Cari

Winduraja Ciamis, Pasarean 3 Raja Sunda-Galuh

 

Sanghyang Lingga Teuas. Foto: jernih.co

[Historiana] - Istilah Pasarean dalam bahasa Sunda artinya pusara/makam atau dalam bahasa Jawa Cirebonan disebut Panggonan dari kata pa-enggonan, yang artinya sama yaitu pasarean. Enggon juga dikenal sebagai tempat sare dalam bahasa Sunda. Kata sare dalam bahasa Sunda dianggap kasar sementara dalam bahasa Jawa adalah bahasa sangat halus atau tingkat krama inggil. Terkait tingkatan bahasa Sunda yang disebut undak-usuk basa, kata sare dalam tingkatan halus adalah kulem. Tentu, ini adalah pengaruh Mataram Islam ketika sebagian Tatar Sunda berada dibawah pengaruhnya. Kata Kulem ini berasal dari kata Kilem atau Tilem. Kata tilem ini pula digunakan untuk mengisahkan Prabu Siliwangi ngahiyang/tilem/moksa. Tilem sendiri dalam bahasa Sunda yang istilahnya bermakna sama dengan "nga-hyang" berarti "menghilang", "tilem" atau "tak terlihat". Diduga kata ini memiliki kaitan kebahasaan dengan kata "hilang" dalam bahasa Melayu atau bahasa Indonesia. Kata Tilem dalam peredaran bulan adalah lawan kata Purnama.

Baiklah, kita bahas pasarean atau "pakuleman" atau "panggonan" raja-raja Sunda-Galuh (Pajajaran). Kali ini kita membahas Winduraja sebagai lokasi pasarean raja-raja Sunda Galuh. 

Lokasi Winduraja disebutkan dalam naskah Carita Parahyangan. Di zaman Sekarang ini, lokasi Winduraja berada di Desa Winduraja, Kecamatan Kawali, Kabupaten Ciamis. 


Kini, beberapa peninggalan masa lalu berupa makam para petinggi kerajaan di sana masih tampak terawat. Namun sedikit orang yang mengetahui bahwa dari Winduraja-menyimpan sejarah terkait Kerajaan Sunda, Kerajaan Galuh, Kerajaan Galunggung dan bahkan menurut Budayawan Ciamis,  Atus Gusmara, terkait dengan Kerajaan Majapahit.

Kembali mengutip naskah Carita Parahyangan bahwa Winduraja adalah tempat pemusaraan yang dipilih oleh ketiga Raja Sunda. Pertama, yakni Rakeyan Gendang Prabu Brajawisesa Sang Lumahing Winduraja (989-1012 Masehi), putra Prabu Wulung Gadung Sang Lumahing Jayagiri.

Kedua, yakni Prabu Darmaraja, merupakan penguasa Sunda Galuh, yang memerintah dari tahun 1042-1065 M, dengan nama nobat Prabu Darmaraja Jaya Manahen Wisnumurti Salaka Sunda Buana, dikenal juga dengan nama Sang Mokteng Winduraja. Prabu Darmaraja memiliki istri bernama Dewi Surastri puteri dari Ratu Galuh Dewi Sumbadra, memiliki putra bernama Prabu Langlang Bumi. Prabu Darmaraja adalah putra Sri Jayabhupati yang terkenal. Ketika Prabu Darmaraja meninggal tahun 1065 M, ia dipusarakan di Winduraja sehingga dikenal sebagai Sang Mokteng Winduraja.  Nama Darmaraja di abadikan menjadi nama Desa Darmaraja yang masuk ke wilayah Kecamatan Lumbung.

Selanjutnya, yang Ketiga adalah Prabu Darmakusumah, yang memerintah Kerajaan Sunda, Kerajaan Galuh dan Galunggung, pada tahun 1157-1175 Masehi. Tak heran dia dijuluki sebagai Maha Prabu.  Darmakusuma adalah putra Batara Danghyang Guru Darmawiyasa dan cucu Batari Hyang Janapati Ratu Galunggung. Di pusarakan di Desa Winduraja sehingga disebut juga Sang Mokteng Winduraja.

Dari keturunan Darmakusuma lahirlah seorang Raja Kerajaan Sunda terkenal, yakni Darmasiksa, yang memerintah pada tahun 1171-1297 M. Dari Prabu Darmasiksa kita mengenal naskah Amanat Galunggung.

Rupanya posisi Winduraja sangat penting bagi tiga kerajaan, yakni Kerajaan Sunda, Kerajaan Galuh dan Kerajaan Galunggung. Jejak warisan sejarah, di Desa Winduraja ditemukan lingga, disatu makam kuno, seperti di makam Sang Hyang Lingga Teuas, yang tidak jauh dari makam Eyang Maharaja Sakti.

“Ada juga batu berundak di makam Argadinata, dengan disertai batu yang mirip dengan dolmen,” ungkap Ketua Komunitas Galuh Etnik Winduraja, Atus Gusmara, dikutip dari harapanrakyat.com (8/11/2013).



Masih menurut Atus, jejak sejarah tersebut seolah berserakan di setiap Dusun di Desa Winduraja. Selain makam kuno, jejak pantulan kepurbakalaan yang menyiratkan suatu peninggalan kerajaan adalah gugunungan sebagai tempat istana kerajaan berdiri, dan bumi alit sebagai tempat persenjataan kerajaan.

