Cari

Kenapa Prabu Siliwangi Paling Diingat dan Terkenal di Tatar Pasundan? | Apa saja Jasa-jasanya?

Patung Prabu Siliwangi
Ditemukan Di Kecamatan Talaga (Majalengka) Tahun 1863
Foto terpampang di Volkenkunde Museum, Belanda.


 

[Historiana] - Prabu Siliwangi sangat dikenal dan melekat dalam banyak ingatan warga Nusantara, khususnya Tatar Pasundan. Apakah mitos kesaktian yang membuatnya sangat diingat? Ataukah warisan yang ditinggalkannya? Apakah ada warisan itu?

“Tidak banyak”nama yang bernuansa sejarah dipakai dengan penuh kebanggaan untuk sejumlah nama identitas kekinian. Siliwangi adalah nama “yang tidak banyak itu”. “Siliwangi” merupakan nama yang sangat melekat pada emosi terdalam bagi sebagian masyarakat di Tatar Sunda. Tidak sedikit orang yang mengidentifikasikan dirinya sebagai keturunan Prabu Siliwangi. Siliwangi sering menjadi nama sentral untuk aktivitas-aktivitas budaya. Siliwangi pun banyak dijadikan nama identitas lembaga, seperti universitas di Tasikmalaya (Universitas Siliwangi, Unsil), kompleks kampus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI, dulu IKIP) Bandung (Bumi Siliwangi), Kodam III Siliwangi, nama stadion,nama jalan,dan sebagainya. Pertanyaannya adalah siapakah Prabu Siliwangi itu? Apakah Prabu Siliwangi itu nama tokoh sejarah atau tokoh mitos/dongeng/sastra? Apa saja Jasa Prabu Siliwangi? 

Sketsa Prabu Siliwangi
berdasarkan Arca Talaga

 

 

Indentifikasi Sosok Prabu Siliwangi

Siapakah Prabu Siliwangi? Nama Prabu Siliwangi bisa ditelusuri pada sejumlah naskah kuna, di antaranya: Naskah Carita Parahiyangan (1518), Naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian (Akhir abad ke-16), Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari (1720), Naskah Bujangga Manik, Babad Siliwangi dan naskah yang lainnya.

Banyak silang pendapat mengenai keberadaan Prabu Siliwangi, Namun dalam Makalah Mumuh Muhsin Z - Staf pengajar Prodi Ilmu Sejarah Fasa Unpad; ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Jawa Barat, bahwa Prabu Siliwangi adalah Sosok sejarah. Pertanyaan selanjutnya siapakah Prabu Siliwangi dan ada berapa orang sosoknya? 

Yang sudah jelas dari persoalan ini adalah Prabu Siliwangi itu bukan nama sejati tapi nama alias/julukan/gelar. Poin yang menarik ketika membicarakan Prabu Siliwangi adalah menyoal tokoh ini identik dengan raja yang mana? Mengenai hal ini setidaknya muncul dua pendapat. Pertama, tokoh Prabu Siliwangi itu banyak. Undang A. Darsa (2011: 32) berpendapat bahwa dari 32 raja Kerajaan Sunda ada empat yang mendapat gelar Prabu Siliwangi. Mereka adalah raja yang saat memerintah Kerajaan Sunda ditandai dengan geopolitik yang guncang yang terjadi pada abad ke-15 dan 16, yaitu saat Barat masuk, saat Majapahit runtuh, dan saat masyarakat agraris mulai berkenalan dengan ekonomi dagang. Sayang, Undang A. Darsa tidak menyebutkan keempat raja itu siapa saja namanya. 

Elis Suryani (2011: 30) menyebutkan keempat raja yang mendapar gelar Siliwangi itu adalah: Lingga Buana, Niskala Wastu Kancana, Sri Baduga Maharaja, dan Surawisesa. Ada juga pendapat yang menyebutkan bahwa tokoh Prabu Siliwangi itu tujuh, bahkan sampai dua belas orang. Tampaknya ada anggapan bahwa Siliwangi itu gelar resmi raja sehingga setiap raja Pajajaran disebut Siliwangi (Danasasmita, 2003: 142).

