Cari

Maharaja Majapahit, Raden Wijaya Keturunan dari Kerajaan Sunda Pajajaran?



[Historiana] - Oleh Alam Wangsa Ungkara. Kerajaan Sunda tidak pernah takluk kepada Majapahit? Jawabannya benar. Dengan demikian Kerajaan Sunda dan Majapahit berjalan masing-masing. Di sisi lain, ada "pengakuan Sunda" bahwa Raden Wijaya, pendiri kerajaan Majapahit adalah Keturunan Raja Sunda. Kenapa tidak bersatu? Wilayah Tatar Sunda atau Pasundan pernah ditaklukan Kesultanan Mataram Islam. Ingatan warga Sunda 'menentang' hadirnya kekuasaan Mataram Islam sebagai penguasa Tatar Pasundan pasa runtuhnya Kerajaan Sunda Pajajaran. Anehnya, kisah Jaka Susuru yang berasal dari Mataram Islam ini dianggap sebagai sebuah kebenaran. Mari kita kupas penjelasannya.

Dyah Wijaya atau yang lebih dikenal Raden Wijaya merupakan sosok yang berpengaruh penting dalam sejarah Kediri - Singhasari - Majapahit yang asal usulnya bagi sebagian orang masih membingungkan tapi bagi sejarawan sudah terang klo raden wijaya keturunan murni Ken Arok - Ken Dedes.

Raden Wijaya adalah pendiri Majapahit menurut kitab Pararaton, dan ini terbukti kebenarannya karena sesuai dengan nama yang ditemukan dalam kakimpoi Nagarakretagama (1365), yaitu Dyah Wijaya. Adapun nama yang lebih panjang ditemukan dalam prasasti Kudadu (1294), yaitu Nararya Sanggramawijaya.

Sementara itu, Jaka Sesuruh adalah pendiri Majapahit versi Babad Tanah Jawi dan naskah-naskah turunannya, seperti Babad Majapahit, Babad Segaluh, Serat Pranitiradya, Serat Pustakaraja, dan babad-babad lainnya. Kitab-kitab tersebut ditulis ratusan tahun setelah Majapahit runtuh sehingga isinya bersifat fantastis dan melenceng dari fakta historis. Namun demikian, masih banyak di antara kita yang mencoba mengawinkan Babad Tanah Jawi dengan Pararaton, sehingga menerima bahwa Jaka Sesuruh adalah nama lain Raden Wijaya.

Pertanyaan pun saya perjelas. Apa buktinya kalau Raden Wijaya memiliki nama lain Jaka Sesuruh? Apakah ada prasasti atau kakimpoi peninggalan Majapahit yang menyebut Jaka Sesuruh sebagai nama lain Dyah Wijaya? Jawabnya : tidak ada.

Bahkan, pada zaman Majapahit nama “Jaka” belum lazim digunakan oleh kaum laki-laki. Terbukti, dalam kitab Pararaton sama sekali tidak dijumpai adanya tokoh yang mengandung unsur nama Jaka. Jika demikian, lantas penulis Babad Tanah Jawi dapat ide dari mana mengarang nama Jaka Sesuruh sebagai pendiri Majapahit?



Darimana datangnya sumber yang menyebutkan bahwa Pendiri Majapahit dari Sunda Pajajaran?  


Berawal dari sumber Babad Tanah Jawi dan naskah-naskah turunannya.

Raja Pajajaran bernama Sri Pamekas memiliki dua putra, yaitu Arya Bangah (raja Galuh) dan Raden Sesuruh (putra mahkota Pajajaran). Pada suatu hari ia menguji seorang petapa bernama Ki Ajar Cepaka yang terkenal sakti. Salah seorang selirnya didandani seperti orang hamil dan ditanyakan apakah anaknya nanti lahir laki-laki ataukah perempuan? Ki Ajar Cepaka menjawab laki-laki. Sri Pamekas merasa senang karena tebakan Ki Ajar Cepaka salah. Ia pun membuka pakaian selirnya untuk membuktikan bahwa kandungan tersebut hanyalah bokor yang dibalut kain. Sungguh ajaib, bokor tersebut tiba-tiba musnah, sedangkan perut sang selir kini benar-benar mengandung. Sri Pamekas merasa dipermainkan dan ia pun menghukum mati Ki Ajar Cepaka.

