melihatnya dalam "Silang Pendapat Perang Bubat" di Metro TV. Tentu para ahli sejarab yang berbeda pendapat itu berdasarkan pada sumber-sumber rujukan seperti naskah kuno dan prasasti. 

Ada pula silang pendapat di kalangan masyarakat yang lebih bersifat spekulatif, emosional yang dalam istilah zaman now disebut baper. Pertama, muncul argumen spekulatib bahwa kisah ini dianggap mustahil karena perempuan yang mendatangi pihak laki-laki. Dianggap salahkah ini? Tentu iya, jika kita menggunakan kacamata sekarang. Baik budaya Sunda maupun Jawa dalam budaya yang dipengaruhi keyakinan keberagamaan sekarang, tidak seperti itu. Kebalik!!

Mari kita lihat dari kacamata di zaman itu. Ada sumber naskah dari Majapahit bernama Kutara Sastra dan Manawa Sastra (kitab kutara dan manara) berupa hukum kerajaan yang mengatur hukum acara pidana dan perdata di zamannya. Terdapat pasal-pasal yang memberikan hak bagi perempuan untuk melamar laki-laki yang disukainya. Pun demikian, seorang Ibu bisa menikahkan anak gadisnya. Sekalipun demikian sang Ayah dapat membatalkan pernikahan anak gadis yang dilakukan ibunya. Demikian pula di Tanah Sunda. Jejak aturan yang sama bisa kita dapati dari Naskah Perjalanan Bujangga Manik. Ada kisah yang rinci mengenai seorang perempuan cantik yang bernama Putri Ajung Larang dengan menyuruh Jompong Larang melamar Bujangga Manik. Utusan datang membawa uba rampe lamaran lengkap dengan sirih pinang pengikat perjaka Akan tetapi lamaran dari sang putri itu ditolak oleh Bujangga Manik, seluruh benda persembahan yang diuraikan secara rinci dalam naskah itu, diminta dikembalikan kepada sang putri (Noorduyn & A.Teeuw, 2009: 289—291).

Kedua, jika peristiwa Bubat dianggap fiksi dan tidak pernah terjadi, lalu kemanakah Prabu Linggabuana? Dalam sumber-sumber sejarah Sunda Prabu Lingga buana disebut Sang Mokteng Bubat artinya yang wafat di Bubat. Tidak mudah mengubah sejarah Tatar Pasundan. Tentu bagi kita, sejarah adalah sumber pembelajaran untuk masa depan bangsa dan jangan bawa-bawa perasaan (baperan). Sejarah akan terus berjalan dan akan diperbaiki jika ditemukan bukti-bukti baru. 

 

Prabu Maharaja Linggabuana, gugur di Palagan Bubat.

Linggabuana merupakan anak dari Prabu Rangamulya Luhur Prabawa, Prabu Rangamulya mempunyai dua orang anak yaitu Linggabuana dan Bunisora.

Sebelum menjadi Raja, Linggabuana pernah menjadi seorang adipati selama 7 tahun, dibawah pemerintahan kakeknya, menjadi Yuwaraja (Putra mahkota) pada masa pemerintahan ayahnya selama 10 tahun. (Yoseph Iskandar; 2005, 195).

Maharaja Linggabuana adalah putra Prabu Ragamulya Luhur Prabawa putra Prabu Ajiguna Linggawisésa. Istrinya bernama Dewi Lara Linsing putri Prabu Arya Kulon Raja Sunda (di Pakuan Bogor) dengan Dewi Kiranasari putri Prabu Ajiguna Linggawisésa 1333-1340 M.  Jadi Maharaja Linggabuana adalah sepupu satu kakek dengan Dewi Lara Linsing.

Prabu Linggabuana,  dinobatkan pada tanggal 14 bagian terang bulan Palguna tahun 1272 Saka (22 Pebruari 1350 Masehi) dengan nama nobat: Prabu Maharaja Linggabuana. Dalam melaksanakan pemerintahan sehari-hari, didampingi oleh adiknya, Sang Bunisora (Borosngora), yang bergelar Mangkubumi Saradipati.

Dari Sang Permaisuri Dewi Lara Linsing, Prabu Maharaja Linggabuana memperoleh putera:

  1. Citraresmi Dyah Pitaloka, lahir tahun 1339 Masehi, oleh kakeknya diberi nama Citraresmi;
  2. Putera kedua laki laki, meninggal dalam usia 1 tahun;
  3. Putera ketiga laki laki, meninggal dalam usia 1 tahun;
  4. Wastu Kancana, lahir tahun 1348 Masehi.