Pendapat kedua menyebutkan bahwa Prabu Siliwangi itu hanya satu. Tokoh itu identik dengan Prabu Jayadewata. Menurut Saleh Danasasmita Prabu Siliwangi ada satu yaitu merujuk pada tokoh Raja Sunda yaitu Sri Baduga Maharaja yang memerintah Kerajaan Sunda (Pajajaran) sejak tahun 1482-1521 M. Danasasmita melakukan kajian sekaligus perbandingan terhadap sejumlah sumber dan dengan   mempraktikkan teknik koroborasi (Purwaka Caruban, Naskah Pamarican, Waruga Jagat, Babad Pajajaran, Carita Parahiyangan, dan Babad Siliwangi) yang dilakukan oleh Saleh Danasasmita (2003: 142 –143) tampaknya pendapat yang lebih kuat dan menyandar pada sumber yang kuat pula, Prabu Siliwangi itu hanya satu dan identik dengan tokoh raja yang bernama Prabu Jayadewata atau Sri Baduga Maharaja yang berkuasa sebagai raja Kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran pada 1482 –1521.

Hal yang lebih menarik didiskusikan adalah mengapa Sri Baduga dijuluki Prabu Siliwangi? Mengapa juga tokoh Prabu Siliwangi ini demikian populer, bahkan banyak dimitoskan?


Siliwangi berasal dari kata asilih wewangi yang berarti ganti nama atau ganti ngaran. Dalam bahasa Sunda (kuna), nama (ngaran) sering disebut juga wawangi. Sementara dalam basa Sunda modern nama adalah wasta, jenengan, kakasih. Istilah wawangi hanya digunakan untuk seorang tokoh terkenal dan punya nama harum. Secara historis Prabu Jayadewata memang berganti nama (asilih wewangi, silihwangi, siliwangi). Pergantian nama ini terjadi ketika pelantikan yang kedua kalinya. Semula bernama Prebu Guru Dewataprana, ketika dilantik jadi Raja Agung Kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran diganti lagi menjadi Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Pergantian nama ini diabadikan ada Prasasti Batu Tulis yang berbunyi:


“Ini sasakala. Prebu Ratu purane pun diwastu diya wi ngaran Prebu Guru Dewataprana diwastu diya di ngaran Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata”.

Keterangan Babad Siliwangi yang menyebutkan nama siliwangi berarti asilih wewangi (mengganti nama) cocok dengan keterangan yang ada pada Prasasti Batutulis. Atas dasar alasan ganti nama atau ganti gelar itulah, Sri Baduga Maharaja menjadi terkenal dengan julukan Siliwangi (Danasasmita, 2003: 67).

Mengapa nama Sri Baduga atau nama Prabu Siliwangi demikian terkenal jauh melebihi nama-nama raja Kerajaan Sunda lainnya. Terkesan seolah-olah raja Sunda itu identik dengan Sri Baduga atau Prabu Siliwangi? Kenyataan ini bisa dipahami sebab raja Kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran yang paling lama memerintah dan paling berhasil adalah Sri Baduga Maharaja. Raja-raja sesudahnya sangat menurun kualitasnya. Misalnya saja, setelah Sri Baduga meninggal, kedudukannya sebagai raja digantikan oleh anaknya, Surawisesa. Pada masa ia memerintah selama 14 tahun (1521 – 1535), tidak kurang dari 15 kali peperangan terjadi. Raja-raja setelah Surawisesa makin melorot lagi kualitasnya. Selanjunya kerajaan makin melemah karena perang hampir setengah abad terjadi, hingga akhirnya Kerajaan Sunda runtag/burak/hancur pada masa Kerajaan Sunda dipimpin oleh Nursiya Mulya (1567-1579).


