Cari

Sunan Ambu, Betari, Pwahaci dan Aksari dalam Budaya Sunda Kuno


 

[Historiana] -  Oleh Alam Wangsa Ungkara. Keberadaan sosok Dewi dalam ajaran lama sangat membingungkan para sejarawan. Temuan arkeologi menunjukan sebaran sosok penguasa ghaib atau yang disembah pada zaman pra-sejarah adalah sosok perempuan. Padahal dalam masa berburu dan mengumpulkan makanan, dominasi peran laki-laki lebih menonjol.  Begitupula dalam kesejaran Sunda, sosok Dewi penguasa kahiyangan justru perempuan. Baca juga: Agama Sebelum Adam | Ketika Dewa Utama Adalah Perempuan.

“Sangat mengejutkan untuk menyadari betapa sedikit yang telah ditulis tentang dewa-dewa perempuan yang disembah pada periode paling kuno dari eksistensi manusia dan kemudian kita menghadapi kenyataan bahwa bahkan materi yang ada hampir sepenuhnya diabaikan dalam literatur populer dan pendidikan umum. . Sebagian besar informasi dan artefak tentang agama perempuan, yang berkembang selama ribuan tahun sebelum munculnya Yudaisme, Kristen, dan Zaman Klasik Yunani, telah digali dari tanah hanya untuk dikuburkan kembali dalam teks-teks arkeologi yang tidak jelas, dengan hati-hati disimpan jauh di tumpukan perpustakaan universitas dan museum yang dilindungi secara eksklusif. " -Merlin Stone, When God Was a Woman-

Sosok para penguasa yang menempatkan sosok perempuan ada diberbagai budaya di dunia. Perempuan senantiasa dipuja dalam sastra dunia. Ia sosok manusia yang menjadi poros peradaban.

Sunan Ambu

Di dalam budaya Sunda, dikenal sosok ghaib atau Dewi bernama Sunan Ambu. Nama Sunan Ambu dapat ditemukan di cerita-cerita rakyat seperti "Lutung Kasarung" dan "Mundinglaya Dikusumah", yang menjelaskan bahwa penguasa kahyangan adalah sosok perempuan yang memiliki nama Sunan Ambu. Hakikat bahwa yang menjadi penguasa kahyangan adalah perempuan mungkin merupakan manifestasi dari kepercayaan asli Sunda Buhun sebelum masuknya agama-agama patriarki seperti Hindu.

Hingga zaman Hindu di tanah Sunda pun, Sunan Ambu masih memiliki tempat di hati masyarakat Sunda. Ia memiliki wilayahnya sendiri yang berbeda dari tempat tinggal manusia maupun dewa-dewi, yaitu Padang Tengah (kahyangan) dimana ia berkuasa atas para betari, pohaci/pwahaci (bidadari) dan aksari/apsari.

Nama Sunan Ambu barangkali sudah tidak dikenali lagi kalangan muda di tatar Pasundan. Namun bagi orang tua dan generasi muda yang mencintai Budaya Sunda tentu akan mengenal sosoknya. Sunan Ambu dianggap sebagai Ibu dari Budaya Sunda. Keberadaannya untuk memberikan ajaran welas asih kepada sesama.

Sunan Ambu disini adalah bisa juga disebut sebagai Mahadewi yang mengetuai para Batari/Batara dan Pohaci. Sementara Pohaci mengetuai para Aksari. Sunan Ambu merupakan salah satu proyeksi dari mancapat lima pancer. Pusat Mandala Agungnya ada di Sunan Ambu. Sunan Ambu adalah pusat dari empat arah mata angin yang dikepalai lagi oleh Batara atau Bujangga. Baca juga: Sunan Ambu: Dewi Sunda Purba | Menelusuri Sunda Buhun

Betari (Batari)

Definisi Betari atau Batara dalam Kamus Besar bahasa Indonesia (KBBI) adalah: 1 dewi; 2 sebutan untuk dewi. Sementara bila kita menerapkan posisi Dewi sebagai sosok adikodrati yang menjadi "keukeumbing" atau sandaran manusia dalam memohon bantuan sosok yang 'serba lebih' atau Maha, maka Posisi Sunan Ambu tidak bisa disetarakan dengan Dewi. Inilah ciri khas keyakinan Sunda Kuno yang menempatkan Dewa-Dewi berada di bawah posisi "Yang di Agungkan" atau Sunan (Susuhunan) dalam kepercayaan lama. Oleh karena itu, kita akan melihat posisi para Betari berada di bawah Sunan Ambu.

