Menurut Katalogus Kitab Babad (1973: 71), naskah ini berisi teks prosa tentang 'silsilah, dimulai dari Nabi Adam berputera turun temurun sampai Ratu Sedalarang. Ratu Sedalarang berputera Prabu Cakradewa, Prabu Cakradewa berputera Ratu Sedawati. Ratu Sedawati berputera Adipati di Kuningan.'
Awal teks :
Punika puwening jagat, kang gumelar tek kala durung,...
Akhir teks:
Cakra dewa puputra ratu sedhadati puputra,
Penomoran halaman asli, berangka Arab 1-19. Nomor halaman i-ii tambahan orang lain. Tulisan naskah masih jelas terbaca. Prosa 17 baris/hlm. Naskah diperoleh di Batavia (h.i), tetapi sekarang tidak diketahui. Judul naskah yang ada berupa catatan peneliti Belanda, berbunyi Sadjarah von West-Java; diberi judul baru berbahasa Jawa, Sajarahing Pasundan.
Pengaitan silsilah yang sampai jauh hingga nabi Adam AS merupakan fenomena umum di masa pengaruh Mataram Islam di tanah Pasundan. Meskipun sulit dibuktikan, tentu hal ini terkait dengan keyakinan keagamaan. Jika di zaman klasik Hindu-Buddha, para penguasa mengaitkannya dengan para dewa, sedangkan di zaman Islam, pengaitan ke nabi-nabi.
Rupanya naskah ini dapat digunakan sebagai pelengkap Babad Panjalu (BP). Babad Panjalu merupakan salah satu karya sastra kuno yang mengandung unsur sajarah yang ditulis oleh Prajadinata, koleksi C.M. Pleyte (peti 121). BP sudah diterbitkan oleh Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Jakarta. Sesuai dengan namanya, BP berasal dari daerah Panjalu, kabupaten Ciamis (priangan). Melihat berasal dari priangan, dengan demikian BP memiliki ciri historiografi priangan yaitu berisikan silsilah raja-raja atau para bupati.
Babad Panjalu memulai tokoh dari Prabu Borosngora. Sedangkan Naskah Sajarahing Pasundan silsilah sejak Nabi Adam hingga ketemu tokoh yang beririsan dengan babad Panjalu yaitu Prabu Borosngora putra Prabu Cakradewa.
Struktur cerita yang ada dalam BP mencakup tema, fakta carita (galur, pelaku dan watak, dan latar), dan sarana sastra. Tema suatu cerita tidak dapat diceritakan secara langsung tetapi secara implisit melalui isi cerita secara utuh. Akan tetapi tema dalam BP secara langsung sudah dapat diketahui dari penamaan cerita menggunakan nama babad. Dengan adanya inisial babad, umumnya cerita langsung terpusat pada cerita sejarah masa lalu. Begitu juga tema yang terdapat dalam BP yaitu tema sejarah. Di samping tema sejarah sebagai tema pokok, diketemukan juga subtema pendidikan. Subtema pendidikan terdapat pada pelaku bupati Panjalu dalam usaha mendidik para putranya agar menjadi manusia yang baik sehingga selamat di dunia dan ahirat.
Mengenai alur atau jalan cerita yang terdapat dalam BP menggunakan alur maju "mérélé". Hal tersebut dapat dilihat pada episode II samapai dengan episode XXV. Sedangkan episode I dan episode XXVI merupakan permohonan maaf pengarang atas apa yang ditulisnya kepada pembaca. Alur dimulai dengan menceritakan pemerintahan Prabu Borosngora (bupati ke-1). Prabu Borosngora memerintah sebagai bupati Panjalu. Selanjutnya Prabu Borosngora sekeluarga pindah ke Jampang (épisode II nepi ka IV).
Radén Arya Kuning (bupati ke-2) memerintah jadi bupati Panjalu menggantikan orang tuanya. Terjadi perselisihan antara kakak beradik (épisode V nepi ka VII). Perselisihan dapat didamaikan setelah Raden Kampuh Jaya sebagai perwakilan Prabu Borosngora datang ke Panjalu. R. Kampuh Jaya menyelesaikan perseteruan kakak beradik dengan arif dan bijaksana. Putra yang unggul dalam perkelahian itu dijadikan bupati di Panjalu, yaitu R.A. Kancana. Selanjutnya R.A. Kuning dibawa ke Jampang oleh R. Kampuh Jaya (épisode VIII).