Sejak masa Surawisesa, Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi sudah dipuji-puji jasa dan kebesarannya. Oleh generasi yang kemudian pujian kepada Sri Baduga atau Prabu Siliwangi makin besar bahkan banyak hal dari kehidupannya yang dimitoskan. Sebabnya adalah karena setelah periode Sri Baduga, Kerajaan Sunda tidak pernah bangkit lagi. Dengan demikian bisa dipahami jika segala kebanggaan dan harga diri kasundaan disandarkan kepada Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi.
Nama Prabu Siliwangi disebut juga dalam beberapa sumber (naskah), di antaranya dalam Sanghyang Siksa Kandang Karesian (1518), Carita Parahiyangan (akhir abad XVI), Naskah Wangsakerta (akhir abad XVII), Carita Purwaka Caruban Nagari (1720), dan Babad Siliwangi


Selain itu, ada semacam memory collective di kalangan masyarakat Tatar Sunda, yang turun-temurun, mengenai eksistensi tokoh Prabu Siliwangi. Oleh karena itu, Prabu Siliwangi menjadi semacam “accepted history”. Eksplisitas dalam naskah-naskah dan sikap-sikap kultural masyarakat turut mempengaruhi tumbuhnya memory collective itu dalam pikiran dan emosi manusia Sunda, yang pada akhirnya jadi fakta mental dan fakta sosial yang menguatkan sikap dan keyakinan akan eksistensi Prabu Siliwangi.


Begitu pula adanya catatan silsilah merupakan sumber lain yang makin menguatkan keyakinan bahwa Prabu Siliwangi itu ada. Silsilah rara-raja Cirebon, misalnya, selalu mengaitkan leluhurnya pada Prabu Siliwangi. Silsilah seperti itu bukan muncul baru-baru ini, tapi turun-temurun dari generasi yang paling tua. Kenyataan ini makin menguatkan sandaran pendapat bahwa Prabu Siliwangi itu ada sebagai tokoh sejarah.

 

Prabu Siliwangi Dikenang karena Kesaktiannya?

Benarkah Prabu SIliwangi dikenang karena kesaktiannya? Bisa jadi bagi kalangan masyarakat yang memercayainya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang masuk ke dalam kelas kata nomina (kata benda). Kesaktian sebagai Nomina (kata benda) didefinisikan:

  1. Kepandaian (kemampuan) berbuat sesuatu yang bersifat gaib (melampaui kodrat alam). Contoh: kesaktian itu diperolehnya dengan jalan bertapa di puncak gunung
  2. Kekuasaan gaib. Contoh: karena kesaktian yang dimilikinya, ia pun dapat menolak setiap guna-guna yang ditujukan kepada dirinya

Dalam hal ini, penulis sendiri memercayai mengenai adanya kekuatan suprnatural seperti kesaktian. Tidak saja melekat pada sisi mitos Prabu Siliwangi yang sakti, namun di zaman sekarang pun keberadaan kekuatan supranantural masih bisa kita lihat seperti ilmu kebal senjata tajam, kebal terhadap senjata api dan lain-lain. Para pejabat dan para pemimpin formal maupun  informal di zaman sekarang pun masih bisa kita saksikan adanya kesaktian itu. Namun apakah kesaktian pemimpin berpengaruh banyak terhadap rakyatnya? bisa iyam bisa tidak. Jika pun jawabannya iya, maka efektnya sangat sedikit sekali. Banyak mitos kesaktian yang dimiliki orang-orang terdahulu di zaman Kolonialisme di Indonesia. Namun, banyak yang bertanya kenapa tidak mampu mengusir kolonial/penjajah itu?

Bila kesaktian tak banyak membawa pengaruh terhadap rakyat dan negara, maka kita harus mencari tahu jawaban itu.  Sederhanya saja jawabannya yaitu: Legacy atau warisan pemimpin yang dirasakan oleh rakyat seluruh negeri.

 

Warisan (Legacy) Prabu Siliwangi

Seorang Maharaja Sunda seterkenal Sribaduga Maharaja sebagai Prabu Siliwangi, tentu dikenang tentu atas jasa besarnya yang berpengaruh bagi rakyat Tatar Pasundan. Jasa itu tentu saja harus dirasakan oleh seluruh rakyatnya sebagai sebuah warisan (legacy). Sebelum kemerosotan kepemimpinan raja-raja berikutnya hingga burak tahun 1579 M. Kita telusuri apa saja mahakarya Prabu Siliwangi untuk negeri Sunda Pajajaran?

