Dalam sejarah Cilacap, Kerajaan Nusatembini disebut sebagai kerajaan atau keraton “siluman” yang memiliki daerah amat luas membujur dari bagian timur ke barat memutar sepanjang pantai selatan laut serta menghadap membujurnya Pulau Nusakambangan. (Soedarto,1975:1). Keraton ini dipimpin oleh seorang Ratu berparas amat cantik, bijaksana, serta halus budi dalam memerintah sehingga Ratu Brantarara sangat dicintai oleh segenap rakyatnya (Soedarto, 1975:2). Sebelum dipimpin oleh Ratu Brantarara, kerajaan Nusatembini diperintah oleh seorang raja yang gagah perkasa bernama Prabu Pulebahas. Gelar-gelaryang diberikan kepada Raja Nusakambangan terdapat dalam Babad Pasir.
Pada masa Hindu-Budha terdapat kelaziman menggunakan abhisekanama atau julukan seorang raja berdasarkan kekuatannya atau nama-nama dewadi Pulau Jawa, seperti Purnnawarmman berarti "baju perang (besi) yang sempurna", julukan bagi Dewa Surya; Isanatunggawijaya berarti "Dewa Siwa yang senantiasa menang"; Banyak Catra berarti "angsa berpayung", julukan bagi Dewa Brahma; Niskala Wastukancana berarti "wujud keemasan yang tidak nyata = Siwa" (Munandar, 2017:20). Berdasarkan kajian epigrafis, abhiseka Pulebahas dalam Babad Nusa Tembini perlu dikaji ulang. Berdasarkan Kamus Sansekerta – Indonesia oleh Dr. Purwadi, M.Hum, didapatkan penjelasan sebagai berikut.
Berdasarkan Kamus Sansekerta-Indonesia di atas, Pulebahas yang disebutkan dalam Babad Nusatembini perlu dikaji ulang penamaannya dengan Pulebahar. Pulebahas berasal dari kata pule dan bahas, yang berarti pulau dan bahas (runding). Hal ini tidak sesuai dengan kegagahan Nusatembini sebagai kerajaan maritim di pesisir selatan Jawa. Abhisekanama yang lebih tepat adalah Pulebahar yang berarti penguasa pulau di lautan atau samudera sebagai manifestasi Dewa Varuna, penguasa lautan dan samudera. Bahasa Sansekerta menyebutkan “var” berarti membentang atau menutup, yang kemudian dihubungkan dengan samudera yang menutupi seluruh permukaan bumi. Tokoh lain seperti Jurangbahas dan Parungbahas akan lebih tepat menggunakan bahasa Sansekerta Jurangbahar dan Parungbahar, yang menunjukkan arti keadaan lautan sekitar Nusa Tembini yang dalam (Jurangbahar) dan lautan dangkal/tidak begitu dalam (Parungbahar). Termasuk abhiseka Ratu Brantarara yang memuat gelar perempuan dan asmara, memuat arti bahwa Ratu Brantarara merupakan seorang ratu cantik jelita yang mudah membuat orang jatuh hati atau memendam asmara. Peristiwa yang dialami utusan kerajaan Pajajaran pada saat jatuh cinta dengan Dewi Sri Wulan menjadi bukti tepatnya abhiseka ketika bergelar Ratu Brantarara. Penamaan tokoh yang sesuai diharapkan dapat memberi jati diri masyarakat Cilacap lebih mantap dan membanggakan.
Oleh beberapa sejarahwan, Keraton Nusatembini ini sering diidentikkan dengan Kerajaan Nusakambangan (Priyadi, 2013:77). Teks Babad Pasir menyebutkan Kerajaan Nusakambangan terletak di sebelah selatan Pasirluhur yang dikelilingi oleh laut, sehingga disebut sebagai Negeri Nusakambangan, yang merujuk pada pulau terapung di tengah laut. Bagian utara kerajaan Nusakambangan dibatasi Segara Anakan, bagian selatannya adalah lautan sangat luas, sedangkan bagian timur dan baratnya menyatu dengan Lautan Selatan (kini Samudera Hindia). Pada bagian barat pertemuan antara Lautan Selatan dengan Segara Anakan bertepatan dengan muara Sungai Citandui sehingga memiliki interaksi sosial dengan masyarakat Sunda. Pigeaud (1968) juga berpendapat bahwa Nusakambangan terkait situs-situs di daerah Jawa Barat bagian timur, khususnya adalah Kerajaan Pajajaran (Priyadi, 2013:78).
Keraton Nusatembini ini memiliki benteng pertahanan sangat kokoh karena terdapat rumpun bambu berlapis rapat yang mengelilingi Keraton Nusatembini disebut Baluwarti Pring Ori Pitung Sap, bahkan pada saat utusan Raja Pajajaran akan memasuki wilayah Keraton Nusatembini, mereka harus menempuh perjalanan melalui hutan belantara dan rawa-rawa yang luas sebagai pagar keraton.
Dalam Babad Pasir disebutkan bahwa Banyak Catra alias Kamandaka sebagai tokoh sentral legendaris dalam Babad Pasir pernah berhadapan dengan seorang Raja Nusakambangan, yaitu Pulebahas. Tokoh Banyak Catra sendiri merupakan keturunan Raja Pajajaran yang mendatangi Pasirluhur untuk meminang Ciptarasa, putri bungsi Adipati Pasirluhur, Kandha Daha. Perilaku tidak senonoh Banyak Catra terhadap Ciptarasa mendapat tentangan keras dari Sang Adipati sehingga Banyak Catra harus melarikan diri ke Pajajaran kembali setelah dikira mati.
Prabu Siliwangi, ayahanda Banyak Catra yang telah tua ternyata memiliki dua putra mahkota, Banyak Catra dan Banyak Belabur, sehingga keduanya diminta memenuhi syarat sayembara putri kembar empat puluh orang. Untuk kedua kalinya Kamandaka, nama samaran Banyak Catra, kembali ke Pasirluhur dengan memakai tipuan Lutung Kasarung. Proses sayembara Ciptarasa di Pasirluhur inilah yang mempertemukan Kamandaka dengan Raja Pulebahas dari Nusakambangan. Kamandaka berperang melawan Nusakambangan dalam dua tahap. Tahap pertama, melawan tritunggal Nusakambangan yakni Raja Pulebahas, Jurangbahas dan Parungbahas, tahap selanjutnya melawan tritunggal di lautan, Surajaladri, Jayasamodra, dan Singalaut yang seluruhnya mati di tangan Kamandaka dengan cara yang licik. Kematian tokoh-tokoh sentral Nusakambangan ini membuat marah pihak kerajaan Nusakambangan. Pihak Nusakambangan menilai bahwa sayembara perkawinan Pasirluhur menyebabkan kematian Raja Pulebahas, sehingga orang-orang Nusakambangan menuntut balas dendam, menyerang Pasirluhur namun kemudian meninggal.
