Cari

Benarkah Gajah Mada Segan pada Kerajaan Sunda? | Kenapa Majapahit Tidak Menaklukan Sunda?




[Historiana] - Silang pendapat peristiwa Bubat antara Kerajaan Majapahit dan rombongan calon pengantin dari Kerajaan Sunda masih tetap ada. Benar tidaknya peristiwa bubat masih menjadi perdebatan hingga hari ini. Tak kurang para ahli sejarah dan arkeolog yang memercayai bahwa peristiwa Bubat adalah fakta historis dan banyak pula yang menganggap bahwa peristiwa itu tidak pernah terjadi. Namun dari kedua kubu sepakat bahwa Majapahit tidak pernah melakukan serangan terbuka dan menaklukan Kerajaan Sunda.

Pada 1334, para menteri berkumpul di panangkilan menghadap sang Rani Majapahit, Tribhuana Tunggadewi. Di hadapan sang rani dan para menteri, Gajah Mada yang baru diangkat menjadi mahapatih, bersumpah yang kemudian dikenal dengan Sumpah Palapa. Gajah Mada bersumpah mempersatukan Nusantara. Para petinggi kerajaan mengejek dan menertawakannya.

“Jika telah berhasil menundukkan Nusantara; Gurun, Seran, Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik telah tunduk, saya baru akan memakan palapa (istirahat),” kata Gajah Mada.

Menurut sejarawan Slamet Muljana, sumpah Gajah Mada itu menimbulkan kegemparan. Para petinggi kerajaan merespons dengan negatif. Ra Kembar mengejek Gajah Mada sambil mencaci maki. Ra Banyak turut mengejak dan tidak mempercayainya. Jabung Tarewes dan Lembu Peteng tertawa terbahak-bahak. “Sumpahnya diucapkan dengan kesungguhan hati. Oleh karena itu, dia sangat marah ketika ditertawakan,” tulis Slamet Muljana dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama.

Gajah Mada marah. Setelah melenyapkan para pencibir yang menentang Sumpah Palapa, Gajah Mada beserta para pendukungnya mulai unjuk kekuatan. Bersama tentara Majapahit, mereka memulai serangkaian serangan ke luar Jawa.

Wilayah pertama yang diserang adalah Bali. Mpu Prapanca menyebut, raja Bali berbuat kasar, kejam, nista, sehingga perlu diperangi.

Negarakrtagama mencatat serangan terbuka pada 1265 saka (1343 M) di bawah pimpinan Gajah Mada dan Mpu Aditya (Adityawarmman), seorang kerabat Tribhuwanattunggadewi yang berdarah Melayu. Setelah perang yang lama dan melelahkan, Bali akhirnya takluk, sebelum kemudian Gurun (Pulau Lombok).

Berbeda dengan Bali, Majapahit tidak menyerang Kerajaan Sunda padahal termasuk wilayah yang dibidik Gajah Mada agar sumpahnya terpenuhi. Karenanya, Sunda menjadi salah satu wilayah yang belum mengakui kebesaran Majapahit, setelah banyak negara di Nusantara melakukannya.

Dalam Gajah Mada: Biografi Politik, arkeolog Agus Aris Munandar berpendapat, bagi Majapahit, Kerajaan Sunda punya posisi yang unik. Tak mudah bagi mereka menaklukannya sebagaimana terhadap Bali atau Lombok.

“Tak terbayang apabila armada dan tentara Majapahit harus menyerang Kerajaan Sunda,” kata Agus.

Sunda adalah kerajaan tersendiri yang bebas merdeka. Pada masa itu ada anggapan, Sunda merupakan wilayah yang harus dihormati. Tak layak ditaklukkan secara militer.

Menurut Agus dasar pemikiran itu mungkin disandarkan kepada pernyataan dalam Prasasti Raja Sri Jayabhupati dari abad 11 M. Prasasti berbahasa Jawa Kuno ini ada di wilayah Sukabumi.

Di dalamnya disebutkan gelar yang mirip dengan Airlangga, yaitu Jayabhupati haji ri Sunda (Raja Sunda). “Jadi sebenarnya raja-raja Sunda keturunan Jayabhupati sejatinya masih bekerabat dengan para penguasa di Jawa Timur dalam masa yang kemudian,” jelas Agus.