Menurut Naskah Kawih Pangeuyeukan, secara tersirat kita dapat mengetahui bahwa betari adalah "Jabatan" atau "Nu Ngageugeuh di" -Yang bersemayam di... Sementara yang memangku Jabatan itu disebut "Pwahaci". Berikut nama-nama para Beutari (Batari) dalam Naskah Kawih Pangeuyeukan:

  1. Batari Tunjung Bwana,
  2. Beutari /Keuceulan Jati, 
  3. Beutari Aci Hening.
  4. Beutari Cékas Manik,
  5. Beutari Gagana Jati,
  6. Beutari Kéncéngan Jati,
  7. Beutari Lénggang Manik,
  8. Beutari Mabar Sari,
  9. Beutari Mangbang Désa,
  10. Beutari Masangga Jati,
  11. Beutari Mayang Karuna,
  12. Beutari Pamérés Jati,
  13. Beutari Sari Wangi,
  14. Beutari Tandingan Jati,
  15. Beutari Tunjung Biru,
  16. Beutari Tunjung Manik,

Sedang ada nama yang disebut Sanghyang Sri tanpa embel-embel Beutari/batari atau Pwahaci dalam Naskah ini. Disebutkan bahwa Sanghyang Sri (yang kini disebut sebagai Dewi Sri) adalah kakak beradik dengan Pwah Aci Cita Manik (Sang Hyang Sri, duaan sapilanceukan).


Pohaci/Pwahaci 

Dalam kehidupan masyarakat Sunda zaman dahulu, sangat kental dan sangat dekat dengan berbagai nama Pohaci. Pohaci adalah Dewa atau biasa juga disebut sebagai Dewi pelindung setiap perilaku dan kegiatan masyarakat Sunda. Pohaci merupakan Dewi bawahan atau kaki tangan dari Betari (Batari)/Batara atau Bujangga, dan Batara atau Bujangga dikepalai oleh Sunan Ambu.

Naskah Sunda Kuno yang menyebut-nyebut Pohaci antara lain: Sewaka Darma (Kropak 408), Carita Ratu Pakuan (Kropak 410), Kawih Paningkes (Kropak 419), Gambaran Kosmologi Sunda (Kropak 420), Jatiraga (Kropak 422), Darmajati (Kropak 423), dan Sri Ajnyana (Kropak 625).

Dalam Carita Pantun lutung kasarung, Sunan Ambu mengutus empat Batara untuk membantu Purba Sari, yaitu: Batara Tua, Batara Seda, Batara Sakti, dan Batara Leuwih. Pohaci dalam Carita Pantun Lutung Kasarung, diceritakan jumlahnya 40 Pohaci yang masing-masing memiliki tugasnya. "Leut dewata opat puluh, pohaci opat puluh, bujangga nu opat purah pulang anting."

Mengutip Tafsir-tafsir Pantun Sunda (Sumardjo, 2003: 239-243), membahas tentang pohaci. Apa pohaci itu? Dalam Kamus Bahasa Sunda Kuno-Indonesia susunan Elis Suryani NS dan Undang Ahmad Darsa (2003: 95), arti pohaci atau pwahaci adalah sebutan untuk para dewi; makhluk halus yang berwujud wanita dalam alam gaib, kahiyangan dan bertalian erat dengan pertanian serta kegiatan wanita pada umumnya.
Adapun dari segi etimologinya, kata pohaci atau puhaci merupakan gabungan dua kata bahasa Sunda kuno: pwah dan aci. Pwah berarti sebutan untuk wanita dewasa, sedangkan aci merujuk pada arti inti. Walhasil, pwahaci berarti esensi perempuan, atau barangkali perempuan inti.

Dalam naskah Sewaka Darma yang ditransliterasi, direkonstruksi, disunting, dan diterjemahkan oleh Saleh Danasasmita dan kawan-kawan (1987), disebutkan bahwa di atas kahiangan dewa Hindu (Isora, Brahma, Mahadewa, Wisnu, Siwa) ada kahiangan Sari Dewata yang berpenghuni Ni Dang Larang Nuwati, Wirumananggay, Pwah Langkawang Tidar, Pwah Sekar Dewata. Setingkat di atasnya, ada kahiangan Bungawari. Di sinilah bersemayam Pwah Sanghiyang Sri, Pwah Naga Nagini.