Surajaladri, Jayasamodra, dan Singalaut yang seluruhnya mati di tangan Kamandaka dengan cara yang licik. Kematian tokoh-tokoh sentral Nusakambangan ini membuat marah pihak kerajaan Nusakambangan. Pihak Nusakambangan menilai bahwa sayembara perkawinan Pasirluhur menyebabkan kematian Raja Pulebahas, sehingga orang-orang Nusakambangan menuntut balas dendam, menyerang Pasirluhur namun kemudian meninggal. Kematian tokoh sentral tersebut melumpuhkan kekuatan Nusa Tembini sebagai kerajaan maritim di belahan selatan Pulau Jawa. Pemusnahan mereka dilakukan dengan cara tidak ksatria, khususnya Pulebahas. Pulebahas terbunuh ketika ia hendak melakukan upacara perkawinannya. Ada tipu daya dalam peristiwa perkawinan itu. Di pihak lain, Kamandaka (Banyak Catra) harus memetik buah hasil tindakannya itu. Ia kehilangan hak untuk menduduki tahta Kerajaan Pajajaran, meskipun ia seorang Putra Mahkota. Ia tersingkir dari negerinya sendiri. Kegagalan itu ditumpahkan dengan cara memerangi orang-orang Nusa Tembini yang mempunyai dendam atas kematian tuannya. Di sini, ada unjuk kekuatan Pajajaran atas Nusa Tembini. Orang-orang Nusa Tembini diberantas sampai ke akar-akarnya sehingga lumpuh.
Menurut kajian sejarah, peristiwa ini merupakan salah satu latar belakang penyebab runtuhnya kerajaan Nusakambangan atau Nusatembini sekitar tahun 1500-an (pada saat Banyak Belabur naik takhta menggantikan Prabu Siliwangi sekitar tahun 1521-1535 Masehi), sehingga Ratu Brantarara harus memindahkan pusat kerajaan Nusa Tembini ke sebelah utara dekat Segara Anakan dan kemudian mendapat serangan dari Patih Tilandanu dari Pajajaran.
Oleh beberapa sejarahwan, Keraton Nusatembini ini sering diidentikkan dengan Kerajaan Nusakambangan (Priyadi, 2013:77). Teks Babad Pasir menyebutkan Kerajaan Nusakambangan terletak di sebelah selatan Pasirluhur yang dikelilingi oleh laut, sehingga disebut sebagai Negeri Nusakambangan, yang merujuk pada pulau terapung di tengah laut. Bagian utara kerajaan Nusakambangan dibatasi Segara Anakan, bagian selatannya adalah lautan sangat luas, sedangkan bagian timur dan baratnya menyatu dengan Lautan Selatan (kini Samudera Hindia). Pada bagian barat pertemuan antara Lautan Selatan dengan Segara Anakan bertepatan dengan muara Sungai Citandui sehingga memiliki interaksi sosial dengan masyarakat Sunda. Pigeaud (1968) juga berpendapat bahwa Nusakambangan terkait situs-situs di daerah Jawa Barat bagian timur, khususnya adalah Kerajaan Pajajaran (Priyadi, 2013:78).
Keraton Nusatembini ini memiliki benteng pertahanan sangat kokoh karena terdapat rumpun bambu berlapis rapat yang mengelilingi Keraton Nusatembini disebut Baluwarti Pring Ori Pitung Sap, bahkan pada saat utusan Raja Pajajaran akan memasuki wilayah Keraton Nusatembini, mereka harus menempuh perjalanan melalui hutan belantara dan rawa-rawa yang luas sebagai pagar keraton.
Dalam Babad Pasir disebutkan bahwa Banyak Catra alias Kamandaka sebagai tokoh sentral legendaris dalam Babad Pasir pernah berhadapan dengan seorang Raja Nusakambangan, yaitu Pulebahas. Tokoh Banyak Catra sendiri merupakan keturunan Raja Pajajaran yang mendatangi Pasirluhur untuk meminang Ciptarasa, putri bungsi Adipati Pasirluhur, Kandha Daha. Perilaku tidak senonoh Banyak Catra terhadap Ciptarasa mendapat tentangan keras dari Sang Adipati sehingga Banyak Catra harus melarikan diri ke Pajajaran kembali setelah dikira mati.
Prabu Siliwangi, ayahanda Banyak Catra yang telah tua ternyata memiliki dua putra mahkota, Banyak Catra dan Banyak Belabur, sehingga keduanya diminta memenuhi syarat sayembara putri kembar empat puluh orang. Untuk kedua kalinya Kamandaka, nama samaran Banyak Catra, kembali ke Pasirluhur dengan memakai tipuan Lutung Kasarung. Proses sayembara Ciptarasa di Pasirluhur inilah yang mempertemukan Kamandaka dengan Raja Pulebahas dari Nusakambangan. Kamandaka berperang melawan Nusakambangan dalam dua tahap. Tahap pertama, melawan tritunggal Nusakambangan yakni Raja Pulebahas, Jurangbahas dan Parungbahas, tahap selanjutnya melawan tritunggal di lautan, Surajaladri, Jayasamodra, dan Singalaut yang seluruhnya mati di tangan Kamandaka dengan cara yang licik. Kematian tokoh-tokoh sentral Nusakambangan ini membuat marah pihak kerajaan Nusakambangan. Pihak Nusakambangan menilai bahwa sayembara perkawinan Pasirluhur menyebabkan kematian Raja Pulebahas, sehingga orang-orang Nusakambangan menuntut balas dendam, menyerang Pasirluhur namun kemudian meninggal.
Surajaladri, Jayasamodra, dan Singalaut yang seluruhnya mati di tangan Kamandaka dengan cara yang licik. Kematian tokoh-tokoh sentral Nusakambangan ini membuat marah pihak kerajaan Nusakambangan. Pihak Nusakambangan menilai bahwa sayembara perkawinan Pasirluhur menyebabkan kematian Raja Pulebahas, sehingga orang-orang Nusakambangan menuntut balas dendam, menyerang Pasirluhur namun kemudian meninggal. Kematian tokoh sentral tersebut melumpuhkan kekuatan Nusa Tembini sebagai kerajaan maritim di belahan selatan Pulau Jawa. Pemusnahan mereka dilakukan dengan cara tidak ksatria, khususnya Pulebahas. Pulebahas terbunuh ketika ia hendak melakukan upacara perkawinannya. Ada tipu daya dalam peristiwa perkawinan itu. Di pihak lain, Kamandaka (Banyak Catra) harus memetik buah hasil tindakannya itu. Ia kehilangan hak untuk menduduki tahta Kerajaan Pajajaran, meskipun ia seorang Putra Mahkota. Ia tersingkir dari negerinya sendiri. Kegagalan itu ditumpahkan dengan cara memerangi orang-orang Nusa Tembini yang mempunyai dendam atas kematian tuannya. Di sini, ada unjuk kekuatan Pajajaran atas Nusa Tembini. Orang-orang Nusa Tembini diberantas sampai ke akar-akarnya sehingga lumpuh.
