Cari

Asal-usul Orang Baduy



[Historiana] -  Beberapa sumber menyebutkan asal usul Etnik Baduy, masyarakat Etnik Baduy Dalam. Masyarakat Etnik Baduy Dalam sendiri suka menyebut dirinya urang Kanékés. Urang Kanékés lebih dikenal oleh masyarakat umum termasuk pengamat dengan sebutan Etnik Baduy. Disebut Baduy dikarenakan oleh beberapa sebab yaitu :

  • a) Daerahnya yang diapit oleh dua gunung Baduy.
  • b) Diadaptasi dari nama masyarakat Badawi yang pada zaman dahulu merupakan salah satu Etnik yang hidupnya nomaden, yang memiliki gaya hidup mirip dengan orang Kanékés. Sistem pemerintahan, politik, ekonomi dan semua sistem lain dalam desa Kanékés masih berpola tradisional. Secara administrasi pembagian wilayah dibagi menjadi tiga wilayah utama yakni Cikeusik, Cikartawana dan Cibeo.

Ada sumber yang mengatakan bahwa sebutan Etnik Baduy menurut cerita adalah asalnya dari kata Baduy, yakni sebutan dari golongan/kaum Islam yang maksudnya karena Etnik itu tidak mau mengikuti dan taat kepada ajaran agama Islam, sedangkan di Saudi Arabia golongan yang seperti itu disebut Badui maksudnya golongan yang membangkang tidak mau tunduk dan sulit diatur sehingga dari sebutan Badui inilah menjadi sebutan Etnik Baduy. Sistem budaya tradisional di masyarakat Kanékés ini sama halnya dengan sistem budaya tradisional di masyarakat lain yakni menggunakan sistem lisan untuk memberitakan suatu hal berupa informasi, cerita, hiburan atau pendidikan.

Orang Baduy percaya bahwa nenek moyang mereka telah menempati Desa Kanékés sejak jaman Nabi Adam, yang dianggap sebagai tempat asal usul manusia yang dilahirkan di bumi ini.

Menurut keyakinan mereka, tempat pertama yang dihuni manusia adalah Kampung Cikeusik kemudian Kampung Cikartawana, dan terakhir di Kampung Cibeo. Dari ketiga kampung itu warganya kemudian menyebar ke kampung-kampung lainnya. Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa Etnik Baduy berasal dari Kerajaan Pajajaran. Namun ada pula pendapat yang berebeda mereka adalah penduduk Banten Utara karena faktor sosial politik tertentu pindah ke Selatan ke daerah Kanékés yang didiami sekarang ini.

Beberapa informasi yang diperoleh dari beberapa informan tentang Etnik Baduy mereka adalah keturunan dari Batara Cikal, yaitu salah satu dari tujuh dewa yang diutus turun ke bumi. Informasi tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang yang pertama, yang dipercaya Adam dan keturunannya termasuk warga Baduy. Utusan tersebut bertapa atau asketik (mandita) dengan maksud untuk menjaga keharmonisan dunia. Mereka juga beranggapan bahwa Etnik Baduy merupakan peradaban masyarakat yang pertama kali ada di dunia.

Pendapat lain yang membuktikan orang Baduy manusia tertua setidaknya di Pulau Jawa, berdasarkan bukti-bukti pra sejarah dan sejarah, punden berundak Lebak Sibedug di Gunung Halimun 3 km lebih dari Cibeo berusia 2500 SM masa neolitik, memiliki kesamaan simetris dengan peninggalan yang sama dengan piramida di Mesir dan Kuil Mancu Pichu di Peru ribuan tahun silam. Sedangkan Arca Domas hingga kini masih misterius, terletak disebelah Selatan Cikeusik dihulu sungai Ciujung, pegunungan Kendeng bagian Selatan dan dipublikasikan pertama kali oleh Koorders yang datang pada tanggal 5 Juli 1864 (Djoewisno, 1987). Arca domas adalah menhir berukuran besar diatas punden berundak paling atas. Bangunan punden berundak ini juga dilengkapi menhir lainnya. Mereka percaya arca domas adalah lambang Batara Tunggal tempat dimana roh diciptakan dan berkumpul. Selain itu arca domas merupakan pusat bumi dan asal muasal manusia diturunkan ke bumi dan menjadi nenek moyang orang Baduy. Karena itu arca domas merupakan daerah larangan yang tidak boleh dimasuki orang luar (Purwitasari, 2000).

