Cari

Prabu Siliwangi Muslim, maka Kisah Kian Santang Tidak Ada!!

 


[Historiana] - Oleh Alam Wangsa Ungkara. Masih ada juga pertanyaan disampaikan kepada Penulis: Apa Agama yang dianut Prabu Siliwangi? Penulis jawab: tidak tahu!! Entah kenapa di zaman sekarang hal ini menjadi pertanyaan yang sering muncul.

Dalam kisah terdahulu, dalam berbagai kisah babad, diantaranya Cariosan Prabu Siliwangi yang ditulis tahun 1435 M, bertemu dengan Sakyan/Nyai Subanglarang dalam sebuah sayembara di Kerajaan Singapura Cirebon. Sayembara itu untuk memperbutkan putri raja Singapura yaitu Mrajalarangtapa. Sedang Subanglarang adalah putri Mangkubumi atau Patih Kerajaan Singapura yang juga hadir di lokasi.

Belakangan ini narasi baru muncul bahwa Prabu Siliwangi bertemu dengan Nyai Subanglarang di Pondok Pesantren Syekh Quro Karawang. Karena tertarik dengan kecantikan dan kefasihan membaca Al-Quran, maka Prabu Siliwangi menikahi Nyai Subanglarang. Untuk menikahi wanita muslim, konon Prabu Siliwangi juga harus mualaf dahulu alias memeluk agama Islam. Ini benar dari sisi pendekatan fiqih. Mengutip republika.co.id, hal ini menunjukkan proses Islamisasi tidak hanya terjadi pada kalangan rakyat biasa, juga pada tingkat elite.

Jika benar Prabu Siliwangi memeluk agama Islam karena di-Islam-kan oleh Syekh Quro, bagaimana dengan kisah Kian Santang? Narasi ini menegasikan kisah Kian Santang. Kecuali memang Prabu Siliwangi memeluk agama Islam karena di-Islamkan oleh Kian Santang. Kiranya kronologi sejarah perlu disusun ulang secara komprehensif mengenai kisah Prabu Siliwangi dan Kian Santang agar tidak saling menegasikan satu sama lain.

Setidaknya sebelum tahun 1984-an, Prabu Siliwangi diupayakan masuk Islam oleh puteranya Kian Santang. Kisah yang bersumber dari babad pesisir selatan Jawa Barat ini telah tersebar luas. Jika Prabu Siliwangi telah memeluk Agama Islam semenjak menikahi Nyai Subang Larang yakni Ibunda Kian Santang, lalu mengapa ada kisah upaya peng-Islam-an oleh Kian Santang?

Menurut legenda, Sang Prabu Siliwangi menolak masuk Islam, ketika diimbau putranya Kian Santang hingga akhirnya dikejar-kejar dalam epik pertempuran adu ilmu kedigdayaan. Akhirnya Prabu Siliwangi memilih 'menghilang' atau 'Ngahiyang' di Pantai Sancang Garut. Proses Islamisasi di Jawa Barat pada abad ke-14 sampai ke-16 tidak dapat dilakukan tanpa menyebut nama-nama besar seperti Kian Santang.

Seandainya Prabu Siliwangi telah Muslim sebelum Kian Santang lahir, maka Kisah Kian Santang menjadi tidak ada. Namun nama Kian Santang masih melekat dengan makam di Godog Garut dan tidak main-main nama Prabu Kian Santang diabadikan menjadi nama Bataliyon Raider 301 Prabu Kian Santang.

Ia tanpa ragu-ragu mengikuti jejak ibunya, memeluk Islam. Setelah terjadi proses Islamisasi, Prabu Siliwangi lalu ngahyang atau meng-hyang. Menurut Ridwan Saidi, dari sinilah muncul kata: ‘parahyangan’. Sebenarnya istilah atau Kata Prahyangan telah lama ada sejak abad ke-7 hingga 11 Masehi tercatat dalam prasasti-prasasti Kerajaan Medang atau Mataram Kuno (Hindu).