Menurut kajian sejarah, peristiwa ini merupakan salah satu latar belakang penyebab runtuhnya kerajaan Nusakambangan atau Nusatembini sekitar tahun 1500-an (pada saat Banyak Belabur naik takhta menggantikan Prabu Siliwangi sekitar tahun 1521-1535 Masehi), sehingga Ratu Brantarara harus memindahkan pusat kerajaan Nusa Tembini ke sebelah utara dekat Segara Anakan dan kemudian mendapat serangan dari Patih Tilandanu dari Pajajaran.
![]() |
Prasasti Batutulis Bogor. Foto tahun 1920 |
Prasasti Batutulis tersebut ditulis oleh Surawisesa anak Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja, yang dinterpretasikan sebagai Banyak Belabur dalam teks Babad Pasir karena berangka tahun yang berdekatan atau hampir sama masanya. Setelah Banyak Belabur berkuasa di Pajajaran, pemerintahannya mengalami ujian berupa wabah penyakit yang harus diobati dengan air mata kuda sembrani milik adik Pulebahas, yaitu Dewi Sri Wulan, atau dalam Babad Nusatembini disebut Ratu Brantarara. Utusan Raja Pajajaran tersebut dikirim untuk meminta air mata kuda sembrani peliharaan Ratu Brantarara.
Nama “Pajajaran” sebelum abad ke-15 tak pernah tertulis dalam sumber sejarah mana pun. Sumber-sumber seperti Pararaton dan Nagarakretagama menyebutnya sebagai Kerajaan “Sunda” yang merupakan negara merdeka di Jawa bagian barat. Begitu pula Prasasti Cibadak dan Kawali “masih” menyebut Kerajaan Sunda. Baru pada abad ke-16 dan seterusnya nama Pajajaran tertulis dalam beberapa prasasti dan naskah-naskah seperti Carita Parahyangan yang disusun tahun 1580. Nama Pajajaran makin terabadikan melalui pantun-pantun Sunda serta babad-babad yang ditulis beberapa abad kemudian di mana eksistensi politik Pajajaran tinggal nama.
Kerajaan Pajajaran sendiri telah disebut dalam Prasasti Batutulis Bogor dan terdapat pada Prasasti Kebantenan. Prasasti Batutulis memuat angka tahun dalam bentuk Candrasangkala, yang secara lengkap berbunyi sebagai berikut: (1) “wang na pun, ini sakakala prabu ratu purana pun, diwastu; (2) diva wingaran (1. dingaran) prabu guru dewataprana diwastu dija dingaran sri; (3) baduga, maha raja ratu haji dipakwan Pajajaran. Sri sang ratu; (4) dewata pun ya nu nyusuk na pakwan, dija anak rahiyang; (5) niskala sasida mokta di guna tiga, i (n) cu rahiyang niskala wastu; (6) ka (n) cana sasida mokta ka nusa lara (ng) ya siya nu nyiyan; (7) sakakala gugunungan ngabalay ngiyan samida nyiyan Sa (ng) hiyang talaga; (8) rena maha wijaya ya siya pun, i saka panca pandawa ngemban bumi.”.
Kerajaan Pajajaran sendiri telah disebut dalam Prasasti Batutulis Bogor dan terdapat pada Prasasti Kebantenan. Prasasti Batutulis memuat angka tahun dalam bentuk Candrasangkala, yang secara lengkap berbunyi sebagai berikut: (1) “wang na pun, ini sakakala prabu ratu purana pun, diwastu; (2) diva wingaran (1. dingaran) prabu guru dewataprana diwastu dija dingaran sri; (3) baduga, maha raja ratu haji dipakwan Pajajaran. Sri sang ratu; (4) dewata pun ya nu nyusuk na pakwan, dija anak rahiyang; (5) niskala sasida mokta di guna tiga, i (n) cu rahiyang niskala wastu; (6) ka (n) cana sasida mokta ka nusa lara (ng) ya siya nu nyiyan; (7) sakakala gugunungan ngabalay ngiyan samida nyiyan Sa (ng) hiyang talaga; (8) rena maha wijaya ya siya pun, i saka panca pandawa ngemban bumi.”.
C.M Pleyte menafsirkan berdirinya Kerajaan Pajajaran tersebut pada sekitar 1445 Masehi atau 1533 Masehi (2014). Isi prasasti Batutulis, dapat dibagi menjadi tiga bagian: pembuka (manggala) yang memuat seruan wang na pun dan permohonan keselamatan kepada Dewa; tujuan (sambandha) pembuatan prasasti sebagai sakakala atau tanda peringatan untuk mendiang Sri Baduga Maharaja atas jasanya dalam membuat parit pertahanan sekeliling ibukota Pakuan-Pajajaran, membuat jalan yang diurug batu, membuat hutan larangan (samida), dan membuat Telaga Warna Mahawijaya; titimangsa atau candrasengkala bertulis panca pandawa ngemban bumi berangka 1455 Çaka atau 1533 M. (Hasan, 2015)
Benang merah antara Ratu Brantarara dengan Kerajaan Pajajaran sangatlah erat. Sebagai keturunan kelima Prabu Pajajaran, antara kerajaan Nusatembini dan Pajajaran sebetulnya memiliki pola interaksi yang terjalin sangat lama. Bahkan kerajaan Pajajaran sebagai wilayah pedalaman, telah berhubungan erat dengan wilayah-wilayah lain di sekitar pesisir selatan barat Jawa. Interaksi lain tampak pada kearifan lokal serupa antara masyarakatnya dengan adanya penggunaan istilah Baluwarti Pring Ori Pitung Sap oleh kerajaan Nusatembini yang menunjukkan pentingnya potensi alam bambu dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Cilacap bahkan juga pada masyarakat Sunda, yang salah satunya terwujud dalam kearifan lokal permainan atau dolanan anak-anak.
Pola kepercayaan masyarakat juga menunjukkan adanya benang merah antara kerajaan Nusatembini dengan Kerajaan Pajajaran, yaitu sama-sama menganut agama Hindu, khususnya Hindu Siwa di wilayah Cilacap, terlebih dengan adanya situs peninggalan berupa Lingga Yoni danpatung Lembu Andini, tunggangan Dewa Siwa, di wilayah Cilongkrang, Wanareja, Cilacap. Sedangkan pada wilayah Pajajaran dibuktikan dengan adanya Prasasti Kawali keempat dan kelima yang merupakan penjelasan terhadap lingga sebagai objek pemujaan terhadap Dewa Siwa sehingga muncul nama Sang Hyang Lingga Hyang dan Sang Hyang Lingga Bimba (Priyadi, 2017 : 45).