Wilayah Jawa bagian barat tempat berkembangnya Kerajaan Sunda itu juga merupakan wilayah peradaban tua. Kerajaan yang bercorak kebudayaan India pertama kali muncul di Jawa bagian barat, yaitu Tarumanegara.

Wilayah barat Majapahit itu dulunya juga ada di bawah kekuasaan Sanjaya. Raja pertama Mataram Kuno ini, berdasarkan prasastinya, merupakan yang pertama menyebarkan agama Hindu Trimurti. Agama ini terus dikenal hingga masa Majapahit.

“Sanjaya dapat dipandang sebagai penyeru agama Hindu-Saiva di Jawa, karena itu bekas daerah kekuasaannya tetap harus dihormati,” lanjut Agus.

Gajah Mada juga segan ketika mengingat wilayah Sunda sebagai wilayah yang aman dan stabil. Bahkan, ketika wilayah Timur terus menerus dilanda kerusuhan dan peperangan sejak masa Airlangga, Janggala-Panjalu, Kadiri, Singhasari, hingga masa Tribhuwanattunggadewi.

Penduduk wilayah Kerajaan Sunda tampak tidak ditakutkan dengan berbagai peperangan. Karenanya Gajah Mada khawatir jika pihaknya begitu saja menyerang Sunda dalam perang terbuka, mereka bakal kalah.

Lagipula secara politik hubungan antara Sunda dan Majapahit baik-baik saja. Hanya saja para penguasa Sunda tidak pernah mau tunduk di bawah Majapahit.

Peluang itu akhirnya datang, ketika putri raja Sunda, Dyah Pitaloka akan menikah dengan Hayam Wuruk, raja Majapahit. Sumber Pararaton, Kidung Sunda, Kidung Sundayana, dan Carita Parahyangan mencatat keberangkatan raja Sunda beserta rombongannya ke Majapahit untuk mengantar sang putri.

Inilah kesempatan Gajah Mada untuk menuntaskan sumpahnya. Dia membuat strategi politik dengan menafsirkan kedatangan orang nomor satu Kerajaan Sunda itu sebagai pernyataan tunduk. Dia meminta sang putri sebagai persembahan dari Sunda ke Majapahit.

Rombongan Kerajaan Sunda tentu saja menolak tunduk. Pernikahan pun gagal dan terjadilah Peristiwa Bubat. Kendati demikian, Kerajaan Sunda tetap tak berhasil ditaklukkan. Bahkan, kerajaan itu baru binasa 60 tahun setelah Majapahit runtuh pada 1519 (Menurut Hasan Djafar, runtuhnya Majapahit ditandai penguasaan Majapahit oleh Dipati Unus, sedangkan selama ini dikenal tahun runtuhnya Majapahit pada tahun 1478 M).

Gajah Mada (Majapahit) Segan terhadap Kerajaan Sunda?

Pendapat Slamet Mulayani bahwa Gajah Mada, dalam ini mewakili Majapahit, segan terhadap Kerajaan Sunda karena leluhurnya yang harus dihormati. Benarkah demikian? Bukankah Kediri dan Singosari adalah leluhur dan kerabat terdekatnya? Mengapa justru wilayh-wilayah tersebut menjadi bagian dari wilayah yang ditaklukannya.

Relasi kerajaan atau negara dari zaman kuno hingga modern ini hampir sama saja. Kepentingan pihak-pihak yang mentukan pola hubungan itu. Pola hubungan antar-negara atau kerajaan bisa bersifat client-patron, dimana ada bawahan dan pihak lain menjadi yang dipertuan agung. Bisa juga pola hubungan antar-kerajaan bersifat mitra-satata alias sejajar. Mengacu pada dasar pola hubungan ini, Kerajaan Pajajaran dan Majapahit bisa dipandang sebagai "mitra-satata". Selama Majapahit eksis, Kerajaan Sunda tidak pernah ditaklukan oleh Majapahit. Padahal dalam sumpah palapa, Kerajaan Sunda disebutkan sebagai target persatuan Nusantara di bawah panji Majapahit.

Mengapa tidak dilakukan penyerangan terbuka oleh Kerajaan Majapahit terhadap Kerajaan Sunda? Analisis bahwa Gajah Mada atau Hayam Wuruk segan terhadap Kerajaan Sunda sebagai leluhurnya, rupanya terlalu sederhana. Adanya hambatan atau perhitungan militer untuk melakukan serangan atau tidak lebih masuk akal terhadap keputusan tindakan pasukan Bhayangkara Majapahit. hal ini lebih masuk akal. Namun demikian, secara umum belum ada Sejarawan yang secara tegas menyebutkan alasannya.

