[Historiana] - Oleh Alam Wangsa Ungkara || Nama Ki Buyut Nakem tidak dikenal masyarakat luas. Kisahnya berada di sekitar Kota Majalengka, Kabupaten Majalengka Jawa Barat sekarang. Ia adalah leluhur penulis yang dianggap brandal pengacau karena suka mencegat petugas Pajeg (pajak) pemerintah kolonial Belanda di Majalengka di awal abad ke-19 (tahun 1800-an) di zaman Penjajahan Belanda (juga masa peralihan Belanda-Prancis-Inggris menguasai Nusantara).
Ki Buyut Nakem tidak suka melihat para Upas yang menarik pajak seenaknya di zaman itu. Terlebih lagi kepada para tetangganya. Mungkin ada petugas yang kalau zaman sekarang mah oknum yang sewenang-wenang dalam menarik pajak. Jika petugas datang memungut pajak, tidak ada permakluman jika panen gagal. Kambing atau kerbau pun diambil sebagai gantinya. Peristiwa ini mirip dengan kisah dalam buku Max Havelaar di Lebak Banten. Mungkin kondisi yang sama terjadi di berbagai wilayah di Nusantara saat itu.
Ki Buyut Nakem adalah orang biasa yang bukan bangsawan atau siapa-siapa, melainkan seorang Jawara Kampung. Konon Ki Buyut Nakem berasal dari Sumedang, mungkin dari desa Cimaningtim atau desa Kadu yang memang berbatasan dengan Majalengka.
Sebutan "Buyut" ini sebenarnya panggilan umum bagi sesepuh. Sebenarnya urutan silsilah sampai pada penulis adalah Bao atau Canggah, karena Ki Buyut Nakem adalah buyutnya-buyut penulis. Ki Buyut Nakem dirunut dari jalur ibu-nenek-buyut-bao-canggah yang kesemuanya dari jalur perempuan. Sementara leluhur penulis dari jalur ayah dan seterusnya ke atas hingga ke Mataram dan Demak. Bahkan Kyai/Mualim Abhari dari jalur Ayah adalah Buyut penulis yang berjuang bersama Kyai H Abdul Halim di PUI (Persatuan Umat Islam) di Majalengka. Dimana dari jalur ayah sangat dekat dengan pemerintahan Bupati Majalengka di zaman Belanda yang otomatis juga tidak berseberangan secara frontal dengan Belanda. Melainkan perjuangan secara moral-politis dan tarbiyah (pendidikan). Berbeda dengan Ki Buyut Nakem yang togmol, saujratna tanpa tedeng aling-aling, alias hajar bleh!!
Tidak banyak alur kisah dari Ki Buyut Nakem yang penulis dapatkan dari keluarga. Hanya saja diakhir kisahnya bahwa Ki Buyut Nakem ikut perang ngalawan kumpeni di Bantarjati, Kecamatan Kertajati Majalengka sekarang ini. Awalnya kami tidak tahu perang apa yang dimaksud?? Rupanya Perang yang terjadi di Bantarjati dari tanggal 16 sampai 29 Februari 1812 adalah perang yang terakhir Bagus Rangin dan berakhir dengan kekalahan di pihak Bagus Rangin. Akhirnya pada tanggal 27 Juni 1812 Bagus Rangin dapat tertangkap oleh pasukan Belanda (Inggris saat itu) di daerah Panongan, Jatitujuh. Pada tanggal 12 Juli 1812 Bagus Rangin dijatuhi hukuman mati dengan cara dipenggal kepalanya di daerah Karangsambung, tepian sungai Ci Manuk. Dengan demikian, dapat dipahami kenapa disebut brandal pengacau, karena mengikuti pertempuran Bagus Rangin. Beberapa catatan Kolonial maupun beberapa babad yang ditulis semasa perjuangan Bagus Rangin menyebutkan bahwa Bagus Rangin adalah brandal... Catatan sejarah yang cenderung pro Belanda itu tidak sepenuhnya salah, sebab dalam pandangan kolonial, Rangin memang seorang brandal (Pengacau).