Pola kepercayaan masyarakat juga menunjukkan adanya benang merah antara kerajaan Nusatembini dengan Kerajaan Pajajaran, yaitu sama-sama menganut agama Hindu, khususnya Hindu Siwa di wilayah Cilacap, terlebih dengan adanya situs peninggalan berupa Lingga Yoni danpatung Lembu Andini, tunggangan Dewa Siwa, di wilayah Cilongkrang, Wanareja, Cilacap. Sedangkan pada wilayah Pajajaran dibuktikan dengan adanya Prasasti Kawali keempat dan kelima yang merupakan penjelasan terhadap lingga sebagai objek pemujaan terhadap Dewa Siwa sehingga muncul nama Sang Hyang Lingga Hyang dan Sang Hyang Lingga Bimba (Priyadi, 2017 : 45).
Situs Cilongkrang
Pada situs ini ditemukan batu Yoni dengan ukuran panjang 86 cm lebar 85 cm dan cekungan sedalam 29 cm yang terpecah menjadi empat bagian, patung Lembu Andini sepanjang 75 cm pecah menjadi dua bagian, satu batu pipisan dengan ukuran 40 cm lebar 30 cm. Sedangkan keberadaan Lingga ditemukan dua buah yang letaknya cukup jauh sekitar 300 meter dari Yoni dengan tinggi sekitar 40 cm.Prasasti Er Hangat menyebutkan “... ika nang uang umulahila iking sima susuk kulumpang.” yang artinya “...siapa saja yang berani merubah atau melanggar status desa perdikan yang ditandai dengan batu lumping.” (Dwiyanto, 2011 : 9). Dalam prasasti Er Hangat, sebuah desa perdikan atau desa yang merdeka ditandai dengan keberadaan lumping atau lumpang. Lumping dapat didefinisikan sebagai sapi atau kerbau, sedangkan lumpang merupakan wadah berupa bejana yang berlekuk di tengahnya.
Secara teritorial, batas wilayah dalam kerajaan Sunda dikenal dengan "Mandala" atau “Kabuyutan”. Teritorial itu sendiri tidak dikenali di Jawa (dan umumnya Asia Tenggara) di masa lampau. Sebagaimana keyakinan OW Wolters (1982) terhadap Mandala Mandala yang diyakini Wolters sebagai bentuk pengaturan lama di Asia Tenggara dalam penyataan berikut “...an unstable circle of kings in a territory without fixed border” (dalam Marr & Millner. 1986; 68, bandingkan dengan Hok Ham 2002: 235). Akibat ketiadaan konsep territorial yang fix atau disepakati, George Coedes berpendapat bahwa “daftar negeri-negeri bawahan dari Ayutthya (kerajan di Thailand dibawah Ramadhipati)... sebagian saling tumpang tindih di bagian selatan Semenanjung Tanah Melayu” (2010(1964); 315).
Sementara Atja & Danasasmita (1981:62) juga mencatat bahwa kesatuan politis di Sunda tidak mempertimbangkan teritorial. Menurutnya, kesatuan politis lebih mengutamakan manarekha yang diambil dari kata Sanskrit (mana= memikirkan, menduga, menghitung; dan rekh = catat, gores). Istilah Manarekha ini menurut mereka adalah sama dengan cacah.
Berdasarkan kajian geografis, sungai Citandui yang berada di sekitar Situs Cilongkrang merupakan jalan masuk ke wilayah Nusatembini. Wilayah perlintasan yang strategis menjadi jalan masuk melalui Segara Anakan, bahkan melalui hutan belantara dan rawa-rawa. Hingga kini terdapat rawa abadi (rawa yang selalu tergenang) di wilayah desa Madura, Wanareja. Diperkirakan makin ke selatan, wilayah Nusatembini sulit ditembus dan makin berbahaya dengan adanya rawa-rawa yang sangat luas. Bahkan pada wilayah pusat kerajaan terdapat benteng berlapis tujuh makin memperkuat pertahanan kerajaan Nusatembini.
Sementara Atja & Danasasmita (1981:62) juga mencatat bahwa kesatuan politis di Sunda tidak mempertimbangkan teritorial. Menurutnya, kesatuan politis lebih mengutamakan manarekha yang diambil dari kata Sanskrit (mana= memikirkan, menduga, menghitung; dan rekh = catat, gores). Istilah Manarekha ini menurut mereka adalah sama dengan cacah.
Berdasarkan kajian geografis, sungai Citandui yang berada di sekitar Situs Cilongkrang merupakan jalan masuk ke wilayah Nusatembini. Wilayah perlintasan yang strategis menjadi jalan masuk melalui Segara Anakan, bahkan melalui hutan belantara dan rawa-rawa. Hingga kini terdapat rawa abadi (rawa yang selalu tergenang) di wilayah desa Madura, Wanareja. Diperkirakan makin ke selatan, wilayah Nusatembini sulit ditembus dan makin berbahaya dengan adanya rawa-rawa yang sangat luas. Bahkan pada wilayah pusat kerajaan terdapat benteng berlapis tujuh makin memperkuat pertahanan kerajaan Nusatembini.
Keberadaan benda purbakala berupa Lingga Yoni dan patung Lembu Andini di desa Cilongkrang merupakan sebuah Mandala atau penanda bahwa wilayah tersebut adalah wilayah yang merdeka (perdikan) pada masa Hindu yang kemungkinan merupakan peninggalan kerajaan Sunda (atau Galuh atau Pajajaran) di Kabupaten Cilacap, khususnya yang bercorak Hindu Siwa.
Yoni yang terdapat pada situs Cilongkrang menghadap ke arah barat sejajar arah hadap dengan patung Lembu Andini. Oleh karena masa yang begitu lama, kemungkinan letak cerat Yoni berpindah atau memiliki maksud lain yang perlu dikaji lebih lanjut. Sedangkan Lingga yang letaknya berjauhan mirip dengan Lingga pemujaan Dewa Siwa dengan tiga garis pada bagian atasnya.
Beberapa situs di Jawa Barat dan Jawa Tengah ditemukan Lingga Yoni serupa dengan arah hadap ke barat. Misalnya pada situs Lingga Yoni ditemukan peninggalan serupa dengan arah hadap barat yang terletak di Kampung Singdanglengo, Sukamaju Kidul, Kecamatan Indihiang Kota Tasikmalaya di puncak bukit Gunung Kabuyutan. Juga yoni pada situs Liyangan, situs Temanggung yang mirip dengan situs Cilongkrang.
Selain ditemukan Lingga Yoni dan patung Lembu Andini, juga ditemukan batu pipisan atau batu nampan di situs Cilongkrang. Batu pipisan dan penggilingan (gandhik) merupakan alat yang berfungsi untuk menghaluskan ramuan obat atau jamu. Pada beberapa relief di candi Jawa Tengah seperti Candi Borobudur, terdapat relief yang menggambarkan orang yang membuat jamu. Peralatan ini juga dimanfaatkan untuk menggiling makanan dan menghaluskan cat merah. Hingga saat ini, batu pipisan dan gandhik belum pernah ditemukan memiliki hubungan dengan masa prasejarah. Hal ini dapat disimpulkan bahwa secara kronologis sangat dimungkinkan batu pipisan dan gandhik baru ada pada zaman klasik yaitu pada zaman kerajaan Sunda Kuno. Penyebaran pipisan bisa dikatakan merata selain di Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur, namun juga di wilayah lain di Nusantara, mengingat fungsi dari pipisan yang sangat erat kaitannya dengan keseharian suatu peradaban masyarakat.