Adapun dalam Carita Ratu Pakuan (suntingan dan terjemahan Undang A Darsa, 2007), khususnya di bagian awal naskah baris 1-135, disebutkan, gunung-gunung merupakan tempat bertapanya para pohaci yang bereinkarnasi kepada para calon istri Ratu Pakuan. Dalam naskah ini disebutkan paling tidak lima pohaci: Mambang Siyang, Niwarti, Manireka, Hinten Mananggay, dan Raga Pwah Herang Manik

Kawih Paningkes atau Kawih Panikis, yang ditransliterasi dan diterjemahkan Ayatrohaedi dan Munawar Holil (1995), menyebut beberapa nama pohaci, yaitu Pwah Sang Hyang Sri, Batari Sri Kala, Pwah Wirumananggay, dan Dayang Tresnawati.


Dalam Gambaran Kosmologis Sunda (transliterasi, rekonstruksi, suntingan, dan terjemahan Edi S Ekadjati dkk, 2004), ada Pwah Batari Sri sebagai penguasa tertinggi di kayangan; Pwah Lekawati; Pwah Wiru Mananggay dan Danghyang Trusnawati, pemelihara Bungawari di Pasekulan bukit Tri Jantra si Jatri Palasari di Gunung Jati.


Beberapa nama Pohaci yang disebut dalam Carita Pantun Lutung Kasarung: 1. Pohaci Muruhmuy Putih 2. Pohaci Terus Rarang 3. Pohaci Rambat Rarang 4. Pohaci Lencop Rerang 5. Pohaci Lencop Hurip 6. Pohaci Lenggang Rerang 7. Pohaci Lenggok Maya 8. Pohaci Pancar Hurip 9. Pohaci Naga Gini 10. Pohaci Jayang Gana 11. Pohaci Tenjo Maya 12. Pohaci Pangdurat Sari 13. Pohaci Lenggok Kuning.

 

Aksari/Apsari

Aksari atau Apsari adalah para pembantu Pwahaci. Beberapa Pwahaci dibantu dalam 'mengatur dunia' oleh para Aksari. Dalam Naskah Pangeuyeukan, terlihat jelas struktur kekuasaan antara Betari, Pohaci dan Aksari/Apsari. Namun demikian, posisi Betari dan Pwah atau terkadang Pwah Aci masih samar dan penelaahan lebih seksama. Namun yang jelas, para Betari, Pwahaci dan Aksari berada di bawah Sunan Ambu.

Naskah Darmajati (Undang A Darsa, dkk, 2004) paling tidak menampilkan dua nama pohaci yang menghuni kahiangan. Keduanya adalah Nagawati yang bertanggung jawab atas seluruh apsari (Nagawatti nu nangkes aksari kalih) dan Nyi Tulaat yang diciptakan lebih awal oleh Sanghyang Maha (hal 85 dan 100).
Kemudian dalam naskah Sri Ajnyana (J Noorduyn dan A Teeuw, 2006), diceritakan bahwa dalam perjalanannya ke surga, Sri Ajyana, yang dibuang ke bumi bersama adiknya pohaci Pwah Aci Kembang, menemui beberapa pohaci, yaitu Puah Aci Kuning, Sanghiang Sri, Wirumananggay, dan Puah Lakawati.
Namun, naskah Jatiraga atau Jatiniskala (transliterasi, rekonstruksi, suntingan, dan terjemahan Edi S Ekadjati, dkk, 2004) kiranya banyak memberi informasi seputar pohaci. Dalam naskah itu disebutkan ada tujuh pohaci: Pwah Sri Tunjungherang, Pwah Sri Tunjunglenggang, Pwah Sri Tunjunghung, Pwah Sri Tunjungmanik, Pwah Sri Tunjungputih, Pwah Sri Tunjungbumi, dan Pwah Sri Tunjungbuwana. Selain itu, tentu saja ada juga pohaci Pwah Wirumananggay.