“Lokasi yang di kelilingi gunung syawal, dekat dengan sungai Cimuntur, sebagai tanda-tanda jejak kerajaan,” ujarnya.

Belum lagi, kata Atus, adanya bendungan Gajah Dauan, yang dibuat dari batu bertumpuk, yang menyiratkan warisan suatu kerajaan. “Masyarakat di sekitar lokasi gugunungan dan bumi alit sangat meyakini hal ini,” imbuhnya.

Atus meminta, Dinas Pariwisata dan Balai Arkeologi Nasional, untuk turun melakukan penelitian jejak pantulan kepurbakalaan di desanya tersebut. “Kami harapkan, mereka turun meneliti jejak warisan budaya leluhur ini,” pungkasnya.

Dalam penelusuran pustaka, buku Sejarah Jawa Barat Jilid ke-3 Tahun 1983-1984, diceritakan, Sri Jayabupati wafat tahun 1042 M. Ia digantikan oleh puteranya yang bernama Prabu Darmaraja Jayamanahen Wisnumurti Salakasundabuana (1042 – 1065 M) atau sang mokteng Winduraja. Cicit raja ini, Prabu Darmakusuma (1157 – 1175 M) juga dipusarakan di Winduraja.

Kemudian, Prabu Darmaraja digantikan oleh puteranya yaitu Prabu Langlangbumi (1065 – 1155 M) atau sang mokteng Kerta. Dalam naskah babad, kakawin dan kisah Panji Jawa Timuran, didapat kisah yang mengisahkan seorang cucunya diperisteri oleh penguasa Kadiri-Janggala Maharaja Jayabuana Kesanananta Wikramatunggadewa (1102 – 1104 M) atau prabu Surya Amiluhur.

Raja ini hanya dua tahun memerintah, karena kekuasaannya direbut oleh Jayawarsa Digjaya Sastraprabu. Prabu Jayabuana melarikan diri ke Jawa Barat karena permaisurinya berasal dari Jawa Barat. Disinyalir dialah yang disebut Prabu Banjaransari yang lari dari Kediri dalam Babad Galuh. Peristiwa yang menarik dalam sejarah  pemerintahan Maharaja Langlangbumi ialah berita yang termuat dalam prasasti Geger Hanjuang atau Prasasti Galunggung karena ditemukan di lereng Gunung Galunggung.

Tempat prasasti ini ditemukan, oleh penduduk setempat disebut Kabuyutan Linggawangi karena terletak di Desa Linggawangi, Kecamatan Leuwisari, Kabupaten Tasikmalaya. Sekarang disimpan di Museum Pusat nomor D-26.


Lokasi-lokasi pasarean atau moksa/ngahiyang/tilem-nya raja-raja Sunda-Galuh Pajajaran dapat kita ketahui dari Naskah Carita Parahyangan, yaitu: Taman, Kreta, Bubat, Patapan, Hujungcariang, Gegeromas, Tanjung, Kikis, Kiding, Jayagiri, Rancamaya, dan Majaya. Kita telah kehilangan situs Rancamaya Bogor sebagai Pasarean Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi). Semoga pasarean lainnya yang telah disebutkan di atas dapat dipertahakan oleh pemerintah, sebagai bukti sejarah.

-Cag-


Referensi

  1. Atja. 1968. "Tjarita Parahjangan: Naskah Titilar Karuhun Urang Sunda." Bandung:  Jajasan Kebudajaan Nusalarang.
  2. Atja,  dan  Saleh    Danasasmita.  1981. Carita    ParaHyangan    (Transkripsi,   Terjemahan,  dan  Catatan.  Bandung: Proyek  Pengembangan  Permuseuman Jawa Barat.  
  3. Ayatrohaedi.  1981.  “Peranan  Benda Purbakala  dalam  Historiografi Tradisional” dalam  Majalah  Ilmu-Ilmu Sastra  Indonesia,  Penelitian  dan Penerbitan  Buku/Majalah Pengetahuan  Umum  dan Profesi  Dep. Dik.  Bud.  Jakarta:  Fakultas  Sastra Universitas Indonesia.
  4. Iskandar, Drs. Yoseph. 1997. "Sejarah Jawa Barat, Pustakaning Raja Kawasa." Bandung: Geger Sunten.
  5. Muhafidz. 2013. "Di Winduraja Ciamis, Terdapat Jejak Peninggalan Kerajaan Sunda Kuno". harapanrakyat.com Diakses 17 Maret 2021.
  6. Muhajir Salam, dkk. "Galunggung sebagai Kerajaan". Soekapoera.or.id 
  7. Radea, Pandu. 2020, "Kawali-Panjalu : Pusara Para Raja Sunda Galuh". jernih.co 19 Juni 2020 Diakses 18 Maret 2021.
  8. Suryani, Elis. 2017. Batari Hyang Janapati dalam Perspektif Gender. Jentera: Jurnal Kajian Sastra. 6 (2), 164-180. Jentera: Jurnal Kajian Sastra, 2017, Volume 6, Nomor 2 tahun 2017. researchgate.net Diakses 8 September 2019.

Sponsor