Pemerintahan Panjalu dipegang oleh R. Arya Kancana (bupati ke-3) yang terdapat pada episode IX. Sebagai patihnya yaitu Raden Kampuh Jaya yang berganti nama menjadi R. Guru Haji (episode X dan XII). Pada masa pemerintahan R. Arya Kancana, daerah Panjalu semakin makmur dan sejahtera. Selama memerintah, R. Arya Kancana memiliki banyak anak, salah seorangnya bernama Sanghyang Teko. Raden Arya Kancana pensiun dari jabatannya dan digantikan oleh putranya yang pertama, Sanghyang Teko (episode XIII).
Alur selanjutnya, pemerintahan Sanghyang Teko (bupati ke-4). Sanghyang Teko memiliki dua orang putra, Raden Dulang Kancana dan Raden Kadaliru. Dikarenakan Sanghyang Teko wafat, pemerintahan dilanjutkan oleh putranya yang pertama, R. Dulang Kancana (episode XIV).
Raden Dulang Kancana (bupati ke-5) memerintah di Panjalu menggantikan orang tuanya. Raden Dulang Kancana tidak lama menjabat sebagai bupati Panjalu dikarenakan meninggal. Selama memerintah R. Dulang Kancana tidak diceritakan memiliki putra. Dengan demikian pemerintahan dilanjutkan oleh adiknya, Raden Kadaliru (episode XV). Raden Kadaliru (bupati ke-6) memiliki putra Raden Martabaya. Dikisahkan Raden Kadaliru wafat, lalu jabatan bupati Panjalu dilanjutkan oleh anaknya, Raden Martabaya (episode XVI).
Raden Martabaya (bupati ke-7) menjabat bupati Panjalu menggantikan orang tuanya, Raden Kadaliru. Raden Martabaya memiliki putra yang bernama Raden Arya Natibaya. Dikarenakan Raden Martabaya wafat, pemerintahan dilanjutkan oleh putranya, Raden Arya Natibaya (episode XVII).
Raden Arya Natibaya (bupati ke-8) sebagai bupati Panjalu melanjutkan orang tuanya. Raden Arya Natibaya mempunyai dua orang putra, Dalem Sumalah dan Radén Arya Sacanata. Dikarenakan Raden Arya Natibaya wafat, pemerintahan dijabat oleh anaknya yang pertama, Dalem Sumalah (episode XVIII). Dalem Sumalah (bupati ke-9) mempunyai putra yang masih kecil, Raden Wirabaya. Pemerintahan Dalem Sumalah tidak begitu lama dikarenakan meninggal dunia. Selanjutnya pemerintahan dijabat oleh adiknya Dalem Sumalah, Raden Arya Sacanata (episode XIX).
Raden Arya Sacanata (bupati ke-10) pada saat menjabat bupati Panjalu terbilang sudah agak tua "sepuh". Raden Arya Sacanata memiliki anak yang masih kecil, Raden Wiradipa. Karena sudah merasa tua, pemerintahan diserahkan kepada anak kakanya, Raden Wirabaya (putra Dalem Sumalah). Pada episode XX dijelaskan bahwa Raden Wiradipa, putranya Raden Arya Sacanata dipelihara oleh Raden Wirabaya yang menjabat bupati saat itu.
Raden Wirabaya (bupati ke-11) menjabat bupati Panjalu menggantikan Raden Arya Sacanata, pamannya. Raden Wirabaya mempunyai anak yang bernama Raden Wirapraja. Raden Wirabaya wafat, jabatan bupati dilanjutkan oleh anaknya, Raden Wirapraja (episode XXI).