Para ahli nujum meramalkan bahwa bayi yang dikandung sang selir kelak akan menjadi penyebab kehancuran raja. Maka ketika bayi itu lahir, Sri Pamekas pun berusaha membunuhnya tetapi selalu gagal. Usaha terakhir adalah memasukkan bayi itu ke dalam peti, lalu menghanyutannya di Sungai Krawang, hingga kemudian ditemukan oleh pencari ikan bernama Ki Buyut Krawang suami-istri.

Beberapa tahun kemudian, bayi itu telah tumbuh dewasa dan pada suatu hari ia melihat burung siyung dan wanara (monyet ) di tengah hutan. Maka, pemuda itu pun menamakan dirinya Siyung Wanara.

Siyung Wanara selalu bertanya apakah dirinya memiliki saudara. Ki Buyut Krawang terpaksa mengarang cerita bahwa dirinya memiliki saudara di ibukota Pajajaran yang menjadi pandai besi. Siyung Wanara pun pergi ke sana dan tinggal di rumah pandai besi tersebut. Dalam waktu singkat ia mampu mempelajari ilmu menempa besi, bahkan melunakkan besi dengan jari-jarinya atau menggunakan lutut sebagai alas menempa logam.

Pada suatu hari Siyung Wanara masuk ke dalam istana Pajajaran dan memamerkan kesaktiannya. Sri Pamekas tertarik dan menjadikannya sebagai petugas pengadilan. Kesaktian dan prestasi Siyung Wanara membuatnya semakin disayang raja, bahkan ia pun diakui sebagai anak oleh Sri Pamekas, serta diberi nama baru : Banyak Wide.

Pada suatu hari Sri Pamekas menang perang. Banyak Wide alias Siyung Wanara memberikan hadiah berupa tempat tidur besi yang dilengkapi pintu. Ia mengatakan bahwa, barangsiapa tidur di dalamnya akan mendapatkan kesegaran dan kesehatan. Sri Pamekas percaya dan mencobanya. Banyak Wide tiba-tiba mengunci pintu tempat tidur tersebut dan menenggelamkannya di Sungai Krawang sebagai balas dendam atas peristiwa yang dialaminya semasa bayi dahulu.

Mengetahui ayahnya tewas, Raden Sesuruh datang menyerang Banyak Wide. Dalam pertempuran itu Raden Sesuruh kalah dan melarikan diri ke timur. Ia lalu ditampung seorang janda bernama Nyai Randa Kaligunting. Sementara itu, Banyak Wide alias Siyung Wanara yang telah menjadi raja mengumumkan akan menghukum mati siapa saja warga Pajajaran yang berani melindungi Raden Sesuruh. Nyai Randa Kaligunting ketakutan, lalu mengajak Raden Sesuruh pindah ke timur, keluar dari wilayah Pajajaran.

Dalam perjalanannya, Raden Sesuruh berjumpa petapa sakti bernama Ki Ajar Cemaratunggal di Gunung Kombang. Petapa itu meramalkan bahwa Raden Sesuruh akan menjadi raja besar jika menemukan pohon maja berbuah satu di wilayah timur yang rasanya pahit. Setelah meramalkan demikian, Ki Ajar Cemaratunggal berubah menjadi wanita cantik. Raden Sesuruh terpesona dan ingin menjadikannya istri. Wanita cantik itu musnah dan berkata bahwa ia sesungguhnya putri Pajajaran yang hidup di zaman Prabu Mundingwangi (kakek Raden Sesuruh). Kini ia akan pindah ke Laut Selatan dan menjadi ratu segenap makhluk halus di sana.