Bagus Rangin adalah tokoh dari Bantarjati, Majalengka. Bagus Rangin diperkirakan lahir sekitar tahun 1761. Ia tokoh sejarah dan pahlawan yang menentang dan memimpin pemberontakan melawan Belanda pada Perang Cirebon tahun 1805-1812. Bagus Rangin bukanlah seorang Raja, ia hanya seorang rakyat biasa namun memiliki semangat ksatria untuk melawan kekejaman dan kediktatoran penguasa, baik itu pemerintah kolonial Hindia Belanda maupun penguasa lokal di wilayah Keresidenan Cirebon.
Celakanya, pemerintah Belanda di zaman itu, memercayakan petugas penarik pajak diantaranya adalah menjadikan orang-orang Tionghoa sebagai pemungut pajak, VOC juga memungut pajak per kepala dari mereka. Saat itu adalah awal pemerintahan Belanda pasca bangkrutnya VOC (1799). Namun di kalangan masyarakat memunculkan sentimen anti china (Tionghoa). Ini terekam dari khotbah-khotbah Bagus Rangin.
Pihak kolonial yang tengah berkuasa pada saat terjadinya peristiwa itu adalah Inggris, dan pemimpin tertingginya di tanah Jawa adalah Albertus Hendricus Wiese (Belanda), Herman Willem Daendels, Jan Willem Janssens (Prancis - karena negeri Belanda jatuh ke tangan Prancis di Eropa) dan Letnan Jenderal Thomas Stamford Raffles (Inggris).
Dalam setiap kesempatan Ia berdiri dan mengurai khotbah pembangkitan. Sebuah khotbah yang panjang, yang menggugah kesadaran makna hidup dan kehidupan rakyat setempat yang didera nestapa. Juga khotbah politis yang menyoroti praktik-praktik tak benar penguasa lokal Cirebon. “Pangeran (Allah) telah menjadikan dunia, sebagai tempat kehidupan umat. Tapi oleh Sultan malah dijual kepada Cina dan Kompeni, yang tak pernah merasa kenyang” katanya bergelora. Bagus Rangin belum berhenti. Masih banyak pesan yang digelorakan untuk membuka mata hati, yang sebelumnya seakan sudah mati harapan. Dia pun berhasil. Warga tersadar akan kelemahannya selama ini.
Pada waktu itu, beberapa pengusaha dari etnis Cina dianggap ikut menyengsarakan masyarakat. Salah satu caranya, bersama Belanda, mereka menyewa tanah-tanah dari Sultan Cirebon. Padahal tanah-tanah itu, seperti kawasan utara Majalengka, juga termasuk wilayah Lohbener, Dermayu, Loyang, dan sekitarnya merupakan sumber kehidupan rakyat.
Walhasil, ketiadaan sumber kehidupan telah memunculkan kelaparan. Sampai-sampai rakyat terpaksa harus makan dedaunan dan rumput. Akibat lebih lanjut, banyak di antara masyarakat berguling-guling di tanah sembari memegangi perut. Semua merintih kesakitan. Di luar itu, sulitnya kehidupan telah membuat sebagian orang menjual diri (hal ini terus berkelanjutan mungkin hingga sekarang juga, seperti dilukiskan dalam tembang pantura “remang-remang”).
Guna memadamkan gerakan yang dilakukan oleh Rangin di wilayah
Karesidenan Cirebon itu, Raffles membangun kekuatan yang terdiri dari
berbagai macam satuan pasukan yang berasal dari kalangan pribumi dan
Eropa.
Pertempuran yang terjadi antara pasukan Bagus Rangin dan pasukan kolonial Hindia Belanda pertama kalinya berlangsung pada 25 Februari 1806, hal ini sesuai dengan resolusi Pemerintah Kolonial di Hindia Belanda yang menyebutkan ada kerusuhan sosial di daerah Cirebon pada tanggal tersebut. Daerah-daerah lain yang membantu Bagus Rangin adalah berasal dari daerah Jatitujuh, Rajagaluh, Bangawan Wetan, Sumber, Bantarjati, Cikao, Kandanghaur, Kuningan, Linggarjati, Luragung, Maja, Sumedang, Karawang, dan Subang. Tentu banyak rakyat biasa dari berbagai daerah itu ikut bertempur bersama Bagus Rangin. Seorang diantaranya Ki Buyut Nakem.
Gubernur Jenderal Hindia Belanda A.H. Wiese menugaskan kepada Nicolas Engelhaard untuk meminta bantuan agar para bupati mengirimkan pasukannya untuk melawan Bagus Rangin.