Ketujuh pohaci itu masing-masing mempunyai apsari (dalam naskah Kawih Pangeuyeukan disebut Aksari), yakni apsari Tunjungmaba, Tunjungmabra, Tunjungsiang, Tunjungkuning, Nagawali, dan Naganagini. Ada juga Pwah Sri Sari Banawati, Pwah Aksari Manikmaya, Mayalara, Atastista, Madongkap, Aksari Nilasi, Mayati, Wadingin, Kumbakeling, Maya Yuwana, Jana Loka, Manon Hireng, Madwada, Kunti, Titisari, Kindya Manik, Madipwak, Maya, Jabung, Galetwar, Werawati, Rumawangi, Kinasihan, Kamwawati, Kemang, Kujati dan Pwah Bintang Kukus, Jatilawang, Ratnakusumah, Hening Hinisjati, Nongton Manik, Gendang, Kalasan, Kamadipi, Endah Patala, Sedajati, Imitjati, Jlag Sabumi, Pada Ni Wangi, Keling, Goda Bancana, dan Saresehkane.

Berikut nama-nama para Aksari/Apsari dalam Naskah Kawih Pangeuyeukan;

  1. Aksari /Dedeg Pwah Hérang Tineung,
  2. Aksari Banan Sakti,
  3. Aksari Ceun/teu Rupa,
  4. Aksari Cita /Putih,
  5. Aksari Déwa Kawini,
  6. Aksari Gilingan Jati
  7. Aksari Gilingan Manik
  8. Aksari Kembang Wisésa,
  9. Aksari Mangadeg Jati,
  10. Aksari Manik Sari
  11. Aksari Maya Hibar,
  12. Aksari Maya Réka,
  13. Aksari Maya Sri Seda,
  14. Aksari Mutaya Jati,
  15. Aksari Naga Dadampar,
  16. Aksari Peningan Jati,
  17. Aksari Sahipes Jati,
  18. Aksari Sampayan Jati,
  19. Aksari Tunjungan Jati,
  20. Aksari Widadasana,

 Dan berikut nama-nama Pwahaci (pohaci) dalam Naskah Kawih Pangeuyeukan:

  1. Pwah Aci Cida Sari,
  2. Pwah Aci Cita Hanteu,
  3. Pwah Aci Cita Manik (Sang Hyang Sri, duaan sapilanceukan)
  4. Pwah Aci Cita Manik,
  5. Pwah Aci Citamanik,
  6. Pwah Aci Cuuh Ibun,
  7. Pwah Aci Daranan Manik,
  8. Pwah Aci Héno Raja,
  9. Pwah Aci Lénggang Bwana,
  10. Pwah Aci Lénggang Manik,
  11. Pwah Aci Malawading,
  12. Pwah Aci Mangbang Désa,
  13. Pwah Aci Mangbang Siyang,
  14. Pwah Aci Manik Sari,
  15. Pwah Aci Maya Keling,
  16. Pwah Aci Maya Métar,
  17. Pwah Aci Mayang Ading,
  18. Pwah Aci Naga Numpi,
  19. Pwah Aci Naga Sumara,
  20. Pwah Aci Naga Wana,
  21. Pwah Aci Naga Wiru,
  22. Pwah Aci Nila Keling,
  23. Pwah Aci Ringgit Sari,
  24. Pwah Aci Sang Kuna Jati,
  25. Pwah Aci Sarba Endah,
  26. Pwah Aci Sarba Larang,
  27. Pwah Aci Sarba Mayang,
  28. Pwah Aci Sari Déwata,
  29. Pwah Aci Sri Séda Mangrincik,
  30. Pwah Aci Timbul Manik,
  31. Pwah Aci Tunjung Kuning,
  32. Pwah Aci Tunjung Mangbang,
  33. Pwah Aci Tunjung Manik,
  34. Pwah Aci Tunjung Putih,
  35. Pwah Aci Tunjung Putih,
  36. Pwah Asri Mangbang Bwana,
  37. Pwah Harenang Ha/rening,
  38. Pwah Maung Larang,
  39. Pwah Maya Aci Désa,
  40. Pwah Mayang Asih Séda,
  41. Pwah Mayang Kahiangan ,
  42. Pwah Naga Kumpulan,
  43. Pwah Naga Nagini,
  44. Pwah Natasari,
  45. Pwah Paramuta.
  46. Pwah Pretiwi Harémpoy Jati,
  47. Pwah Pretiwi Henis Jati,
  48. Pwah Pretiwi Hindit Jati,
  49. Pwah Pretiwi Hireut Jati,
  50. Pwah Pretiwi Lengis Jati,
  51. Pwah Pretiwi Ménget Jati,
  52. Pwah Pretiwi Mukadandana,
  53. Pwah Pretiwi/Pamineung Jati,
  54. Pwah Pribanan ___,
  55. Pwah Sari Aci Larang,
  56. Pwah Sari Aci Mirah,
  57. Pwah Sari Aci Mirah,
  58. Pwah Sari Aci Sakti,
  59. Pwah Sari Déwanata,
  60. Pwah Sari Kembang,
  61. Pwah Sari Manik.
  62. Pwah Sari Mayung Ading,
  63. Pwah Selang Sanggini
  64. Pwah Seri Sideug Jati,
  65. Pwah Sri Aci Wisésa
  66. Pwah Sri Kowari Jati,
  67. Pwah Sri Mangadeg Jati,
  68. Pwah Sri Naga Gégéntar,
  69. Pwah Sri Naga Langgusar,
  70. Pwah Sri Naga Langsaran,
  71. Pwah Sri Naga Lenditan,
  72. Pwah Sri Naga Mangguling
  73. Pwah Sri Naga Mapwaday,
  74. Pwah Sri Naga Maredaya,
  75. Pwah Sri Naga Maruway,
  76. Pwah Sri Naga Pawilet,
  77. Pwah Sri Naga Sampayan,
  78. Pwah Sri Naga Susupan,
  79. Pwah Sri Peningan Jati,
  80. Pwah Sri Pijeuyah Jati,
  81. Pwah Sri Pretiwi Mulya,
  82. Pwah Sri Sang Suwar Jati,
  83. Pwah Sri Sarampéh Jati,
  84. Pwah Sri Sari Aci Rupu,
  85. Pwah Sri Talinga Jati,
  86. Pwah Tunjung Kancana.