Hingga saat ini, batu pipisan dan gandhik belum pernah ditemukan memiliki hubungan dengan masa prasejarah. Hal ini dapat disimpulkan bahwa secara kronologis sangat dimungkinkan batu pipisan dan gandhik baru ada pada zaman klasik yaitu pada zaman kerajaan Sunda Kuno. Penyebaran pipisan bisa dikatakan merata selain di Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur, namun juga di wilayah lain di Nusantara, mengingat fungsi dari pipisan yang sangat erat kaitannya dengan keseharian suatu peradaban masyarakat.
Batu pipisan di situs Cilongkrang memiliki bentuk bulat sempurna berpasangan dengan batu di bawahnya. Bentuknya yang berbeda dengan lazimnya batu pipisan pada Gambar di atas menunjukkan tingkatan yang lebih tua dibandingkan dengan batu pipisan jaman Hindu yang berbentuk persegi. Batu pipisan di situs Cilongkrang memiliki bentuk lebih sederhana dan khas seperti pada jaman mesolitikum seperti halnya pebble.
Batu pipisan di situs Cilongkrang memiliki bentuk bulat sempurna berpasangan dengan batu di bawahnya. Bentuknya yang berbeda dengan lazimnya batu pipisan pada Gambar di atas menunjukkan tingkatan yang lebih tua dibandingkan dengan batu pipisan jaman Hindu yang berbentuk persegi. Batu pipisan di situs Cilongkrang memiliki bentuk lebih sederhana dan khas seperti pada jaman mesolitikum seperti halnya pebble.
![]() |
Batu yang memuat tulisan dan ukiran kabur |
Donan
Nama Cilacap relatif masih muda dibanding dengan istilah nama Donan. Dalam naskah Bhujangga Manik dari tahun 1500 M, nama Cilacap belum disebut. Waktu itu telah dikenal nama Donan Kalicung atau istilah sekarang bernama Donan Kalipucang. (Noorduyn, J. Bhujangga Manik‟s Journeys Through Java: Topogropichal data From an Old Sundanese Source).
Dalam peta perjalanan Francois Valentyn, ditulis bahwa nama Cilacap belum disebut, namun justru mengenal nama-nama desa dan sungai seperti Souse River (Sungai Serayu), Lonbong Negory, Dainu, Doman, Calomprit, Oetiong Klang, Kali Kams, Kara Doea, Kali Balampang, Pagalangan, Pasongon, Oeloebontoe, Boeykota, Careong, dan sungai besar ditulisnya dengan istilah De Schey River.Semua tempat dan sungai-sungai tersebut terletak di sebelah Utara Pulau Nusakambangan serta di sebelah Timur dan Utara Segara Anakan.
Dalam peta perjalanan Francois Valentyn, ditulis bahwa nama Cilacap belum disebut, namun justru mengenal nama-nama desa dan sungai seperti Souse River (Sungai Serayu), Lonbong Negory, Dainu, Doman, Calomprit, Oetiong Klang, Kali Kams, Kara Doea, Kali Balampang, Pagalangan, Pasongon, Oeloebontoe, Boeykota, Careong, dan sungai besar ditulisnya dengan istilah De Schey River.Semua tempat dan sungai-sungai tersebut terletak di sebelah Utara Pulau Nusakambangan serta di sebelah Timur dan Utara Segara Anakan.
Baru dalam buku The History of Java Volume Onedari Thomas Stamford Raffles terbit tahun 1817 Masehi, kemudian diterbitkan lagi oleh penerbit Kuala Lumpur, 1978, Oxford University Press. Nama Cilacap baru disebutkan. Petikan aslinya, “To the easward of these districts, and crossing the island from north to south, is the province of Cheribon, divided into the principal,districts. To the South is the island of NOESA KAMBANGAN which from the harbour of Chelachap.”
Dengan demikian dalam Map of Java sebagai catatan Raffles, nama Chelachap dan Donan disebutkan. Peta Raffes ini dibuat pada zaman pemerintahan Inggris di Jawa tahun 1817 Masehi. Berdasarkan bukti sejarah itu, maka nama Cilacap baru muncul antara tahun 1726 Masehi berdasarkan Peta Francois Valentyn, dan tahun 1817 Masehi berdasarkan Peta Raffles.Berdasarkan sumber sejarah tersebut, terdapat keyakinan bahwa Handaonan (Donan, sekarang) merupakan cikal bakal kota Cilacap; menandakan bahwa nama Donan itu lebih tua dibanding nama Cilacap itu sendiri. Hal itu dibuktikan dari bukti prasasti yang ditemukan dan berangka tahun 880 Saka atau di zaman kerajaan Mataram Hindu.
Dengan demikian dalam Map of Java sebagai catatan Raffles, nama Chelachap dan Donan disebutkan. Peta Raffes ini dibuat pada zaman pemerintahan Inggris di Jawa tahun 1817 Masehi. Berdasarkan bukti sejarah itu, maka nama Cilacap baru muncul antara tahun 1726 Masehi berdasarkan Peta Francois Valentyn, dan tahun 1817 Masehi berdasarkan Peta Raffles.Berdasarkan sumber sejarah tersebut, terdapat keyakinan bahwa Handaonan (Donan, sekarang) merupakan cikal bakal kota Cilacap; menandakan bahwa nama Donan itu lebih tua dibanding nama Cilacap itu sendiri. Hal itu dibuktikan dari bukti prasasti yang ditemukan dan berangka tahun 880 Saka atau di zaman kerajaan Mataram Hindu.
Pada prasasti Salingsingan, zaman Mataram Hindu sekitar tahun 856 –882 Masehi, menyebut nama Raja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala yang bertahta waktu itu. Dalam Prasasti Salingsingan, nama Handaonan (atau Donan, sekarang) sudah dikenal. Penggunaan nama Donan sebagai cikal bakal kota Cilacap hingga kini seusia lebih dari 1.130 tahun.
Bukti sejarah lainnya, seperti dalam Prasasti Er Hangat, yang ditemukan di daerah Banjarnegara, terdapat beberapa nama desa yang ada di Kabupaten Cilacap, seperti desa Limo Manis (Jeruklegi), desa Nusa (Nusajati, Nusadadi, Nusawungu, Nusatengah, dan juga Nusapule atau Nusakambangan).
Pada Prasasti Panunggalan, berangka tahun 808 Saka atau 896 Masehi yang ditemukan di daerah Purbalingga dan menggunakan huruf bahasa Jawa Kuno, menyebutkan beberapa nama desa di Kabupaten Cilacap, seperti desa Air Bulang (sekarang desa Bolang, di Kecamatan Dayeuhluhur), dan desa Maddyapura (sekarang desa Madura, di Kecamatan Wanareja). Lebih menarik lagi dari prasasti ini telah menyebutkan adanya kegiatan upacara keagamaan, yakni “Pinaka saksi manghingtu I Danu sang Rakupang“, artinya Sang Rakupang yang menjabat Manghingtu (petugas keagamaan) dari desa Danu (istilah ini berubah menjadi Donan, sebuah nama Kelurahan di wilayah Kecamatan Cilacap Tengah).