Akhir kisah Ki Buyut Nakem tidak jelas seperti kisah dipenggalnya Bagus Rangin sebagai pimpinan pemberontakan terhadap Belanda dan Penguasa Lokal dan adapula yang mengisahkan Bagus Rangin Ngahiyang/tilem ada ada kisah lain baha Bagus Rangin berhasil lolos kabur ke Bandung. Bagaimana nasib pasukannya? Kisahnya ditutupi oleh pihak kolonial, termasuk dimana mereka dieksekusi.
Kisah yang sama juga melekat pada Ki Buyut Nakem. Pihak keluarga penulis pun secara turun temurun menerima kisah bahwa Ki Buyut Nakem "Ngahiyang" dan merubah wujud menjadi "Maung" atau harimau dan pergi meninggalkan wilayah Majalengka menuju Sumedang melintasi Sungai Cimanuk atau Cilutung. Dalam kisah tambahan bahwa, Ki Buyut Nakem tak bisa ditangkap oleh para Centeng Belanda (saat itu Hindia Belanda dibawah Raffles - Inggris) dan para Upas (penjaga keamanan) Bupati yang konon karena kesaktiannya. Akhirnya diumumkan akan memberikan emas sebanyak 2 kilogram kepada siapa saja yang mampu menangkap Ki Buyut Nakem hidup atau mati. Justru kisahnya malah Ki Buyut Nakem sendiri yang mendatangi pendopo Bupati.
Singkat cerita, konon Ki Buyut Nakem datang sendiri ke pendopo Bupati Majalengka. Tidak ada satu pun centeng dam Upas yang berani menangkap, mendekati pun tidak berani. Lalu ia langsung berhadapan dengan Bupati tetapi konon menolak emas 2 kilogram, namun menerima 'ditamping' alias diusir untuk tidak lagi bermukim di Majalengka, kemudian ia pergi meninggalkan wilayah Majalengka. Karena bingung, Ki Buyut Nakem merenung di tepi sebuah curug (air terjun) Cilutung hingga ketiduran. Lalu datang banjir bandang di sungai hingga menghanyutkan Ki Buyut Nakem ke arah jurang Curug itu dan tersangkut di dahan pepohonan. Lalu ia terbangun. Ia kaget ternyata berada di sebuah jurang di curug itu. Posisinya di tengah-tengah antara dasar jurang dan mulut curug di atasnya. Ia kebingungan bagaimana naik ke atas dan bagaimana pula bisa turun ke bawah. Akhirnya, ia mengambil "baju maung" seperti karet yang lentur seukuran ibu jari (mirip alat kontrasepsi), kemudian kedua telunjuknya (kiri dan kanan) dimasukkan dan.. sluppp secara magis menjadi baju maung (harimau) dan ia berubah menjadi harimau sungguhan. Barulah ia bisa melompat ke atas dan... menghilang menuju lebatnya Hutan Sumedang saat itu.
Kisah "ngahiyang jadi maung" di atas, sangat-sangat meragukan. Penulis mencoba berfikir logis bahwa kisah itu adalah mitos. Kisah Ki Buyut Nakem yang merupakan salah seorang rakyat biasa yang ikut serta dalam perang Bagus Rangin, mungkin juga dialami oleh orang lain yang dikisahkan kemudian kapada para keturunannya dengan cara yang sama. Terjadi persekusi dan propaganda negatif bahwa 'para karaman' alias pemberontak Bagus Rangin adalah para ekstrimis yang jahat. Tentu seperti itu dalam cara pandang politik dan pertempuran wajar terjadi.