Bila membaca banyaknya nama dan peranan pohaci di kahiangan dan pertapaan dari naskah-naskah Sunda kuno di atas, semakin yakin bahwa orang Sunda sangat memuliakan perempuan. Apalagi, dalam Jatiraga tertulis, "Aci pwah ma Sang Hyiang Sri Wisesa" (Hakikat kewanitaan itu ialah kekuasaan Sang Hyiang Sri).

Dalam adat Sunda, Pohaci sering dihubungkan dengan Nyi Sri Pohaci (Pwahaci Sanghyang Asri) atau Dewi Padi. Ini sebenarnya tidak sepenuhnya salah, dalam Carita Pantun Lutung Kasarung, Sunan Ambu mengajarkan Purba Sari menanam padi. Bahkan dalam melakukan semua kegiatan, sangat kental dengan permohonan izin dan doa ke setiap Pohaci. Dalam kehidupan adat Sunda, biasanya yang lebih hafal nama-nama Pohaci adalah para wanita atau seorang ibu. Karena Pohaci sering identik dengan semua kegiatan yang dilakukan oleh wanita. Baik itu menanam, memasak, melahirkan, dan lain-lain.

 


Referensi

  1. Ayatrohaedi. 1978. “Pajajaran dan Sunda”, dalam Majalah Arkeologi No. 4 Th. 1 Maret. Jakarta: Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
  2. Danasasmita, Saleh dkk. 1987. "Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung; Transkripsi dan Terjemahan". Bandung: Bagian Proyek Penelitia n dan Pengkajia n Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
  3. Heuken, S.J. 1999. "3 Sumber-Sumber Asli Sejarah Jakarta". Jilid I. Jakarta: Ciptaloka Caraka.
  4. (With Mamat Ruhimat and Tien Wartini, 2014) Kawih Pangeuyeukan: Tenun dalam Puisi Sunda Kuna dan Teks-teks lainnya. Academia.edu Diakses 13 Desember 2018.
  5. "Kawih Pangeuyeukan"  khastara perpusnas.go.id Diakses 23 Maret 2021. 
  6. Wahyu Wibisana, Buku Lima abad Sastra Sunda, Sebuah Antologi, Jilid I - Juni 2000, Saleh Sanasasmita dkk, Sewaka Darma – 1987.
  7. Siswantara, Yusuf. 2016. "Sewaka Darma - Pembelajaran Keutamaan Kehidupan" Jurnal MELINTAS, Department of PhilosophyFaculty of PhilosophyParahyangan Catholic University Bandung, Indonesia. unpar.ac.id
  8. Sumardjo, Jakob. 2003. "Simbol-simbol artefak budaya sunda : Tafsir-tafsir pantun sunda". Bandung: Kelir.
  9. Sundalana (2007): "Menyelamatkan Alam Sunda dan Beberapa Kajian mengenai Sunda", wedalan Kiblat Buku Utama.

 

Sponsor