Raden Wirapraja (bupati ke-12) menggantikan ayahnya menjadi bupati Panjalu. Selama menjadi bupati Raden Wirapraja tidak diceritakan mempunyai anak. Cerita diseling dengan mengisahkan putranya Raden Arya Sacanata, Raden Wiradipa. Raden Wiradipa memiliki anak yang bernama Raden Cakranagara. Sebelum Raden Wirapraja selesai menjabat bupati, dia meninggal dunia. Selanjutnya pemerintahan diteruskan oleh saudaranya, Raden Cakranagara (episode XXII).
Raden Cakranagara (bupati ke-13) sebagai bupati Panjalu menggantikan Raden Wirapraja. Raden Cakranagara memiliki putra yang bernama Raden Cakranagara "kapindo" (Raden Cakranagara II). Raden Cakranagara wafat, jabatan bupati dilanjutkan oleh putranya, Raden Cakranagara II (episode XXIII).
Raden Cakranagara II (bupati ke-14) menjabat bupati Panjalu menggantikan orang tuanya, Raden Cakranagara. Raden Cakranagara II rajin mencari ilmu khususnya ilmu agama sampai ke Cirebon. Raden Cakranagara II mempunyai istri kemenakanya Sultan Cirebon yang bernama Raden Salengga Anom. Dari pernikahannya, Raden Cakranagara II memiliki anak yang bernama Raden Barsalam. Raden Cakranagara II wafat, jabatan bupati dilanjutkan oleh putranya, Radén Barsalam. Selanjutnya Raden Baralam berganti nama menjadi Raden Cakranagara Anom (episode XXIV).
Raden Cakranagara Anom (bupati ke-15) merupakan bupati Panjalu yang terakhir, dikarenakan beliau dipensiunkan pada tahun 1819 M oleh Sultan Cirebon. Raden Cakranagara Anom menjabat bupati Panjalu selama 33 tahun. Pada akhir pemerinahan Raden Cakranagara Anom, Kabupaten Panjalu berubah menjadi kawedanaan serta disatukan kepada Kabupaten Galuh (episode XXV).
![]() |
Kawih Pangeuyeukan: Tenun dalam Puisi Sunda Kuna dan Teks-teks Lainnya yang memuat SIlsilah Panjalu |
Sementara itu, dalam "Kawih Pangeuyeukan: Tenun dalam Puisi Sunda Kuna dan Teks-teks Lainnya" yang disunting oleh Mamat Ruhimat, Aditia Gunawan, Tien Wartini (2014) terdapat silsilah Panjalu. Buku ini menyajikan edisi teks yang berasal dari dua naskah koleksi Perpustakaan Nasional bernomor 407 dan 1101, masing-masing merupakan urutan lempir saat disalin sama dengan urutannya sekarang. Naskah ini terdiri dari lima teks yang berbeda, tetapi, melihat gaya tulisannya, kemungkinan besar kelimanya ditulis oleh tangan yang sama. Fisik naskah masih baik dan terawat.
Bataviaasch Genootschap mengakuisisi naskah ini pada bulan September tahun 1866 dari R.A.A. Kusumahdiningrat, Bupati Galuh (sekarang Ciamis) yang menjabat pada kurun waktu 1839-1886, bersama sekitar duapuluhan naskah Sunda lain berbahan daun lontar, bambu, dan daluang. Naskah daun
lontar dan bambu saat ini tersimpan dengan nomor 406-426, sedangkan naskah daluang bernomor KBG 73-76.4 Menarik untuk dicatat bahwa salah satu teks di antaranya mengandung Silsilah Panjalu. Panjalu termasuk dalam wilayah Galuh pada waktu bupati R.A.A. Kusumahdiningrat menjabat.
Naskah 1101 tersimpan di Perpustakaan Nasional dalam sebuah laci bernomor 68. Naskah sudah dideskripsikan sebelumnya oleh Behrend (1998:369) dan lebih mutakhir oleh Munawar Holil dan Aditia Gunawan (2010:144). Naskah ditulis pada lempiran lontar yang berukuran 19,5 cm x 2,7 cm, terbungkus kotak kayu (kropak) berwarna hitam.
Diduga berasal dari abad ke-15. Menurut de Casparis, jenis aksara ini mungkin merupakan perkembangan langsung dari Kawi awal (de Casparis 1975:56).