Pada saat Sri Baduga Maharaja berkuasa (1482-1521 Masehi), dilakukan rekonstruksi tata kota di Pakwan Pajajaran dengan membuat parit untuk memperkuat keamanan. Hal ini dilakukan karena tempat ini dijadikan sebagai pusat politik untuk seluruh Tatar Sunda, yang awalnya berada di kompleks Keraton Surawisesa (Galuh Pakwan) (Lubis et al., 2013: 144). Tentu posisi Pakuan Pajajaran sebagai ibukota yang dipilih harus memiliki kelebihan dari sisi pertahanan dan keamanan yang sangat urgent saat itu pasca runtuhnya Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sunda juga banyak menerima pengungsi para pejabat, keluarga bangsawan dan rakyat Majapahit yang meminta perlindungan.

Kota Pakwan Pajajaran selain dari prasasti dan naskah, terdapat di dalam laporan para penjelajah VOC, yaitu Scipio (1687), Adolf Winkler (1690), dan Abraham van Rieebeck (1703, 1704, dan 1709).

Prasasti Batutulis menceritakan bahwa Sri Baduga memperbaiki kota dan memperkokoh pertahanan dengan membuat parit, serta membangun sebuah telaga yang disebut Talaga (Wa)Rena Mahawijaya atau Sanghiyang Rancamaya, lengkap dengan sebuah pulau di tengah danau yang bernama Bukit Badigul (Darsa, 2011: 91; Lubis et al., 2013: 166).

Talaga (Wa)Rena Mahawijaya merupakan tempat suci yang dikeramatkan, telaga yang di tengahnya terdapat Bukit Badigul sebagai tempat menyatakan rasa syukur (berdoa). Pada saat sekarang tempat ini sudah berubah menjadi perumahan elit dan lapangan golf (Lubis et al., 2013: 166-167). Selain itu Talaga (Wa)rena Mahawija berfungsi sebagai pengendali bencana banjir yang terjadi di wilayah hilir yaitu Sunda Kalapa (Jakarta sekarang). Pengendalian banjir telah dilakukan jauh sebelum kerajaan Pajajaran ada yaitu di zaman Tarumanagara dengan memperbaiki sungai di zaman Maharaja Purnawarman. Talaga (wa)rena Mahawijaya mengatur aliran air sungai Cipaku dan Sungai Cisadane. Mengacu pada pembagian klasifikasi lahan dalam Warugan Lmah, Talaga (wa)Rena Mahawijaya berada pada posisi Sri Madayung, karena letaknya yang berada di antara dua aliran sungai, yaitu Sungai Cipaku (sungai kecil) dan Sungai Cisadane (sungai besar).

Lihat juga versi videonya...


 

Pengelolaan dan pemanfaatan daerah aliran sungai harus dilakukan dengan pendekatan yang terpadu, yang mensinergikan pengelolaan/pemanfaatan lahan di kawasan dataran tinggi dengan perencanaan pemanfaatan tata guna lahan yang 'ekologis', dengan penerapan ilmu rekayasa, dan pertimbangan aliran air yang mengikuti lereng dari dataran tinggi ke dataran rendah. Proses yang terpadu tersebut adalah sebagai langkah yang tepat, karena menempatkan lingkungan alam sebagai subjek, karena bagaimanapun kekuatan alam sampai kapanpun tidak akan bisa dilawan.

