[Historiana] - Oleh Alam Wangsa Ungkara. Jika kita melihat Sejarah perkembangan kata Sunda di dalam kebudayaan Sunda dan tahap-tahap perkembangan sejarahnya, kita akan mengetahui bahwa kata Sunda untuk pertamakalinya digunakan untuk menamai ibukota Kerajaan Tarumanagara yang bernama Sundapura. Tahap selanjutnya ketika Tarumanagara runtuh dan keberlanjutannya diambil alih Tarusbawa sebagai penguasa Kerajaan Sunda Sembawa dan kemudian legitimasinya ditolak oleh Wretikendayun dari Kerajaan Galuh (dengan bantuan Kerajaan Kalingga sebagai Sekutunya); maka Sunda telah berkembang menjadi bekas wilayah Tarumanagara selain dari Galuh dengan tapal batas aliran sungai Ci Tarum. Dapat diduga, Sunda Sembawa adalah tahap lanjut dari kota tua yang sama yang semula bernama Sundapura.
Zaman Penyatuan Sunda dan Galuh
Periode penyatuan kerajaan Sunda dan Galuh terjadi pada masa pemerintahan:
- Prabhu Sanjaya Harisdarma 723-732 M (Raja Galuh ke 5 dan Sunda-Galuh ke-2) Sunda Galuh bersatu dan pecah lagi di masa Sang Manarah (Ciung Wanara) 740-784 M
- Prabhu Dharmmakusuma 1157-1175 M Sunda-Galuh bersatu dan terpisah lagi dimasa pemerintahan Dewa Niskala atau Ningrat Kancana 1475-1482 M.
- Sri Baduga Maharaja (1482 – 1521 M) di zaman Pajajaran.bersatu hingga burak (bubar) Sirna ing bhumi di masa pemerintahan Prabu Raga Mulya atau Nusiya Mulya atau Suryakancana.
Pecahnya Sunda Galuh pertama
Dalam tahun 670 M, ia mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Peristiwa ini dijadikan alasan oleh Wretikandayun, mendirikan Kerajaan Galuh (masih keluarga kerajaan Tarumanegara), untuk memisahkan diri dari kekuasaan Tarusbawa.
Dengan dukungan Kerajaan Kalingga di Jawa Tengah, Wretikandayun menuntut kepada Tarusbawa supaya wilayah Tarumanagara dipecah dua. Dukungan ini dapat terjadi karena putera mahkota Galuh bernama Mandiminyak, berjodoh dengan Parwati puteri Maharani Shima dari Kalingga. Dalam posisi lemah dan ingin menghindari perang saudara, Tarusbawa menerima tuntutan Galuh. Di tahun 670 M, wilayah Tarumanagara dipecah menjadi dua kerajaan; yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan Sungai Citarum sebagai batasnya.
Selang 53 tahun yakni pada tahun 723 M hubungan Sunda-Galuh kemudian diselesaikan oleh Sanjaya dimana kemudian kedua wilayah tersebut dipersatukan dalam satu genggaman kekuasaan dirinya. Selain itu, Sanjaya juga menguasai kerajaan Kalingga dan dikenal sebagai penaklukan-penakluk wilayah di luar Pulau Jawa berdasarkan Naskah Sunda Kuno Carita Parahyangan. Sanjaya yang mewarisi sebagian wilayah Kalingga (Bumi Mataram) kemudian mampu menyatukan keseluruhan wilayah Kalingga dalam genggamannya (Bumi Mataram dan Bumi Sambara) melalui pernikahan.
Sanjaya juga mengambil alih Galuh dari kekuasaan Purbasora yang sebelumnya mengambil alih kekuasaan ayah Sanjaya, yakni Sana atau Sena atau Bratasenawa. Melalui pernikahan dengan putri atau cucu perempuan Tarusbawa, Sanjaya juga mendapatkan Sunda. Maka Sunda, Galuh, dan Kalingga telah jatuh dalam pangkuan Sanjaya. Sejak masa tersebut, trah penguasa Sunda dan Kalingga yang kemuduan berubah namanya menjadi Mataram telah bergeser menjadi trah Galuh melalui anak-cucu keturunan Sanjaya.
Selepas kepergian Sanjaya, wilayah kekuasaan Sunda dan Galuh khusus dalam konteks ini mengalami pasang-surut hubungan. Terkadang masing-masing berdiri sebagai unit kerajaan yang terpisah dan terkadang bersatu dalam satu federasi atau konfederasi yang sama yang dipimpin oleh Raja pusat yang sama. Ketika bersama tersebut ibukota konfederasi terkadang berada di provinsi atau negara bagian Sunda dan terkadang di provinsi atau negara bagian Galuh. Tapi satu hal yang pasti, ketika berada dalam naungan konfederasi yang sama keduanya menyepakati berdasarkan adat warisan leluhur berdiri atas nama Sunda.