Di Kecamatan Kesugihan sendiri pada tahun 1977, juga pernah ditemukan Prasasti Tembaga Luitan yang berangka 823 Saka atau 901 Masehi. Penemuan barang purbakala ini tepatnya di desa Pesanggrahan, Kecamatan Kesugihan, Cilacap. Dalam Prasasti Luitan ini disebutkan nama desa Ayamteas(sekarang menjadi sebuah nama desa Ayamalas, di Kecamatan Kroya). Dalam Prasasti Luitan dijelaskan adanya ketidakmampuan rakyat untuk membayar pajak tanah. Hal tersebut dapat diinterpretasikan karena petugas pajak waktu itu tidak jujur. Akibatnya rakyat mengadukan kepada Rakyan Mahapatih, sehubungan dengan tanah yang diukur oleh pemungut pajak; yang sebenarnya tanahnya sempit, namun dilaporkan seluas tampah atau Sangka ri hot nikang sinangguh satampahdan ketika diukur ulang memang sawahnya sempit atau Sungguh puayaan mohot ikana tampahnya.
Bukti sejarah lainnya, seperti dalam Prasasti Er Hangat, yang ditemukan di daerah Banjarnegara, terdapat beberapa nama desa yang ada di Kabupaten Cilacap, seperti desa Limo Manis (Jeruklegi), desa Nusa (Nusajati, Nusadadi, Nusawungu, Nusatengah, dan juga Nusapule atau Nusakambangan).
Pada Prasasti Panunggalan, berangka tahun 808 Saka atau 896 Masehi yang ditemukan di daerah Purbalingga dan menggunakan huruf bahasa Jawa Kuno, menyebutkan beberapa nama desa di Kabupaten Cilacap, seperti desa Air Bulang (sekarang desa Bolang, di Kecamatan Dayeuhluhur), dan desa Maddyapura (sekarang desa Madura, di Kecamatan Wanareja). Lebih menarik lagi dari prasasti ini telah menyebutkan adanya kegiatan upacara keagamaan, yakni “Pinaka saksi manghingtu I Danu sang Rakupang“, artinya Sang Rakupang yang menjabat Manghingtu (petugas keagamaan) dari desa Danu (istilah ini berubah menjadi Donan, sebuah nama Kelurahan di wilayah Kecamatan Cilacap Tengah).
Di Kecamatan Kesugihan sendiri pada tahun 1977, juga pernah ditemukan Prasasti Tembaga Luitan yang berangka 823 Saka atau 901 Masehi. Penemuan barang purbakala ini tepatnya di desa Pesanggrahan, Kecamatan Kesugihan, Cilacap. Dalam Prasasti Luitan ini disebutkan nama desa Ayamteas(sekarang menjadi sebuah nama desa Ayamalas, di Kecamatan Kroya). Dalam Prasasti Luitan dijelaskan adanya ketidakmampuan rakyat untuk membayar pajak tanah. Hal tersebut dapat diinterpretasikan karena petugas pajak waktu itu tidak jujur. Akibatnya rakyat mengadukan kepada Rakyan Mahapatih, sehubungan dengan tanah yang diukur oleh pemungut pajak; yang sebenarnya tanahnya sempit, namun dilaporkan seluas tampah atau Sangka ri hot nikang sinangguh satampahdan ketika diukur ulang memang sawahnya sempit atau Sungguh puayaan mohot ikana tampahnya.
Berdasarkan kajian Epigrafi, nama Donan jauh lebih tua dibanding nama Cilacap didasarkan pada beberapa temuan pada 5 buah Prasasti seperti : Prasasti Salingsingan berangka tahun 880 Masehi, Prasasti Er Hangat tahun 885 Masehi, Prasasti Panunggalan berangka tahun 896 Masehi, Prasasti Pabuaran berangka tahun 900 Masehi, dan Prasasti Luitan berangka tahun 901 Masehi
![]() |
Prasasti Pabuharan (Pabuaran) - verso - tahun 900 M (British Library) |
![]() |
Prasasti Pabuharan (Pabuaran) - recto - tahun 900 M (British Librar |
Kelima prasasti di atas tertulis dalam kelima buah tembaga yang ditemukan berkaitan dengan Kerajaan Mataram Hindu, sekitar tahun 900 Masehi. Kelima buah prasasti tembaga itu menceritakan adanya nama-nama desa/daerah/wilayah yang terletak di daerah sepanjang aliran sungai Serayu, di daerah Kabupaten Purbalingga, Banjarnegara, Wonosobo, Banyumas, dan Cilacap. Hingga saat ini lokasi atau letak desa-desa kuno tersebut sudah mengalami pergeseran letak. Dengan demikian nama Donan jauh sudah ada sejak abad ke-9 Masehi. Sedangkan nama Cilacap baru muncul sejak zaman Raffles berkuasa sekitar tahun 1817 (berdasarkan Peta Raffles Tahun 1817 Masehi). Bukti tertulis keberadaan Donan sebagai cikal bakal Cilacap dapat diuraikan dalam prasasti-prasasti berikut :
Prasasti Salingsingan menceritakan tentang Dana Kebaktian milik Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala kepada Bathara di Salingsingan tentang sebuah dharma atau Bangunan Suci, sekarang berupa Candi Wulan, Candi Asu, dan Candi Pendem; yang terletak dekat bertemunya sungai Pabelan dan sungai Tlising di lereng Gunung Merapi.
Prasasti tersebut menyebutkan pula nama-nama desa di daerah Cilacap, seperti desa Sunda (sekarang namanya Surusunda), Gulung (sekarang grumbul Mengulung, dipinggir kali Kembangkuning kecamatan Kawunganten),desa Jati di Kecamatan Binangun, Manghujung (sekarang Desa Ujung Manik di Kecamatan Kampung Laut), dan Handaonan (sekarang Donan, nama Kelurahan di Cilacap Tengah).
1.Prasasti Salingsingan
Dalam daftar buku Prasasti Koleksi Museum Nasional diJakarta Jilid I Proyek Pengembangan Museum Nasional, Tahun 1985/1986 oleh DR.Drs. Boechari MS, M.Si., sekarang Rektor Universitas PGRI Yogyakarta ditegaskan,bahwa di dekat bertemunya sungai Pabelan dan sungai Tlising atau Salingsingan di lereng barat Gunung Merapi, Jawa Tengah, ditemukan sebuah prasasti tembaga yang menggunakan kronogram atau sengkalan berbunyi: Duam wilan atus alih, artinya tahun 880 Saka.Prasasti Salingsingan menceritakan tentang Dana Kebaktian milik Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala kepada Bathara di Salingsingan tentang sebuah dharma atau Bangunan Suci, sekarang berupa Candi Wulan, Candi Asu, dan Candi Pendem; yang terletak dekat bertemunya sungai Pabelan dan sungai Tlising di lereng Gunung Merapi.