Talaga (wa)Rena Mahawijaya yang sampai saat ini dipercaya sebagai tempat ritual keagamaan hanyalah sebagian kecil dari keseluruhan fungsi yang dibayangkan dan menjadi harapan oleh arsiteknya. Dari perspektif ilmu rekayasa (teknik lingkungan, arsitektur lansekap, dan teknik sipil pengairan), danau buatan (embung/waduk) ini bisa menjadi area tangkapan limpasan air demi meredam bencana banjir, bahkan sebagai cadangan air ketika musim kemarau, sebagai area rekreasi alam, dan fungsi lainnya sesuai dengan perspektif apa yang kita pakai untuk melihatnya. Apa yang telah dilakukan oleh Sribaduga sangat penting untuk direnungkan terutama oleh para pemegang kekuasaan dan pembuat kebijakan. Karena bagi para pemimpin penting untuk berpikir secara luas dan out of the box serta belajar dari sejarah para pemimpin di masa lalu. Sebuah peristiwa sejarah tidak akan mempunyai nilai jika hanya dijadikan sebagai sebuah romantisme, namun akan memberi suatu nilai jika peristiwa di analisis secara konstruktif. Sejarah telah mencatat bagaimana para pemimpin di masa lalu membuat sesuatu yang bisa memberi manfaat besar terhadap rakyatnya. Apa yang telah dibuat oleh Sribaduga dilakukan pula oleh raja-raja lainnya di masa lalu, mereka telah berhasil membuat karya yang berangkat dari penghormatan terhadap alam. Itulah yang membuat para sosok di masa lalu yang mempunyai nilai lebih. 

Bagian lain yang sangat penting dalam pembangunan infrastruktur zaman Pajajaran, adalah tentang jalan raya. Kita sering mengabaikan sejarah secara teknik bahwa kisah perpindahan dengan iring-iringan besar keluarga kerajaan dari Istana Surawisesa di Kawali Galuh menuju Pakuan Pajajaran dilakukan melalui apa? Tentu adanya sebuah jalan. Jalan ini menurut Amir Sutaarga adalah "Pajajaran Highway" atau jalan tol-nya zaman Pajajaran. Prasasti Batu Tulis Bogor sedikit menyebutkan proyek pengerasan jalan. 

Jalan dari Wanayasa ke Bandung
Tahun 1920-1935 (Foto: Tropenmuseum)

Sutaarga menyebutkan bahwa rute Highway Pajajaran adalah: Kawali – Talaga – Karangsambung – Tomo – Cisalak – Jalancagak – Sagalahérang – Wanayasa – Cikao – Tanjungpura – Warunggedé – Cibarusah – Cileungsi – Pakuan. Jika dilihat petanya di zaman sekarang ini melewati Kabupatén Ciamis, Majalengka, Sumedang, Subang, Purwakarta, Karawang, Bekasi, dan Bogor. Jika kita sekarang malukan napak tilas, matak capé atuh

 

Selain dipaparkan di atas, Kerajaan Pajajaran memiliki 6 Pelabuhan Utama untuk mendukung pereknomian negara. Tentu saja buka hanya pelabuhan yang dimiliki, Kerajaan Sunda Pajajaran juga memiliki armada kapalnya sendiri. Ibarat kita punya garasi mobil, juga idelnya memiliki mobil untuk diparkirkan di garasi itu. Kapal Besar milik Kerajaan Sunda Pajajaran yaitu Kapal Jung tingkat sembilan yang dalam bahasa Jawa disebut "Jung Sasanga Wagunan ring Tatarnagari tiniru" - Kapal Jung bertingkat sembilan. Sebelum tragedi Bubat tahun 1357, Raja Sunda dan keluarganya datang di Majapahit setelah berlayar di laut Jawa menggunakan kapal-kapal joung hibrida Cina-Asia tenggara bertingkat sembilan (Bahasa Jawa kuno:Jong Sasanga Wagunan ring Tatarnagari tiniru).

Kapal Jung milik Kerajaan Sunda Pajajaran adalah kapal hibrida yakni mencampurkan teknik China dalam pembuatannya, yaitu menggunakan paku besi selain menggunakan pasak kayu dan juga pembuatan buritan tumpul/datar (transom stern).


Niccolò da Conti dalam perjalanannya di Asia tahun 1419-1444, mendeskripsikan kapal yang jauh lebih besar dari kapal Eropa, yang mampu mencapai berat 2.000 ton, dengan lima layar dan tiang. Bagian bawah dibangun dengan tiga lapis papan, untuk menahan kekuatan badai. Kapal tersebut dibangun dengan kompartemen, sehingga jika satu bagian hancur, bagian lainnya tetap utuh untuk menyelesaikan pelayaran.