Tapi, menurut Ridwan Saidi, hingga sekarang masih menjadi pertanyaan besar: Apakah prabu menolak ajakan putranya masuk Islam, atau menerima ajakan itu secara diam-diam? 

Kisah Kian Santang harus ada jalan tengah. Menurut Carita Purwaka Caruban Nagari (CPCN), Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana atau Kian (Kean) Santang pada masa akhir hidupnya mengembangkan Islam di daerah Priangan Selatan. Menurut sumber tradisi di Garut, Kean Santang sebagai putera raja Pajajaran (Prabu Siliwangi). Ia berselisih paham dengan ayahnya, tetapi akhirnya disepakati Kean Santang diberi keleluasaan menyebarkan Islam di seluruh Kerajaan Sunda. Petilasan Kean Santang ada di Godog berupa makam dan di Gunung Nagara berupa bekas pertahanan. Demikian pula diceritakan dalam Naskah Wawacan Keyan Santang (WKS) dana Wawacan Perbu Kian Santang (WPKS). Baca juga Satria Tanpa Tanding | Wawacan Keyan Santang 

Dikutip dari buku "Hitam Putih Pajajaran: Dari Kejayaan hingga Keruntuhan Kerajaan Pajajaran" tulisan Fery Taufiq El-Jaquene, bahwa beberapa masyarakat Sunda sedikit demi sedikit mulai mengenal agama baru melalui jalur perdagangan, pernikahan dan politik.  Kerajaan Pajajaran dikenal sebagai kerajaan yang pluralis, bahkan sejak sebelum Prabu Siliwangi. Hal ini dibuktikan dengan pernikahan beda agama antara Prabu Siliwangi dengan perempuan Islam. 

Menurut penulis, di zaman dahulu bahakn sekarang pun masalah agama adalah masalah pribadi. Agama dalam hal ini konteksnya adalah hubungan manusia dengan Tuhan-nya. Kita mengutip Prasasti Kebantenan yang dikeluarkan oleh Prabu Siliwangi Sri Baduga Maharaja - Prasasti Kebantenan I (Prasasti Jayagiri):

Lempeng I (E.42a) recto:
//ong awignam as/tu. nihan/ sakakala ra hyan niskala was/tu kañcana pu/ turun/ ka ra hyan ningrat/ kañcana maka ŋuni ka susuhunan/ ayő na di pakuan/ pajajaran/ pun/ mulah mo mipahe dayőhan/ di jayagiri dőn (baca; jőn) dayőhan/ di su(n/)da sĕmbawa ayama nu ŋabayu an/ iña ulah dek/ ŋahőryanan iña ku nadasa. calagra. kapas/ timban. pare dondan pun/ maŋaditudi ka para muhara. mulah dek/ men/ta an/ iña beya pun/ kena iña nu purah dibuhaya mibuhayakőn/ na kacarita an/ pun/ nu pagőh ŋawaka n/ na dewa sasana/ na pun/ o.o
Terjemahan:
Semoga selamat. Inilah tanda peringatan Rahyang Niskala Wastu Kancana, turun kepada hyang Ningrat Kancana, kemudian diamanatkan kepada Susuhunan yang sekarang di Pakuan Pajajaran. Telah menitipkan dayeuhan di Jayagiri dan dayeuhan di Sunda Sembawa agar ada yang mengurusnya. semua hendaknya jangan mengganggu dengan dasa calagara, kapas timbang dan pare dongdang. Maka diperintahkan kepada para muhara agar jangan memungut biaya (pajak) dari mereka (penduduk) karena mereka itu sangat berbakti kepada ajaran (agama) dan teguh memelihara Dewasasana. Baca juga Apa Agama yang Dianut Prabu Siliwangi? | Prasasti Kebantenan - Bukti Situs Keagamaan di Kerajaan Pajajaran

Dalam kalimat pembukaan Prasasti tertulis ong awignam as/tu sama dengan om awignam astu Artinya: Ya Tuhan, semoga atas perkenanMu...