Lihat juga versi videonya...



Adanya prasasti yang mendukung hipotesis bahwa pertimbangan kekuatan militer kerajaan Sunda bisa kita jadikan dasar pertimbangan alasan Majapahit tidak menyerang Kerajaan Sunda.

Prasasti Geger Hanjuang tahun 1111 M dari Tasikmalaya misalnya, menjelaskan persiapan militer oleh Penguasa Galunggung (Galuh) yaitu batari Hyang Janapati dalam persiapan kemungkinan serangan Kerajaan Sunda. Naskah Amanat Galunggung juga menceritakan pembuatan parit-parit pertahanan militer Galuh. Di Pakuan (Sunda) juga membangun parit-parit pertahanan dan penyediaan asrama-asrama prajurit militer Kerajaan Sunda. Ditambah lagi disebutnya 20 strategi perang Kerajaan Sunda dalam Naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian. Semua itu dapat menjadi gambaran bagi kita bahwa kekuatan militer Kerajaan Sunda sangat tangguh.

Pusat persenjataan Kerajaan Sunda berada di Mandala Kandangwesi.  Kandangwesi juga disebut sebagai kerajaan Kandangwesi, sebuah wilayah merdeka di tatar Pasundan. Lokasinya berada di Garut selatan sekarang ini. Pemimpinnya disebut juga sebagai Rajamandaa. "Rajamandala" (atau "Raja-mandala"; lingkaran negara) dirumuskan oleh penulis India Kautilya dalam karyanya tentang politik, Arthashastra (ditulis antara abad ke-4 dan abad ke-2 SM). Ini menggambarkan lingkaran negara sahabat dan musuh yang mengelilingi negara raja (Ayatrohaedi, 1986).

Kandang Wesi sudah lama ada bahkan disebut sebagai daerah tertua dengan sebutan puseur bumi yang memiliki beberapa keunikan sebuah rahasia (nyireupeun). Dalam babad atau sejarah lisan menyebutkan bahwa Kandang Wesi telah memiliki para ahli ilmu dibidang najum dan kanuragan serta beberapa empu pembuat perkakas, yang diperkirakan tahun 720 M. Kandangwesi dikenal sebagai pusat cacandrang atau persenjataan perang. Selain itu juga Kandangwesi membuat santana-santana (obor penerang), alat rumah tangga dan menciptakan para tukang Panday (pembuat besi).

Wilayah kandangwesi disebut “Nyamune Asekan” terbukanya daerah kandang wesi yang disilokakan sebagai “Buni Nagara Selop Pandan”  diartikan sebuah Negara tersembunyi tanpa kekuasaan atau pada patakonan carita buhun.

Sumber asing juga bisa digunakan sebagai bahan analisis data. Misalnya catatan Tome Pires, penjelajah Portugis, dalam catatannya, Suma Oriental pada abad ke-16 meberitakan mengenai Kerajaan Sunda. Saat itu, luas wilayah kerajaan Sunda terdiri adalah 1/2 pulau Jawa atau 1/3 Pulau Jawa ditambah 1/8-nya. kekuatan militernya adalah besarnya jumlah prajurit Kerajaan Sunda sebanyak 100.000 orang prajurit (lebih dari 20 Batalion). Sebuah kekuatan besar. Di perairan juga kerajaan Sunda memiliki kapal-kapal Jung (kapal raksasa) yang disebut Jung Sasanga.

Tome Pires kerap membandingkan Sunda dengan Jawa. Menurutnya orang Sunda selalu bersaing dengan orang Jawa. Begitupun orang Jawa selalu ingin bersaing dengan mereka. Dalam keseharian, orang Jawa dan Sunda tidak banyak berteman. Namun tidak pula bermusuhan. Mereka mengurus urusan masing-masing. Mereka saling berdagang. Mereka bertemu di pelabuhan Cimanuk. Pelabuhan ini berada di bawah kekuasaan Raja Sunda. Cimanuk menjalankan perdagangan yang baik, di mana Jawa juga berdagang dengannya.