![]() |
R.A.A. Kusumahdiningrat, Bupati Ciamis yang menyerahkan puluhan naskah ke Bataviaasch Genootschap pada tahun 1866 (dilukis oleh R. Koesoemadibrata tahun 1879, dok. Tropenmuseum No. A-5752) |
SILSILAH PANJALU
Punika hanak putu Ratu Pajajaran.Putra Prebu Siliwangi
tumiba hing Panjalu.
- Susuhunan Reuntas Kikis,
- puputra Daleum Ageung.
- Daleum Ageung puputra Wisagati,
- Wisagati puputra Singagati,
- Singagati puputra Singakreti,
- Singakreti puputra Hisa Déwata,
- Hisa Déwata puputra Borosngora,
- Borosngora puputra Ariya Wiranata,
- Ariya Wiranata puputra Ariya Wiraba/ya, /26r/
- Ariya Wirabaya puputra Dipanata,
- Dipanata puputra Wirabaya.
Berdasarkan naskah Lontar di atas (1101), nampak berbeda dengan naskah Babad Panjalu. Dalam naskah lontar ini, Borosngora putra Hisa Dewata. Sementara dalam babad Panjalu, Borosngora putra Prabu Cakradewa. Apakah Hisa Dewata sama dengan Cakradewa?
Lihat juga versi videonya...
Sanghyang Borosngora dan Hyang Bunisora Suradipati
Hyang Bunisora Suradipati adalah adik Maharaja Sunda yang bernama Maharaja Linggabuana. Sang Maharaja terkenal sebagai Prabu Wangi yang gugur sebagai pahlawan di palagan Bubat melawan tentara Majapahit pada tahun 1357. Ketika peristiwa memilukan itu terjadi puteranya yang bernama Niskala Wastu Kancana baru berusia 9 tahun, untuk itu Hyang Bunisora menjabat sebagai Mangkubumi Suradipati (Patih Kerajaan) mewakili keponakannya itu atas tahta Kawali .
Hyang Bunisora juga dikenal sebagai Prabu Kuda Lelean dan Batara Guru di Jampang karena menjadi seorang petapa atau resi yang mumpuni di Jampang (Sukabumi). Nama Hyang Bunisora yang mirip dengan Sanghyang Borosngora dan gelarnya sebagai Batara Guru di Jampang menyiratkan adanya keterkaitan antara kedua tokoh ini, meskipun belum bisa dipastikan apakah kedua tokoh ini adalah orang yang sama. Jika ternyata kedua tokoh ini adalah orang yang sama, pastinya akan membuka salah satu lembar yang tersembunyi dari Sejarah Sunda.
Hyang Bunisora atau Mangkubumi Suradipati menikah dengan Dewi Laksmiwati dan menurunkan 4 (empat) anak (Djadja Sukardja,2007):
- Giri Dewata (Gedeng Kasmaya) di Cirebon Girang menikahi Ratna Kirana puteri Ratu Cirebon Girang, di lereng Gunung Ciremai.
- Bratalegawa (Haji baharudin/Haji Purwa) menikahi puteri Gujarat.
- Ratu Banawati.
- Ratu Mayangsari yang diperisteri Niskala Wastu Kancana.
Hyang Bunisora dikabarkan dimakamkan di Geger Omas, diperkirakan lokasi Geger Omas sekarang adalah Desa Ciomas (Panjalu Ciamis), di desa tersebut terdapat situs makam yang dikenal sebagai makam Dalem Penghulu Gusti dan Dalem Mangkubumi (Djadja Sukardja, 2007: 29-30).
Bila merujuk Naskah Carita Parahyangan, Sanghyang Bunisora Suradipati silsilahnya sama dengan di atas (Djadja Sukardja,2007). Bunisora putra Aki Kolot (Prabu Ragamulya Luhur Prabawa) putra Prabu Ajiguna Linggawisesa Sang Mokteng Kiding. Artinya Bunisora dan Linggabuana kakakberadik. Sementara itu Borosngora bersilsilah ke atasnya ke kabataraan (Tahta Suci) Panjalu. Dalam Babad Panjalu, Ayah Borosngora adalah Cakradewa, sedangkan menurut Naskah Kropak 1101 (bagian dari Kawih Pangeuyeukan) ayah Borosngora bernama Hisa Dewata. Pun demikian, putra-putri Borosngora berbeda dengan putra-putri Bunisora. Sulit bila kita menganggap bahwa Binsora sama dengan Borosngora.