Kembali ke kisah mitos Ki Buyut Nakem, ada banyak kejanggalan. Jika memang ngahiyang, buat apa menemui dahulu bupati? Lalu ia berubah menjadi harimau dan pergi ke Hutan, di saksikan oleh siapa? Kisah-kisah seperti ini juga disematkan kepada Bagus Rangin yang dalam mitosnya juga disebut ngahiyang, pun demikian dengan Nyai Rambut Kasih (Ratu Sindangkasih disaat penyerangan Cirebon di Majalengka), Prabu Siliwangi (Saat runtag/runtuhnya Pajajaran) dan banyak lagi kisah sejenis. Namun dari kisah Ki Buyut Nakem terekam "jejak" bahwa hidupnya berakhir di Sungai Cilutung atau Cimanuk dan 'tanpa bekas' -ngahiyang padahal hanyut atau dihanyutkan. Dalam kisah yang mirip dialami Bagus Rangin berakhir di Bantarjati ditepi sungai Cimanuk (Cilutung bermuara ke Cimanuk) dengan kisah yang masuk akal bahwa Bagus Rangin dipenggal di tepi sungai Cimanuk. Sangat mungkin seluruh pasukannya yang terdesak pun mengalami hal yang sama. Namun belum jelas, apakah jasad para pemberontak/pejuang itu dikurebkeun (dikuburkan) atau diterebkeum (dihanyutkan)? Penulis meyakini jenasah-jenasah para pasukan Bagus Rangin itu dihanyutkan ke sungai Cimanuk.
Bagi orang Sunda mengatakan moksa atau ngahiang hanya sebuah siloka/seloka. Masyarakat Sunda adalah masyarakat yang menjunjung tinggi adab dan sopan santun, terlebih sopan santun terhadap orang tua. Dalam kasus ini, kata ‘ngahiang’ adalah bahasa sopan untuk kata ‘dibunuh’. Bisa jadi kisah ngahiyang-nya Ki Buyut Nakem ini sebenarnya tewas dalam pertempuran atau memang dieksekusi oleh Belanda bersama pasukan Bagus Rangin lainnya.
~~ ** ~~
Penulis mengalami mimpi bertemu dengan Babu Emi (Ibu Emi dalam bahasa Sunda kuno). Ia adalah istri Ki Buyut Nakem (menurut pengakuannya dalam mimpi penulis). Namun sayang, Babu Emi (Buyut Emi - istri Ki Buyut Nakem) tidak menjelaskan kemana Ki Buyut Nakem? Mungkin juga hingga akhir hayatnya, Babu Emi memang tidak mengetahui nasib Ki Buyut Nakem. Kisah Ngahiyang dan menjadi Maung pun, penulis ragukan berasal dari keluarganya. Mungkin dari propaganda pemerintah kolonial.
Makam Babu Emi (Ibu Emi atau Buyut Emi) Istri Ki Buyut Nakem Makam Ki Buyut Nakem tidak ada karena dipercayai Ngahiang Berubah wujud menjadi Maung (Harimau) |
Babu Emi dalam mimpi meminta penulis berziarah ke makamnya. Namun penulis
tidak mengetahui dimana lokasinya. Penelusuran dilakukan dengan
menghubungi Aki Gigir (Adiknya Nenek) yang masih hidup, kini berusia 90
tahun. Ia pun hanya mengetahui ciri-cirinya makam Babu Emi dari kisah kakeknya kakek (Bao dari Penulis), bahwa makam ditandai
dengan Nisan Tunggal di tengah-tengahnya di tepian sungai Cijurey di
Cijati Kolot, Majalengka. Penulusuran intensif dilakukan dalam 'kegelapan' jejak
alias pareumeun obor. Namun 2 minggu yang lalu akhirnya ditemukan dengan menanyai sesepuh setempat. Akhirnya makam dengan nisan tunggal ditemukan.
Lokasi sudah berupa semak belukar. namun masyarakat setempat masih mengenali bahwa lokasi itu adalah makam tua. Biasanya penggarap sawah terdekat akan membakar semak-semak yang sebenarnya kompleks makam tersebut.
Referensi:
- "Ketika Orang-orang Tionghoa Dipercaya Kompeni untuk Menarik Pajak". tirto.id Oleh: Petrik Matanasi - 8 Februari 2021 Diakses 11 November 2021.
- Ekadjati, E.S. 1976. Sejarah jawa Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
- "Perang Kedongdong dan Ki Bagus Rangin yang Terlupakan | Republika Online". Republika Online. Diakses tanggal 11 November 2021.
- "Fenomena Ngahiang di Balik Kedigdayaan Padjajaran" Oleh: Gunawan Prasetio. pewartanusantara.com 3 Apr 2018 Diakses 11 Nopember 2021.
- "Ki Bagus Rangin Jadi Raja". historyofcirebon.id 12 Agustus 2020 Diakses 11 November 2021.