Putri Citraresmi disebut pula dengan nama Citra Rashmi atau Dyah Pitaloka atau Chandrawulan.

Dalam kisah legendanya demikian. Tibalah saat yang bahagia, karena Sang Puteri Dyah Pitaloka, menginjak usia 18 tahun, dan dilamar oleh Bhre Wilwatikta: Prabu Hayam Wuruk. Sang Prabu Linggabuana Maharaja Sunda, akan mengadakan pesta perkawinan puterinya di Majapahit. Demikianlah, menurut keinginan sang Maharaja Majapahit Prabu Hayam Wuruk.

Setiba di sana, puteri mahkota Sunda itu, ternyata harus diserahkan kepada Bre Prabu Majapahit, sebagai isteri persembahan (upeti). Sesungguhnya, hal itu amat bertentangan, dengan janji Bre Majapahit sendiri. Karena itu, Prabu Maharaja Sunda, tidak bersedia menyerahkan puterinya.

Sesungguhnya, sebelumnya, Bre Prabu Majapahit sudah menjanjikan, bahwa sang puteri Citraresmi, akan diperisteri (resmi), dan dijadikan permaisuri. Akan tetapi, janji tersebut tidak ditepatinya. Bahkan ia, sepertinya ingin menguasai negeri Sunda di Jawa Barat.

Sesungguhnya, hal itu, hanya ulah dan kehendak Sang Patih Mada. Sang Prabu Hayam Wuruk, selalu menyetujui keinginan Patihnya. Semua orang mengetahui, bahwa yang menyakiti hati orang Sunda itu, adalah Sang Patih Mada.

Utusan Sang Prabu Maharaja Sunda, dengan Sang Patih Gajah Mada, sama sama mengeluarkan perkataan yang tidak layak. Akhirnya, meluaplah hati Sang Patih Mada. la menjadi berang, lalu memerintahkan laskar Majapahit, siap untuk bertempur.

Semua pasukan Majapahit, mengenakan pakaian perang dan membawa berbagai macam senjata. Di antara mereka, ada yang menunggang gajah, ada yang berkuda, ada yang naik kereta, dan beberapa ratus orang berjalan kaki, dengan persenjataan lengkap.

Sang Prabu Maharaja termenung sejenak, lalu menundukkan kepala. Hatinya cemas dan ragu ragu. Betapapun, tidak mungkin para kesatria Sunda memenangkan pertempuran, melawan angkatan perang Majapahit yang sedemikian besar jumlahnya. Namun seandainya mereka kalah dan gugur, kehormatanlah yang harus dipertaruhkan.

Lalu berkumpullah orang-orang Sunda, semuanya hanya 98 orang, di Pasanggrahan (kemah) tempat Sang Prabu Maharaja. Mereka bermusyawarah dan sepakat untuk menyongsong musuh. Sang Prabu Maharaja dan para pengiringnya, tidak sudi dihinakan dan diperintah oleh Raja Majapahit.

Kemudian Sang Prabu Maharaja Linggabuana berseru kepada semua pengiringnya. Beginilah ujarnya "Walaupun darah akan mengalir bagaikan sungai di palagan Bubat ini, namun, kehormatanku dan semua kesatria Sunda, tidak akan membiarkan pengkhianatan terhadap negara dan rakyatku. Karena itu, janganlah kalian bimbang!"

Kemudian, tibalah pasukan besar Majapahit, yang dipimpin langsung oleh Sang Patih Mada, sebagai panglima perang. Pengecut perbuatannya, menyerang raja Sunda bersama pengiringnya, yang hanya beberapa puluh orang jumlahnya.

Orang Sunda serempak menyongsong lawan. Pertempuran berlangsung sengit. Namun akhirnya, semua orang Sunda yang ada di sana gugur, oleh Sang Patih Gajah Mada bersama pasukannya. Kemudian, Sang Ratna Citraresmi, melakukan mati bela (bunuh diri).

Adapun para pembesar dan pengiring kerajaan Sunda yang gugur di palagan Bubat, masing masing ialah:

    1. Rakeyan Tumenggung Larang Ageng; 
    2. Rakeyan Mantri Sohan; 
    3. Yuwamantri (menteri muda) Gempong Lotong; 
    4. Sang Panji Melong Sakti; 
    5. Ki Panghulu Sura; 
    6. Rakeyan Mantri Saya; 
    7. Rakeyan Rangga Kaweni;
    8. Sang Mantri Usus (Bayangkara Sang Prabu); 
    9. Rakeyan Senapatiyuda Sutrajali; 
    10. Rakeyan Juru Siring; 
    11. Ki Jagat Saya (Patih Mandala Kidul); 
    12. Sang Mantri Patih Wirayuda; 
    13. Rakeyan Nakoda Braja (Panglima Angkatan Laut Sunda); 
    14. Ki Nakoda Bule (pemimpin jurumudi kapal perang kerajaan); 
    15. Ki Juru Wastra; 
    16. Ki Mantri Sebrang Keling; 
    17. Ki Mantri Supit Kelingking.
    18. Kemudian Sang Prabu Maharaja Linggabuana Ratu Sunda, 
    19. Rajaputri Dyah Pitaloka, 
    20. bersama semua pengiringnya.