Sunda telah mengembang maknanya dari ibukota Sundapura, Kadipaten Sunda Sembawa, Kerajaan Sunda, dan Kerajaan Konfederasi Sunda (Sunda-Galuh Bersatu) yang kemudian secara tradisional dikenal juga namanya sebagai Pajajaran. Sunda sebagai aspek Administrasi-Politik yang mencakup Sunda di Barat dan Galuh di Timur tampaknya berkembang juga cita rasanya menjadi suatu kesatuan aspek Geografi, Psikologi, Sosiologi, Antropologi, dan Kultural (Kebudayaan) bahkan ketika konfederasi Sunda-Galuh terkadang terputus; maka identitas sebagai Sunda sudah benar-benar terbentuk.
Meskipun secara Geneologi Sunda (dan Galuh) dan Kalingga, yang kemudian menjadi Mataram, dan kemudian menjadi Vilvatikta atau yang secara tradisional disebut dengan Majapahit masih berasal dari keluarga yang sama pada tingkat elit penguasa atau bangsawannya; namun demikian secara tradisional telah disepakati di antara keduanya Sunda bukan Majapahit dan Majapahit bukan Sunda. Secara Administrasi-Politik keduanya menjadi dua negara yang terpisah dan dipersatukan atas dasar asas kekerabatan dan persekutuan. Pulau Jawa kemudian diadministrrasi secara efektif ke dalam dua unit besar, yakni Sunda dan Majapahit yang kemudian secara etnik berkembang menjadi Sunda dan Jawa.
Sunda menempati Pulau Jawa namun tidak mengambil akar penisbatannya terhadap nama Pulau Jawa. Jawa mengambil penisbatannya kepada nama Pulau Jawa karena kemungkinan dapat dilacak bahwa secara Epigrafi, kata Jawa pertama kali muncul dalam Prasasti Canggal yang dibuat oleh Sanjaya itu sendiri di Gunung Wukir (Desa Kadiluwih, Kecamatan Salem, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah). Dan Sanjaya meskipun telah menjadi leluhur bagi bangsawan Sunda (Sunda dan Galuh), namun demikian secara Psikologis dan Kultural lebih cenderung dimiliki oleh tradisi Jawa.
Pecahnya Sunda-Galuh Kedua
Penyatuan Kerajaan Sunda-Galuh oleh Sanjaya pada tahun 723 M tidak berlangsung lama. Sebagai wakil pemerintahan Sanjaya di Sunda-Galuh ditempatkan putranya yaitu Tamperan Barmawijaya atau dikenal pula Raja Bondan. Akibat skandal Tamperan dengan Dewi Pangrenyep, hingga melahirkan Rahyang Banga, maka terjadi ketegangan. Tamperan saat itu sebagai raja Sunda-Galuh yang kemudian terbunuh akibat dihujani anak panah oleh pasukan Galuh ketika ia melarikan diri menuju Kerajaan Medang (Mataram Kuno/Hindu) pada tahun 739 M. Akibatnya Sanjaya murka dan menyerang Galuh (yang saat itu sebagai ibukota Kerajaan Sunda-Galuh). Terjadilah perang 3 Kerajaan yaitu Sunda-Galuh-Kalingga. Perang itu disebut perang besar yang disebut Gotrayudha. Namun, setelah para pendeta turun gunung, perang tersebut dapat dihentikan dan dibuat perjanjian perdamaian.
Perjanjian pasca perang Gotrayudha ini, menetapkan Sang Manarah (Ciung Wanara) sebagai Raja Galuh dan Banga (Rahyang Banga) sebagai Raja Sunda. Sanjaya sendiri memerintah di Kalingga dan kemudian kita mengenalnya menjadi Kerajaan Medang di bumi Mataram. Inilah pecahnya kerajaan Sunda-Galuh periode kedua dalam kronologi sejarah Sunda.
Penyatuan kerajaan Sunda-Galuh kedua terjadi pada masa pemerintahan Maharaja Dharmakusumah pada tahun 1157 Masehi. Rupanya rentang waktu pecahnya kerajaan Sunda-Galuh cukup lama yaitu selama 418 tahun. Terdapat raja-raja yang berkuasa silih berganti selama terpisahnya Kerajaan Sunda-Galuh. Di Kerajaan Sunda, terdapat 20 raja yang naik tahta sejak Rahyang Banga hingga Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur (1155 - 1157). Sedangkan di Galuh, terdapat 14 raja berkuasa sejak Raja Manarah (Ciung Wanara) hingga Bhatari Hyang Janawati/janapati (1033-1074 S atau 1111-1153 M) sebagai ratu Galuh dengan ibukota Galunggung. Baru di masa pemerintahan Prabhu Dharmmakusuma 1157 M kerajaan Sunda-Galuh dipersatukan kembali. Maharaja Galuh dan Sunda Prabhu Dharmmakusuma diperabukan di Winduraja pada tahun 1175 M dan dikenal sebagai Sang Mokténg Winduraja.