Prasasti tersebut menyebutkan pula nama-nama desa di daerah Cilacap, seperti desa Sunda (sekarang namanya Surusunda), Gulung (sekarang grumbul Mengulung, dipinggir kali Kembangkuning kecamatan Kawunganten),desa Jati di Kecamatan Binangun, Manghujung (sekarang Desa Ujung Manik di Kecamatan Kampung Laut), dan Handaonan (sekarang Donan, nama Kelurahan di Cilacap Tengah).
2.Prasasti Er Hangat
Prasasti Er Hangat menyebut nama-nama desa di daerah Kabupaten Cilacap, misalnya desa Limo manis atau Jeruklegi, desa Nusa seperti Nusajati, Nusawangkal, Nusawungu, di wilayah Kecamatan Binangun. Selain itu juga nama Nusa Tembini, dan Nusakambangan.Prasasti Er Hangat, kini tersimpan di Museum Nasional di Jakarta. Dalam Prasasti Er Hangat menyebut nama Maharaja Dyah Tagwas Sri Jayakirttiwardhana yang berkuasa tahun 885 Masehi. Prasasti yang ditemukan di daerah Kabupaten Banjarnegara ini, berisi tulisan tentang Maharaja Dyah Tagwas Sri Jayakirttiwardhana mendatangi Desa Kupang, menurut prasasti tembaga Luitan ditulis dengan istilah Desa Kapung, dan singgah di DesaEr Hangat atau Desa Kali Anget dalam wilayah Kabupaten Wonosobo.Dalam Prasasti Er Hangat dikatakan bahwa DesaNusa dipimpin oleh seorang Rama (Kepala Derah) disebut Pu Sakti. Dan Kepala Daerah di Limo Manis (Jeruklegi) dikatakan menerima pasak-pasakatau pemberian, pisungsung, berupa emas seberat 4 ma.
Dalam Prasasti Er Hangat juga dikatakan, bahwa nama DesaDalyatan(Kawunganten), KayuHurang, Nusadan Desa Limo Manis (Jeruklegi) merupakan wanwatpi siring atau desa perbatasan, yang berstatus desa yang bebas pajak atau desa Salud Mangli.
Prasasti Tembaga Panunggalan terdiri atas dua lempengan tembaga berangka tahun 808 saka atau 896 Masehi. Dalam prasasti Panunggalan disebut nama-nama desa, diantaranya Air Bulang (sekarang Desa Bolang, di Kecamatan Dayeuhluhur Kabupaten Cilacap), Maddhyapura (sekarang Desa Madura di Kecamatan Wanareja, Kabupaten Cilacap), serta beberapa nama desa yang lokasinya belum jelas seperti desa Bhratma, Tegangrat, Air Pelung, Rayun Haruan, Tiwuran, Pringn Sungudan, dan Jamwi.
Pada Prasasti Panunggalan juga menyebut beberapasaksi yang mengikuti upacara tertentu. Seorang di antaranya bernama Rakupang yang menjabat Manghingtu (petugas keagamaan) dari Desa Danu. Sekarang desa Danu berubah menjadi nama Donan (sebuah nama Kelurahan di Kecamatan Cilacap Tengah, Kabupaten Cilacap).
Dalam Prasasti Er Hangat juga dikatakan, bahwa nama DesaDalyatan(Kawunganten), KayuHurang, Nusadan Desa Limo Manis (Jeruklegi) merupakan wanwatpi siring atau desa perbatasan, yang berstatus desa yang bebas pajak atau desa Salud Mangli.
3.Prasasti Panunggalan
Dalam buku Prasasti Koleksi Museum Nasional atau PKMN di Jakarta, pada halaman 41 disebutkan bahwa asal-usul ditemukannya Prasasti Panunggalan di daerah Purbalingga. Lokasi persisnya tidak diketahui, tapi diperkirakan dengan berpijak pada istilah Panunggalan, di wilayah ini terdapat nama desa Panunggalan (sekarang desa ini berada dalam wilayah Kecamatan Cahyana, Kabupaten Purbalingga).Prasasti Tembaga Panunggalan terdiri atas dua lempengan tembaga berangka tahun 808 saka atau 896 Masehi. Dalam prasasti Panunggalan disebut nama-nama desa, diantaranya Air Bulang (sekarang Desa Bolang, di Kecamatan Dayeuhluhur Kabupaten Cilacap), Maddhyapura (sekarang Desa Madura di Kecamatan Wanareja, Kabupaten Cilacap), serta beberapa nama desa yang lokasinya belum jelas seperti desa Bhratma, Tegangrat, Air Pelung, Rayun Haruan, Tiwuran, Pringn Sungudan, dan Jamwi.
Pada Prasasti Panunggalan juga menyebut beberapasaksi yang mengikuti upacara tertentu. Seorang di antaranya bernama Rakupang yang menjabat Manghingtu (petugas keagamaan) dari Desa Danu. Sekarang desa Danu berubah menjadi nama Donan (sebuah nama Kelurahan di Kecamatan Cilacap Tengah, Kabupaten Cilacap).
4.Prasasti Pabuharan
Prasasti Pabuharan diperkirakan berasal dan ditemukan di Daerah Aliran Sungai Serayu di daerah Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Cilacap. Prasasti yang terdiri atas dua lempengan tembaga berukuran 45,5 cm x 12 cm ini, tidak menyebutkan angka tahun dan sekarang tersimpan di Museum Jakarta. Dalam buku Prasasti Koleksi Museum Nasional Jilid I, sama sekali tidak menyebut asal atau tempat ditemukan. (Buku I Nomor F.1.11a-b).
Walaupun demikian, dalam Prasasti Pabuharan disebut nama-nama desa yang berada di daerah perbatasan yang termasuk Desa Sima (Desa yang bebas pajak). Seperti Hasinan (Asinan) yang masuk wilayah Desa Pabuharan. Di antara nama-nama desa tersebut sekitar tahun 900 Masehi, tiga buah desa dapat ditafsirkan lokasinya berada di Kabupaten Banyumas sekarang, yaitu desa Hasinan (Asinan) nama desa ini menjadi desa Pengasinan. Sedangkan desa Pabuharan yang membawahi desa Asinan, istilah di prasasti Imah Asinan susukan Sima I Pabuharan, sekarang menjadi Pabuwaran atau Buwaran. Kemudian desa Pasir, merupakan batas di sebelah Timur, dapat dibandingkan dengan desa Pasir yang sekarang terletak di sebelah Barat Kota Purwokerto, yaitu Pasir Lor, Pasir Kidul, Pasir Wetan dan Pasir Kulon. Sebenarnya istilah Pasir juga berkaitan dengan babad Pasir Luhur, yang mengacu pada nama desa Pasir yang sudah dikenal sejak tahun 900-an.