Raden Sesuruh meminta maaf atas kelancangannya dan ia pun melanjutkan perjalanan ke timur hingga memasuki wilayah Kerajaan Singasari. Di sana ia menemukan pohon maja berbuah satu yang rasanya pahit. Maka, ia segera membangun sebuah pedukuhan bernama Majapahit di tempat itu dan mengganti namanya menjadi Jaka Sesuruh.

Pada suatu hari Jaka Sesuruh menerima kedatangan kakaknya, yaitu Arya Bangah yang melaporkan bahwa Banyak Wide alias Siyung Wanara telah merebut Kerajaan Galuh dari tangannya. Jaka Sesuruh dan Arya Bangah lalu bergabung menggempur Kerajaan Pajajaran. Banyak Wide dapat dikalahkan. Jaka Sesuruh pun menjadi raja Pajajaran dan memindahkan pusat pemerintahannya ke Majapahit.


Sastra dari Mataram Islam sebagai Sarana Legitimasi Raja

Kitab Babad Tanah Jawi yang memuat riwayat Jaka Sesuruh ditulis pertama kali tahun 1718 oleh Pangeran Adilangu II, pujangga Keraton Kartasura. Dengan demikian, naskah ini disusun setelah Majapahit runtuh hampir dua abad. Itu sebabnya jalan ceritanya sangat berbeda dengan naskah Pararaton, Nagarakretagama, ataupun prasasti Kudadu. Misalnya, tokoh Banyak Wide dalam Pararaton adalah sekutu pendiri Majapahit, sedangkan dalam Babad Tanah Jawi justru disebut sebagai musuh Majapahit.

Begitulah, pada abad ke-18 belum ada studi tentang prasasti dan kakimpoi, sehingga sejarah Majapahit menjadi kabur dan gelap. Maka, disusunlah kitab sejarah berdasarkan fantasi pujangga yang bermakna simbolis, bukan berdasarkan hasil studi arkeologi ataupun filologi.

G. Moedjanto dalam bukunya “Konsep Kekuasaan Raja Jawa” tahun 1987 menyebutkan bahwa penulisan Babad Tanah Jawi bertujuan untuk menciptakan wibawa Dinasti Mataram yang keturunan kaum petani agar bisa mendapatkan legitimasi sebagai penguasa resmi Tanah Jawa. Untuk itu, disusunlah silsilah bahwa Mataram adalah keturunan Majapahit, sedangkan Majapahit adalah kelanjutan Pajajaran, Pajajaran adalah kelanjutan Jenggala, Jenggala adalah kelanjutan Medang Koripan, Medang Koripan adalah kelanjutan Pengging, Pengging adalah kelanjutan Kediri, dan Kediri adalah keturunan Arjuna (Pandawa) yang sudah “dijawakan”. Tujuannya ialah untuk “pencitraan” bahwa raja-raja Mataram adalah penguasa sah Tanah Jawa karena memiliki darah Majapahit, darah Pajajaran, darah Jenggala, darah Pengging, darah Kediri, bahkan darah Pandawa dari kisah Mahabharata segala.

Babad Tanah Jawi dan turunannya dengan cerdik menyusun silsilah ke atas dengan cara merangkai legenda-legenda Tanah Jawa menjadi satu kesatuan yang urut. Misalnya, cerita Panji, legenda Anglingdarma, kisah Watugunung, dan juga dongeng Pakukuhan. Bahkan, para pujangga juga “meminjam” legenda-legenda dari Tatar Sunda. Mengapa demikian? Karena pada masa pemerintahan Sultan Agung, Kerajaan Galuh telah menjadi kadipaten bawahan Mataram, sehingga secara otomatis terjadilah pertukaran budaya Jawa – Sunda. Banyak sekali cerita legenda dari Tatar Sunda yang kemudian diadopsi pujangga Jawa untuk memperkaya khasanah sastra keraton.