Kontroversi Borosngora - Sanghyang Borosngora dan Baginda Ali RA
Legenda pertemuan antara Sanghyang Borosngora dengan Baginda Ali R.A. ini sampai sekarang masih kontroversial mengingat keduanya hidup di zaman yang berbeda. Sayidina Ali hidup pada abad ke-7 M (tahun 600-an) sedangkan pada periode masa itu di tatar Sunda tengah berdiri Kerajaan Tarumanagara dan nama Panjalu belum disebut-sebut dalam sejarah. Legenda pertemuan Sanghyang Borosngora dengan Baginda ALi mirip dengan kisah Legenda Kian Santang bertemu Baginda Ali. Perbedaannya pada "benda yang tak mampu dicabut" yaitu tongkat pada legenda Kian Santang, dan 'Pena pada legenda Borosngora".
Petilasan/Pusara
Mengutip Aam Masduki (2014) dalam "Tempat-tempat keramat di Kecamatan Panjalu Kabupaten Ciamis". Jurnal Patanjala Vol. 6 No. 3, (2014) - Balai Pelestarian Nilai Budaya Bandung, inilah daftar Para Batara, Raja, Bupati dan Demang Panjalu beserta Pusara/Petilasannya:
- Batara Tesnajati di Karantenan Gunung Sawal.
- Batara Layah di Karantenan Gunung Sawal.
- Batara Karimun Putih di Pasir Kaputihan Gunung Sawal.
- Prabu Sanghyang Rangga Gumilang atau Sanghyang Rangga Sakti di Cipanjalu, Desa Maparah, Panjalu.
- Prabu Sanghyang Lembu Sampulur I di Cipanjalu, Desa Maparah, Panjalu.
- Prabu Sanghyang Cakradewa di Cipanjalu, Desa Maparah, Panjalu.
- Prabu Sanghyang Lembu Sampulur II di Cimalaka Gunung Tampomas, Sumedang.
- Prabu Sanghyang Borosngora (adik Sanghyang Lembu Sampulur II) di Jampang Manggung, Sukabumi. Prabu Rahyang Kuning di Kapunduhan Cibungur, Desa Kertamandala Panjalu.
- Prabu Rahyang Kancana (adik Prabu Rahyang Kuning) di Nusa Larang, Situ Lengkong Panjalu.
- Prabu Rahyang Kuluk Kukunangteko di Cilanglung Desa Simpar, Panjalu.
- Prabu Rahyang Kanjut Kadali Kancana di Sareupeun, Desa Hujungtiwu, Panjalu.
- Prabu Rahyang Kadacayut Martabaya di Hujung Winangun, Situ Lengkong Panjalu.
- Prabu Rahyang Kunang Natabaya di Ciramping, Desa Simpar, Panjalu.
- Raden Arya Sumalah di Buninagara, Desa Simpar, Panjalu.
- Pangeran Arya Sacanata (adik R. Arya Sumalah) di Nombo Dayeuhluhur, Kabupaten Cilacap Jawa Tengah.
- Raden Arya Wirabaya (anak R. Arya Sumalah) di Cilamping, Panjalu.
- Raden Tumenggung Wirapraja (anak R. Arya Wirabaya) di Kebon Alas Warudoyong, Panumbangan Ciamis.
- Raden Tumenggung Cakranagara I (anak R. Arya Wiradipa bin Pangeran Arya Sacanata) di Cinagara, Panjalu.
- Raden Tumenggung Cakranagara II di Puspaligar, Panjalu.
- Raden Tumenggung Cakranagara III di Nusa Larang, Situ Lengkong Panjalu.