Pecahnya Sunda-Galuh ketiga
Penyatuan Kerajaan Sunda-Galuh berlangsung sejak Prabhu Dharmmakusuma (1157 M) hingga Maharaja Niskala Wastukancana putra Linggabuanawisesa (1371-1475). Hanya 10 orang raja yang bertahta selama bersatunya Kerajaan Sunda-Galuh kedua kalinya. Keputusan pembagian kerajaan menjadi 2 yaitu Kerajaan Sunda dan kerajaan Galuh tidak diketahui sebab-sebab politisnya. Dari perkawinan Maharaja Niskala Wastukancana dengan putri Lampung Lara Sarkati berputra Sang Haliwungan yang kemudian bergelar Susuktunggal. Dari pernikahannya dengan Mayangsari putri Mangkubumi Bunisora Suradipati (pamannya) berputra 4 orang yakni: Ningrat Kancana atau Prabu Dewa Niskala, Surawijaya, Gedeng Sindangkasih, dan Gedeng Tapa. Mungkin ada faktor politik yang belum diketahui sehingga kerajaan harus dibagi dua.
Pada tahun 1478 M, Sang Haliwungan naik tahta sebagai Raja Sunda bergelar Prabu Susuktunggal (1475-1482) dan Ningratkancana naik tahta sebagai raja Galuh dengan gelar Prabu Dewa Niskala (1475-1482). Antara Prabu Susuktunggal dan Prabu Dewa Niskala dalam kedudukan sederajat.
Terpisahnya Kerajaan Sunda dan galuh ini tidak berlangsung lama. Akibat perselisihan antara prabu Susuktunggal dan Prabu Dewa Niskala maka atas saran dari para Pendeta Sunda, mereka secara bersamaan turun tahta pada tahun 1482. Hanya 4 tahun kedua kerajaan terpisah. Kekuasaan raja Galuh diserahkan kepada Jayadéwata Sri Baduga Maharaja putra Dewa Niskala. Kemudian putri Prabu Susuktunggal yaitu Sakyan (gelar putri raja menurut naskah Cariosan Prabu Siliwangi) dinikahkah dengan Jayadewata. Secara otomatis, keduan kerajaan itu berada pada satu tangan yaitu di tangan Jayadéwata Sri Baduga Maharaja yang memerintah sejak 1482 hingga 1521 M.
Terdapat 5 raja Sunda-Galuh pasca Jayadewata Sri Baduga Maharaja yang kemudian dikenal sebagai Kerajaan Pajajaran yaitu:
- Prabu Surawisésa (1521-1535)
- Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543)
- Prabu Sakti (1543-1551)
- Prabu Nilakéndra (1551-1567)
- Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579)
Selanjutnya Pajajaran Burak atau hancur sirna in bhumi pada pemerintahan raja Sunda Pajajaran terakhir Prabu Surawisésa (1521-1535) Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana pada tahun 1579 M.
Referensi
- Bakker, J. W. M. 1972. "Ilmu Prasasti Indonesia". Jogjakarta: Jurusan Sejarah Budaya IKIP Sanata Dharma.
- Barrett Jones, Antoinette M.. 1984. "Early Tenth Century Java from the Inscriptions". Dordrecht: Foris Publication Holland.
- Boechari. 1977. “Epigrafi dan Sejarah Indonesia” dalam Majalah Arkeologi 1 (2) Tahun 1977 hal. 1-40.
- _______. 1985/1986. "Prasasti Koleksi Museum Nasional Jilid I". Jakarta: Museum Nasional.
- _______. 2012. "Melacak Sejarah Kuno Indonesia lewat Prasasti". Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
- De Casparis, J. G. 1950. Prasasti Indonesia I: Inscripties uit de Çailendra-tijd. Bandung: A. C. Nix.
- _______________. 1956. Prasasti Indonesia II. Bandung: Masa Baru.
- _______________. 1975. Indonesian Palaeography. Leiden: E. J. Brill.
- _______________. 1978. Indonesian Chronology. Leiden/Köln: E. J. Brill
- Deetz, James. 1967. "Invitation to Archaeology". New York: The Natural History Press.
- Eade, J. C. dan Lars Gislén. 2000. Early Javanese Inscription: A New Dating Method. Leiden: Koninklijke Brill.
- Kusen. 1994. "Raja-raja Mataram Kuno dari Sanjaya sampai Balitung, sebuah rekonstruksi berdasarkan Prasasti Wanua Tengah III," Berkala Arkeologi, Tahun XIV, Edisi Khusus, 1994.
- Kusumawardhana. Gelar Taufiq. 2020. "(II) Menengok Kata Jati dalam Kamus Umum Bahasa Sanskrit" varmaninstitute.com September 16, 2020 Diakses 15 Maret 2021.
- Sarkar, H.B. 1971. Corpus of the Inscriptions of Java (Corpus Inscriptionum Javanicarum) (up to 928 A.D.), vol. I. Calcutta: Firma K.L. Mukhopadhay.
- ______________. 1972. Corpus of the Inscriptions of Java (Corpus Inscriptionum Javanicarum) (up to 928 A.D.), vol. II. Calcutta: FirmaFirma K.L. Mukhopadhay.
- Suhadi, Machi. 2003. “Interpretasi Epigrafi” dalam Cakrawala Arkeologi; Persembahan untuk Prof. Dr. Mundardjito hal. 127-134. Depok: Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
- Zoetmulder, P. J. 2006. Kamus Jawa Kuna – Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.