Tetapi bumi Sunda tidak dikuasai oleh kerajaan Majapahit (tathapyan mangkana sundhabhumi tan kalindih dening rajya wilwatikta). Mereka tidak menyerang Kerajaan Sunda. Hasrat mereka menyerang Tatar Sunda tidak kesampaian.

Peristiwa orang Sunda di Bubat itu (Pasundan Bubat), usai terjadi sebelum tengah hari. Semua orang Sunda, yang datang di Bubat, binasa, tidak seorangpun yang tersisa.

Ketika perang di palagan Bubat berlangsung, yaitu pada hari Selasa Wage tanggal 4 September 1357 Masehi, putra mahkota Sang Niskala Wastu Kancana, baru berusia 9 tahun. Oleh karena itu, pemerintahan Kerajaan Sunda, untuk sementara dipegang oleh Mangkubumi (Sang Bunisora), dengan nama nobat: Prabu Guru Pangadiparamarta Jayadewabrata.

Dalam menjalankan pemerintahan, Sang Bunisora, cenderung sebagai raja pendeta, yang diwarnai suasana religius. Dalam naskah Carita Parahiyangan, Sang Bunisora, disebut sebagai Satmata. la dikenal pula dengan gelar Sang Bataraguru di Jampang.

Lihat juga versi videonya...



Menurut naskah Kropak 630 (Sanghyang Siksa Kandang Karesian), tingkat batin manusia dalam keagamaan (Sunda) adalah: acara, adigama, gurugama, tuhagama, satmata, suraloka, dan nirawerah. Satmata adalah tingkatan ke 5, merupakan tahap tertinggi, bagi seseorang yang masih ingin mencampuri urusan duniawi. Setelah mencapai tingkat ke-6 (Suraloka), orang sudah sinis terhadap kehidupan umum. Pada tingkatan ke 7 (Nirawerah), padamlah segala hasrat dan nafsu, seluruh hidupnya pasrah kepada Hiyang Batara Tunggal (Tuhan Yang Esa).



Bila kita menilik naskah Carita Parahyangan, Maharaja Linggabuana tidak disebutkan namanya. Hanya disebut Prebu Maharaja. Berikut kutipannya:

Manak deui Prebu Maharaja, lawasniya ratu tujuh tahun, kena kabawa ku kalawisaya, kabancana ku seuweu dimanten, ngaran Tohaan. Mundut agung dipipanumbasna.

Punya anak, Prebu Maharaja, Lamanya menjadi ratu tujuh tahun, karena kena musibah, terbawa celaka oleh anaknya. Namanya Tohaan (Sebutan untuk Raja Sunda), meminta syarat yang besar.

Urang réya sangkan nu angkat ka Jawa, mumul nu lakian di Sunda. Pan prangrang di Majapahit.

Orang banyak berangkat ke Jawa, karena tidak mau punya suami di Sunda. Terjadilah perang di Majapahit. Dalam naskah Carita Parahyangan, tidak disebut "Perang Bubat" tetapi perang di Majapahit saja. Lalu darimana sumber naskah Perang Bubat? Sumbernya adalah dari Kidung Sunda.

Sumber lain yang patut dicatat ialah naskah Bujangga Manik. Bujangga Manik adalah seorang agamawan Sunda yang melakukan perjalanan keliling Pulau Jawa di akhir abad ke-15 sampai awal abad ke-16. Sejauh ini diketahui, naskah tertua ditulis di atas daun palem dan tersimpan di perpustakaan Bodley (The Bodleian Library) di Universitas Oxford sejak 1627 atau 1629. Bujangga Manik menulis bahwa ia melwati Bubat dalam perjalanannya. Sayangnya tidak memberikan penjelasan apapun mengenai Bubat. Hipotesanya bahwa Peristiwa Bubat memang tidak pernah terjadi atau Bujangga Manik tidak ingin menuliskan peristiwa politik karena ia seorang Pendeta Sunda yang tidak mencampuri urusan politik.