Catatan:
Mengenai babad, Poerwadarminta (1985:70) menjelaskan bahwa babad sama dengan riwayat, sejarah, atau tambo. Di samping itu, Salmoen (1963:102-103) memasukan cerita babad kepada anak golongan sejarah. Hal itu dikarenakan ada kesamaan berdasarkan kepada unsur sejarah. Akan tetapi, bila dilihat dari segi sejarah dan sastra, babad tetap merupakan karya sastra (Ekadjati, 1982:2).
Adapun yang beranggapan menyamakan babad dengan sejarah karena babad merupakan sejarah masa lampau pada jamannya. Bahkan ada keterangan bahwa babad umurnya lebih tua dari sejarah (sejarah modern).
Ketidakmurnian unsur sejarah dalam cerita babad dipengaruhi oleh berbagai faktor di antaranya: pengarang, lingkungan, dan tujuan yang ingin dicapai. Faktor pengarang dalam menulis cerita babad sangatlah penting. Keterlibatan pengarang dalam penulisan cerita babad dijelaskan oleh Sumardjo & Saini KM (1994:24) bahwa walaupun karya sejarah berdasarkan pada beberapa sumber fakta, tapi dalam penyampaiannya tidak lepas dari unsur hayali (imaji) pengarang. Unsur hayali pengarang merupakan salah satu sifat yang ada dalam karya sastra. Hal tersebut dikatakan oleh Ekadjati (1978:1) bahwa:
“Babad menurut pengertian penyusun dan lingkungan masarakatnya dianggap sebangsa sejarah, yaitu tentang masa lampau mereka atau leluhur mereka. Namun demikian kegiatan penyusunan babad tak dapat dilepaskan dari kegiatan penciptaan sastra. Dan babad itu sendiri bila ditinjau dari sudut sastra merupakan karya sastra.”
Karya sastra golongan babad (Babad Panjalu) merupakan karya sastra klasik yang mengandung nilai kearifan lokal yang tinggi. Diperlukan penelitian yang lebih komprehensif untuk mengungkap berbagai fenomena yang ada di dalamnya. Selanjutnya, hasil penelitian dari perguruan tinggi dicetak menjadi buku agar khalayak bisa mengetahuinya. Sehingga nilai yang terkandung di dalamnya dapat dijadikan sebagai bahan ajar nilai karakter bangsa yang berjati diri yang memiliki kepribadian bangsa yang kuat.
Referensi
- Naskah Sajarahing Pasundan (Sadjarah von West Jawa). Khastara Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. khastara perpusnas.go.id Diakses 23 Maret 2021.
- Ekadjati, Edi S. 1978. Babad (Suatu Karya Sastra Sejarah). Bandung: Lembaga Kebudayaan UNPAD.
- Ekadjati, Edi S., spk. 1985. Naskah Sunda Lama Kelompok Babad. Jakarta: Pusat Pembinaandan Pengembangan Bahasa.
- Iskandarwassid. 2003. Kamus Istilah Sastra. Bandung: Geger Sunten.
- Koswara, Dedi. 2011. Racikan Sastra. Bandung: Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah FPBS UPI.
Satibi, Entoh Toharudin. 2015. "Babad Panjalu: Kajian Struktural, Semiotik, dan Etnopedagogik". Jurnal LOKABASA Vol. 6, No. 1, April 2015. - Masduki, Aam. 2014. "Tempat-tempat keramat di Kecamatan Panjalu Kabupaten Ciamis". Jurnal Patanjala Vol. 6 No. 3, September 2014: 475-488. Balai Pelestarian Nilai Budaya Bandung.
- Poerwadarminta, W.J.S. 1985. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
- Ruhimat, Mamat., Aditia Gunawan, Tien Wartini. 2014. "Kawih Pangeuyeukan: Tenun dalam Puisi Sunda Kuna dan Teks-teks Lainnya". Jakarta; Perpustakaan Nasional RI & Pusat Studi Sunda. academia.edu PDF Diakses 24 Maret 2021.
- Salmoen, M.A. 1963. Kandaga Kasusastraan Sunda. Bandung: Ganaco.
- Sumardjo, Jakob & Saini K.M. 1994. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.