Referensi

    1. "Apakah Prabu Siliwangi Menolak Islam, atau Menerima Diam-Diam?" republika.co.id 19 April 2016 Diakses 12 Februari 2022.
    2. Ekadjati,  Edi  S.,  1985. "Naskah  Sunda  Lama  Kelompok  Badad".  Jakarta:  Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
    3. ___________,    1985. “Pendekatan  Sejarah  Atas  Peninggalan-peninggalan Tertulis  Tentang  Prabu  Siliwangi”dalam  Seminar  Sejarah  dan  Tradisi Tentang Prabu Siliwangi. Bandung: 20-24 Maret.
    4. ___________,1988. "Naskah  Sunda:  Inventarisasi  dan  Pencatatan". Bandung: Universitas Padjadjaran
    5. Koswara, Dedi. "Buku Bahan Perkuliahan Sastra Buhun: Intrepretasi Semiotik WKS". pdf. Bandung: Fakutas Pendidikan Bahasa dan Sastra UPI. Diakses 8 Agustus 2020.
    6. Kusdiana, Ading. (2014). Sejarah Pesantren: Jejak, Penyebaram, dan Jaringannya di Wilayah Priangan (1800-1945). Bandung: Humaniora.
    7. Lubis,   Nina   Herlina,   1991. "Diktat   Historiografi".  Bandung: Jurusan sejarah UNPAD.
    8. __________, 1994.” Interpretasi Sumber Sejarah” dalam Jurnal Sastra, Tahun II, No. 2. Bandung: Fakultas Sastra UNPAD.
    9. __________,  1998. "Kehidupan  Kaum  Menak  Priangan:  1800-1942".  Disertasi Doktor. Bandung: Pusat Informasi Kebudayaan Sunda.
    10. Marzuki, Sulina dkk. 1992/1993. "Wawacan Perbu Kian Santang". Jakarta: Proyek Penelitian dan  Pengkajian Kebudayaan Nusan­tara Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Direktorat Jenderal Kebudayaan. kemdikbud.go.id pdf Diakses 7 Agustus 2020. 
    11. Muhsin Z., Mumuh. 2010. "Penyebaran Islam di Jawa Barat". Makalah. Disampaikan dalam Saresehan Nasional “Sejarah Perjuangan Syaikhuna Badruzzaman (1898 – 1972)“ Diselenggarakan pada tanggal 13 Juni 2010 Di Pondok Pesantren al-Falah, Mekargalih, Tarogong Kidul, Kabupaten Garut . unpad.ac.id PDF Diakses 12 Februari 2022.
    12. "Pluralisnya Kerajaan Pajajaran, Prabu Siliwangi Menikahi Perempuan Muslim" oleh Avirista Midaada, Okezone · Kamis 06 Januari 2022 Diakses 12 Februari 2022.
    13. Utomo, Bambang Budi. Arsitektur Bangunan Suci Masa Hindu Buddha di Jawa Barat. Jakarta: Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata Proyek Peneltian dan Pengembangan Arkeologi, 2004. 
    14. Widyastuti, Endang. “Variasi Bentuk Ganesa dan Perkembangan Religi di Jawa Barat”, dalam Kresno Yulianto (Penyunting), Tradisi, Makna dan Budaya Materi, hlm. 28-39. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, 2004.
    15. Zoetmulder, P.J. ”The Significance of the Study of Culture and Religion for Indonesian Historiography”, dalam Soedjatmoko, Muhammad Ali, G.J.Resink, dan G.Mc.Kahin, An Introduction to Indonesian Historiography, hlm 326-330. Ithaca/New York: Cornell University Press, 1965.
Baca Juga

Sponsor