Jika menurut Pires perbatasan Sunda-Jawa pada abad ke-16 berada di Sungai Cimanuk, yang kini mengaliri wilayah Indramayu hingga Garut, itu berbeda pada masa yang lebih tua. Wilayah Kerajaan Sunda pada masa Pires sepertinya menyempit jika dibandingkan keterangan dalam catatan perjalanan Bujangga Manik. Catatan Bujangga Manik tak banyak membandingkan kedua negara itu, sebagaimana yang dilakukan Pires.

Pada abad ke-16 di saat Tome Pires datang, di Pulau Jawa sudah ada para penganut Islam. Di sana ada sebuah kota yang besar dan bagus. Para kapten dan penguasa di pelabuhan ini merupakan tokoh penting. Mereka semua ditakuti dan dipatuhi oleh penduduk yang hidup di wilayahnya masing-masing.

Banyak orang Moor, sebutan Pires bagi orang muslim, tinggal di perbatasan kerajaan itu. Kerajaan Sunda tak memberi izin bagi orang Moor untuk masuk ke wilayah mereka. Kecuali bagi sedikit saja dari mereka.

Melihat gambaran Pires bahwa orang Sunda dan Jawa selalu bersaing adalah hal yang tidak menjadi alasan Gajah Mada segan terhadap Kerajaan Sunda yang disebabkan oleh penghormatan terhadap leluhur. Bisa jadi tidak dilakukan penyerangan dan usaha penaklukan Kerajaan Sunda oleh Majapahit oleh karena pertimbangan keseimbangan kekuatan militernya.


Referensi

  1. Djafar, Hasan. 2009. "Masa akhir Majapahit: Girindrawarddhana & masalahnya". Depok: Komunitas Bambu
  2. "Gajah Mada Segan pada Kerajaan Sunda" oleh Risa Herdahita Putri dalam Historia.id Diakses 13 Nopember 2019.
  3. "Kondisi Perbatasan Sunda dan Jawa" oleh Risa Herdahita Putri dalam Historia.id Diakses 13 Nopember 2019.
  4. "Menertawakan Sumpah Palapa Gajah Mada" oleh Hendri F. Isnaeni dalam historia.id Diakes 13 Nopember 2019.
  5. Atja & Saleh Danasasmita. 1981, "Sanghyang Siksakanda ng Karesian: Naskah Sunda Kuno Tahun 1518 Masehi". Bandung: Proyek Permusieuman Jawa Barat.
  6. _____________________. 1981, Amanat Dari Galunggung: Kropak 632 dari Kabuyutan Ciburuy,Bayongbong-Garut. Bandung: LKUP.
  7.     Ayatrohaedi, 1975. “ Masyarakat Sunda Sebelum Islam”, BJ. 86:412-423.
  8. _________. 1986. "Kepribadian budaya bangsa (local genius)." Jakarta: Dunia Pustaka jaya
  9. Ayatrohaedi. 2005. "Sundakala, Cuplikan Sejarah Sunda Berdasar Naskah-naskah Panitia Wangsakerta Cirebon." Jakarta: Pustaka Jaya.
  10. Darsa, Undang A. & Edi S. Ekadjati, 1995 . "Fragmen Carita Parahyangan dan Carita Parahyangan (Kropak-406): Pengantar dan Transliterasi". Jakarta: Yayasan Kebudayaan Nusantara.
  11. Darsa, Undang A. 2004. “Kropak 406; Carita Parahyangan dan Fragmen Carita Parahyangan“, Makalah disampaikan dalam Kegiatan Bedah Naskah Kuno yang diselenggarakan oleh Balai Pengelolaan Museum Negeri Sri Baduga. Bandung-Jatinangor: Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran: hlm. 1 – 23.
  12. Danasasmita, Saleh & Anis Djatisunda, 1986. "Studi tentang Penggunaan Ruang dalam Kehidupan Komunitas Baduy Desa Kanekes Kec Leuwidamar Kabupaten lebak banten: Makalah Universitas Indonesia"
  13. "Kandangwesi".buwananusantara.blogspot.co.id ditulis Budi Wahana. Diakses 30 April 2018.
  14. Muljana, Slamet. 1979. "Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya". Jakata:  Bhratara Karya Aksara.
  15. Munandar, Agus Aris. 2010. "Gajah Mada: Biografi Politik". Depok: Komunitas Bambu 

Baca Juga

Sponsor