Menurut arkeolog lulusan Uiversitas Indonesia, Dr. Agus Aris Munandar, umumnya cerita tentang Perang Bubat yang mengilhami para penulis fiksi sejarah, bersumber dari buku Kidung Sunda. Akan tetapi, salah seorang pengarang yang paling banyak menulis fiksi berdasarkan peristiwa dalam sejarah Sunda, Yoseph Iskandar, termasuk novelnya mengenai Perang Bubat, menyebut sumbernya berdasarkan naskah “Pangeran Wangsakerta”.

Ketika berlangsung “Dialog Budaya Sekitar Perang Bubat” di Pusat Informasi Majapahit, Trowulan, Jawa Timur, tanggal 30 September lalu, Dr. Agus Aris Munandar menyampaikan tafsir baru mengenai Perang Bubat. Menurut Agus, rencana pernikahan Hayam Wuruk dengan Pitaloka bukanlah atas prakarsa Ratu Sepuh Tribhuwanatunggadewi. Pernikahan itu justru telah direncanakan Gajah Mada dengan Prabu Maharaja Linggabuwana. Gajah Mada menginginkan pernikahan itu, sebab niatnya untuk mempersatukan Sunda dengan Majapahit akan terwujud tanpa harus melalui peperangan. Hal yang sama juga diharapkan oleh Maharaja Linggabuwana karena pernikahan itu akan membuat wilayah Kerajaan Sunda semakin luas.

Lalu kenapa Gajah Mada berkhianat? Inilah yang dianggap sebagai tafsir baru Agus. Ternyata tanpa sepengetahuan Gajah Mada dan Hayam Wuruk, diam-diam orang tua Hayam Wuruk (Cakradara/ Tribhuwanatunggadewi) telah menjodohkan Hayam Wuruk dengan Padukasori, putri Kudamerta/Rajadewi Maharasasa. Rajadewi adalah adik Tribhuwanatunggadewi. Kudamerta yang mendengar Gajah Mada telah melamar Pitaloka sebagai permaisuri Hayam Wuruk, berhasil memengaruhi Ratu Sepuh Tribhuwanatunggadewi untuk menggagalkan pernikahan tersebut. Gajah Mada terpaksa mengikuti kemauan orang tua Hayam Wuruk, mengubah posisi Pitaloka yang tadinya sebagai permaisuri, menjadi selir. Sikap Gajah Mada tersebut dirasakan Maharaja Linggabuwana sebagai penghinaan padahal Gajah Mada sendiri merasa sedih harus berbuat seperti itu. Maharaja memilih untuk berperang daripada menyerahkan putrinya sebagai selir. Maka terjadilah Perang Bubat. Akibatnya, menurut Agus, “Gajah Mada disalahkan oleh sejarah”.

Dalam Dialog Budaya di Trowulan, saya mempertanyakan tentang sebutan Perang Bubat, karena ada yang berpendapat, yang terjadi di Bubat itu bukanlah perang, tetapi lebih layak disebut pembantaian terhadap Raja Sunda bersama pengawalnya – sebab jumlah pasukan Gajah Mada dan pengawal Raja Sunda tidak berimbang. Akan tetapi menurut Agus, dalam semua naskah kuno, selalu disebut adanya Pabubat atau Perang Bubat. Sementara itu, wartawan senior Her Suganda lebih suka menyebutnya sebagai “Peristiwa Bubat”.

Dalam “Dialog Budaya Sekitar Perang Bubat” yang berlangsung tanggal 21 Oktober di Hotel Preanger, Agus menyampaikan tafsir barunya itu di hadapan sejumlah tokoh Sunda. Reaksinya, ada yang bisa mendengarkan dan memahami tafsir baru tersebut, tetapi ada juga yang tetap meyakini Gajah Mada sebagai tokoh yang telah berkhianat, dengan segala kelicikannya untuk menaklukkan Sunda.

Referensi

  1. Atja. 1968. "Carita Parahiyangan: Naskah Titilar Karuhun Urang Sunda". Bandung,  Jajasan Kebudajaan Nusalarang.
  2. Djatisunda, Anis. 2008. "Fenomena Keagamaan Masa Sunda Kuno Menurut Berita Pantun dan Babad". Disampaikan pada Gotra Sawala (Seminar)" Revitalisasi Makna dan Khasanah Situs Sindang Barang ", tgl 20 April 2008 di Kampung Budaya Sindang Barang Kabupaten Bogor. Versi pdf dari sukapura.files.wordpress.com Diakses 20 Mei 2020.
  3. Iskandar, Drs Yoseph. 1997. "Rintisan penelusuran masa silam sejarah Jawa Barat",  Jilid 4, 1983 – 1984. Bandung: Geger Sunten.

Baca Juga

Sponsor