Di Bidang Keagamaan dan Politik pun, di zaman Prabu Siliwangi dikenal sangat stabil dan berimbang yang disebut Pajajar-Pajajaran. Menyatunya Sub-etnis Galuh dan Sunda dengan identitas sebagai Warga Sunda (sebagai entitas politik kerajaan) dan penerimaan yang baik serta pelindungan terhadap para pengungsi Majapahit pimpinan Raden Baribin di Kawali Galuh. Tidak ada etnis tertentu atau agama tertentu yang dibedakan. Karena sejatinya Tatar Pasundan, sejak lama telah dihuni berbagai etnis.

-cag-


Referensi

  1. Asmar, Teguh et al. 1975. "Sejarah Jawa Barat dari Masa Pra-Sejarah hingga Masa Penyebaran Agama  Islam". Bandung: Proyek Penunjang Peningkatan Kebudayaan Nasional Provinsi Jawa Barat
  2. Budimansyah, Kunto Sofianto, Reiza D. Dienaputra. "Sang Hyang Talaga Rena Mahawijaya: Telaga Buatan sebagai Solusi Bencana". Jurnal PatanjalaVol. 10 No. 3 September 2018: 419 - 434 neliti.com PDF Diakses 27 Maret 2021.
  3. Danasasmita, Saleh. 2003."Nyukcruk Sajarah Pakuan Pajajaran jeung Prabu Siliwangi". Bandung: Girimukti.
  4. Darsa, Undang A. dan Edi S. Ekadjati. 2003.“Fragmen Carita Parahyangan dan Carita Parahyangan”, dalam Tulak Bala; Sistim Pertahanan Tradisional Masyarakat Sunda dan Kajian lainnya megenai Budaya Sunda. Bandung: Pusat Studi Sunda; hlm. 173 –208.
  5. Iskandar, Yoseph. 2005. "Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa)". Bandung: Geger Sunten.
  6. Lubis, Nina Herlina et al. 2003. "Sejarah Tatar Sunda". Jilid I. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran
  7. ......... 1991.“Prabu Siliwangi sebagai Leluhur Elit Politik Priangan”, Makalahdisampaikan pada Seminar Nasional Sastra dan Sejarah Pakuan Pajajaran, Bogor 11 –13 November.
  8. Lubis, Nina H. et al. 2000. "Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat". Bandung: Dinas Pariwisata Dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat - Yayasan Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat.
  9. Muhsin Z., Mumuh. 2011. "“Eksistensi Kerajaan Pajajaran dan Prabu Siliwangi”, Makalah disampaikan dalam Seminar Prodi Ilmu Sejarah pada hari Senin 28 Maret 2011 di Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran Jatinangor; hlm. 1 – 17.
  10. Muhsin Z, Mumuh. 2011. "Prabu Siliwangi Sejarah atau Dongeng?", Makalah disampaikan dalam Dialog Interaktif  “Revitalisasi Nilai-Nilai Budaya Masyarakat Tatar Sunda”  (Nyusur Galur Mapay Raratan, Ngaguar Warisan Karuhun Urang);diselenggarakan oleh Bank Indonesia Kantor Regional Jabar-Banten bekerja sama dengan Yayasan Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat dan JITUJIpada tanggal 20 Mei 2011, bertempat di Gedung BI Perwakilan Jawa Barat. Hal 1 - 14. unpad.ac.id (PDF) Diakses 27 Maret 2021.
  11. Noorduyn, J. dan A. Teeuw. 2009.Tiga Pesona Sunda Kuna. Diindonesiakan oleh Hawe Setiawan. Jakarta: Pustaka Jaya. 
  12. Volkenkunde Museum, geheugenvannederland.nl "Memori Hindia Belanda" Diakses 14 Agustus 2018 
  13. " Sabagéan “Highway Pajajaran” Aya di Purwakarta" Budi Rahayu Tamsyah Jabarnews.com (Kamis, 12 Mar 2020) Diakses 27 Maret 2021.
Baca Juga

Sponsor