Di Kabupaten Cilacap kita mengenal Ngasinan, sekarang merupakan dusun Ngasin masuk wilayah Desa Karangkandri,Kecamatan Kesugihan.
Demikian sumber-sumber sejarah Kabupaten Cilacap hasil temuan dalam prasasti.
Walaupun demikian, dalam Prasasti Pabuharan disebut nama-nama desa yang berada di daerah perbatasan yang termasuk Desa Sima (Desa yang bebas pajak). Seperti Hasinan (Asinan) yang masuk wilayah Desa Pabuharan. Di antara nama-nama desa tersebut sekitar tahun 900 Masehi, tiga buah desa dapat ditafsirkan lokasinya berada di Kabupaten Banyumas sekarang, yaitu desa Hasinan (Asinan) nama desa ini menjadi desa Pengasinan. Sedangkan desa Pabuharan yang membawahi desa Asinan, istilah di prasasti Imah Asinan susukan Sima I Pabuharan, sekarang menjadi Pabuwaran atau Buwaran. Kemudian desa Pasir, merupakan batas di sebelah Timur, dapat dibandingkan dengan desa Pasir yang sekarang terletak di sebelah Barat Kota Purwokerto, yaitu Pasir Lor, Pasir Kidul, Pasir Wetan dan Pasir Kulon. Sebenarnya istilah Pasir juga berkaitan dengan babad Pasir Luhur, yang mengacu pada nama desa Pasir yang sudah dikenal sejak tahun 900-an.
Di Kabupaten Cilacap kita mengenal Ngasinan, sekarang merupakan dusun Ngasin masuk wilayah Desa Karangkandri,Kecamatan Kesugihan.
5.Prasasti Luitan
Pada tahun 1977 di Desa Pesanggrahan, Kecamatan Kesugihan,Kabupaten Cilacap, ditemukan prasasti yang berjarak sekitar sepuluh meter dari punden Lingga, oleh penduduk setempat yang menyebutnya Punden Mbok Ageng Lingga. Prasasti ini berangka tahun 823 Saka atau 901 Masehi. Prasasti ini berisi tentang pengaduan penduduk Desa Luitan atau wilayah Kapung kepada Rakyan Mapati I Hino Pu Daksa Sri Bahubaajrapratipaksasaya, sehubungan dengan yang diukur oleh pemungut pajak yangsebenarnya sempit tetapi dikatakan seluas datu tampah, dan ketika diukur ulang ternyata sempit. Akibat dari laporan yang tidak sesuai fakta itulah, menyebabkan penduduk desa Luitan tidak mampu mengisi uddhara (sejenis pajak/PBB).Demikian sumber-sumber sejarah Kabupaten Cilacap hasil temuan dalam prasasti.
Referensi
- "Old Javanese copper charters in the British Library" British Library 20 Desember 2016. Diakses 21 Juli 2020.
- Abimayu, Soedjipto. 2014. Babad Tanah Jawi Cetakan Ke IV. Yogyakarta : Laksana.
- Ahmad, Zainollah. 2015. Topographia Sacra: Menelusuri Jejak Sejarah Jember Kuno. Jogyakarta : Penerbit Araska.
- Atmadibrata, Enoch et al. 2006. Khazanah Seni Pertunjukan Jawa Barat. Bandung: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat & Yayasan Kebudayaan Jayaloka.
- Atja , Saleh Danasasmita. 1997. Jilid I. Babad Pakuan atau Babad Pajajaran. Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Depdikbud. Jakarta.
- BA. Y. Mulyadi. 1989. Mundut Sekar Wiyaha Kusuma. Sana Budaya. Yogyakarta.Bratadimedja, RMS., Ngatidjo Darmosoewondo. 1969. Inti Silsilah dan Sedjarah Banjoemas. Bogor.
- Casparis, J.G. de. Prasasti Indonesis I-Inscripties Uit de Cuilenders-Tijd. Bandung.
- Coedes, George. 1964. Terjemahan : Asia Tenggara Masa Hindu –Budha. Jakarta : PT. Gramedia.
- Dewi, Laela Nurhayati, SS.,M.Hum, dkk. 2014. Arca Hindu : Koleksi Museum Jawa Tengah Ranggawarsita. Semarang : Museum Ranggawarsita Jateng.
- Dwiyanto, Bambang, dkk. 2011. Sejarah Kabupaten Cilacap. Cilacap : Dinas Pariwisata dan Kebudayaan.
- Kartasoedirdja, A.M. 1939. Babad Noesa Tembini. Yogyakarta. Sana Budaya.
- Munandar, Agus Aris. 2017. Siliwangi, Sejarah, dan Budaya Sunda Kuna. Jakarta : Wedatama Widya Sastra
- MM. Sukarto K. Atmodjo. 1990. Menelusuri Sejarah Cikal Bakal Hari Jadi Cilacap Berdasarkan Data Prasasti Kuno.
- Museum Nasional Jakarta. Koleksi Prasasti Museum Nasional Jilid I.
- Noorduyn. J. 1983. Bhujangga Manik‟s Journeys Through Java : Topogropical data From an Old Sundanese Source. Dalam BKI deel 138 4e, S-Gravenhage Martinus Nihoff.
- Poesponegoro, Marwati Djoened. 2010. Sejarah Nasional Indonesia II : Zaman Kuno Cetakan Keempat. Jakarta : Balai Pustaka
- Priyadi, Prof. Dr. Sugeng, M.Hum. 2013. Sejarah Mentalitas Banyumas. Jogjakarta : Penerbit Ombak.
- Priyadi, Prof. Dr. Sugeng, M.Hum. 2015. Menuju Keemasan Banyumas. Purwokerto : Pustaka Pelajar.
- Priyadi, Prof. Dr. Sugeng, M.Hum. 2017. Masa Hindu–Budha : Sejarah Indonesia Abad IV –XV. Purwokerto : Pustaka Pelajar
- Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat. 1981. Sanghyang Sisksa Kanda Ng Kasian. Bandung
- Saktiani, Damaika, dkk. 2018. Kakawin Negarakertagama Karya Mpu Prapanca. Yogyakarta : PT. Buku Seru.
- Soedarto. 1975. Buku Sejarah Cilacap. Cilacap : Pemerintah Daerah Tk. II.
- Wibowo, M. Unggul. 2001. Nusakambangan: Dari Pulau Boei Menuju Pulau Wisata. Jogjakarta: Mitra Gama Widya.
Dikutip dari: Jejak Sejarah Kuno Kabupaten Cilacap: Kerajaan Nusatembini dan Donan sebagai Cikal Bakal Kabupaten Cilacap Ika Ratnani, S.Pd.Waluyo Setyobudi, S.Pd.Sri Rahayu, S.Pd. Editor: Sigit Kindarto, S.Pd., M.Pd. Diterbitkan oleh:Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Cilacap 2019. ISBN: 978-602-52901-2-1 cilacapkab.go.id Diakses 21 Juli 2020.