Mengapa saya berkata demikian? Karena nama-nama seperti Siyung Wanara, Arya Bangah, dan Jaka Sesuruh yang telah kita baca di atas sesungguhnya adalah nama-nama tokoh cerita tradisional Sunda. Siyung Wanara adalah versi Jawa untuk Ciung Wanara; Arya Bangah adalah versi Jawa untuk Hariang Banga; sedangkan Jaka Sesuruh mengadopsi tokoh legenda dari Kabupaten Ciamis, yaitu Jaka Susuru.

Dengan kata lain, penulis Babad Tanah Jawi tidak mengetahui fakta historis berdirinya Kerajaan Majapahit sehingga meminjam beberapa cerita tradisional Sunda untuk melengkapinya. Hal ini dapat dimaklumi, karena naskah-naskah kakimpoi seperti Nagarakretagama dan Pararaton telah “diamankan” ke Pulau Bali pasca runtuhnya Majapahit tahun 1527. Hal ini sempat disinggung Thomas Stamford Raffles dalam bukunya, The History of Java.


Simpulan

Babad Tanah Jawi disusun oleh pujangga Keraton Kartasura untuk melegitimasi kekuasaan Pakubuwana I sebagai pemimpin sah Dinasti Mataram pasca-perang saudara melawan Amangkurat III. Disebutkan dalam naskah itu bahwa Mataram adalah kelanjutan Majapahit, Pajajaran, Jenggala, Medang Koripan, Pengging, Kediri, bahkan Hastinapura yang sudah “dijawakan”. Berita ini hendaknya dimaknai secara simbolis, bukan dimaknai sebagai fakta. Sesungguhnya maksud dari penyusunan silsilah ini adalah untuk mengumumkan bahwa Dinasti Mataram meskipun keturunan petani tapi memiliki darah raja-raja Majapahit, Pajajaran, Jenggala, Pengging, Kediri, dan seterusnya ke atas, sehingga mereka berhak dan pantas memimpin Tanah Jawa.

Berita tentang Jaka Sesuruh pangeran Pajajaran yang mengungsi ke timur bersama Nyai Randa Kaligunting dalam Babad Tanah Jawi diolah sedemikian rupa dalam Naskah Wangsakerta menjadi Raden Wijaya putra Sunda yang mengungsi ke timur bersama Dyah Lembu Tal sang janda. Naskah ini diberi angka tahun 1682 sehingga seolah-olah lebih tua daripada Babad Tanah Jawi, padahal sebenarnya ditulis pada abad ke-20 memakai bahasa Jawa Kuno. Berita ini akhirnya menjadi polemik dan kontroversi, seakan-akan Babad Tanah Jawi membenarkan berita Naskah Wangsakerta.

Padahal, berita bahwa Majapahit adalah kelanjutan Pajajaran dalam Babad Tanah Jawi hendaknya dimaknai secara politis, bukan dimaknai secara historis, karena sang pujangga keraton jelas-jelas mencatut legenda pantun Sunda, yaitu Jaka Susuru, pendiri Kerajaan Tanjung Singuru (yang saat ini dikenal sebagai Bojong Singuru di Kabupaten Ciamis), dan mengubah namanya menjadi Jaka Sesuruh.

Dengan demikian, perlu dipertegas bahwa pendiri Kerajaan Majapahit yang benar sesuai sumber prasasti dan kakimpoi adalah Dyah Wijaya, bukan Jaka Sesuruh. Untuk selanjutnya, alangkah baiknya untuk tidak lagi menyama-nyamakan Jaka Sesuruh dengan Dyah Wijaya, karena itu sama artinya dengan mencampuradukkan antara versi fantasi dengan versi historis.

 

Tabe Pun.

Cag

Baca Juga

Sponsor