Berbagai informasi tentang asal-usul orang Baduy tersebut berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Cina, dan ceritera rakyat mengenai Tatar Sunda yang cukup minoritas keberadaannya. Keberadaan masyarakat Baduy sering dikaitkan dengan Kerajaan Sunda atau yang lazim disebut sebagai Kerajaan Pajajaran pada abad 15 dan 16 M, atau kurang lebih enam ratus tahun yang lalu.

Wilayah Banten pada waktu itu merupakan bagian dari Kerajaan Pajajaran, yang berpusat di Pakuan (wilayah Bogor sekarang). Banten merupakan kota pelabuhan dagang yang cukup besar. Di wilayah tersebut mengalir Sungai Ciujung yang dapat dilayari berbagai jenis perahu besar maupun kecil untuk mengangkut hasil bumi dari pedalaman. Untuk itu penguasa di wilayah Banten yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan, maka diperintahkan sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan hutan yang lebat dan berbukit di Gunung Kendeng. Keberadaan pasukan bertugas yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Baduy yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Baduy sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.

K. Adimihardja dalam bukunya Orang Baduy di Banten Selatan: Manusia Air Pemelihara Sungai, Jurnal Antropologi Indonesia, Th. XXIV, No. 61, Jan-Apr 2000, hal 47–59) menuturkan, di masa itu wilayah ujung Barat Pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Padjadjaran, sebagai pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari untuk mengangkut hasil bumi dari wilayah pedalaman. Penguasa wilayah ini; Pangeran Pucuk Ulum menganggap keamanan wilayah ini harus dijaga, maka sepasukan tentara kerajaan diperintahkan untuk menjaga kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus inilah yang diyakini sebagai cikal bakal masyarakat Baduy yang mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng hingga kini.

Y. Garna, dalam Masyarakat Baduy di Banten, dalam Masyarakat Terasing di Indonesia (Seri Etnografi Indonesia No.4. Jakarta: Departemen Sosial dan Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial, Gramedia Pustaka Utama, 1993), menyangkal pendapat ini. Dia mengetengahkan penuturan Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan di tengah masyarakat Baduy pada 1928. Van Tricht menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang Baduy adalah penduduk asli daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh dari luar, masyarakat Baduy sudah ada sejak lama di sana dan merupakan masyarakat asli.

Bahwa menurut Van Tricht, masyarakat Baduy terutama warga masyarakat Etnik Baduy Dalam memiliki sifat yang menolak keras dan tidak bisa mengadopsi kebudayaan luar. Selama ini kearifan adat Baduy terbukti mampu bertahan dari cengkeraman kuasa pemerintah kolonial Belanda dan Jepang. Bahkan masih bertahan dalam pemerintahan nasional, termasuk ketika penguasa Orde Baru, mencoba “menyisipkan” pola pembangunan lima tahun ke dalam masyarakat Baduy di tahun ’80-an. Mereka mampu menghindar dengan mengirim utusan menghadap Presiden Soeharto, dan memohon agar mereka dibiarkan menjaga keutuhan adat dan kehidupan mereka sendiri. Selain itu, menurutnya masyarakat Baduy Dalam sangat mempertahankan adatnya untuk melindungi kebudayaannya. Itu terbukti Etnik Baduy Dalam masih sangat ketat untuk mempertahankan kebudayaan nenek moyang mereka dengan sebutan bahwa Etnik Baduy masih tetap memegang pikukuh karuhun. Pendapat Van tricht terkait sejarah Etnik Baduy Dalam ini sejalan dengan pendapat Danasasmita dan Djatisunda (1986: 4-5). Menurut dua ahli ini saat itu raja yang berkuasa di wilayah sekitar Baduy adalah Rakeyan Darmasiska, raja ini memerintahkan masyarakat Baduy yang memang sudah tinggal di sana dari dahulu untuk memelihara Kabuyutan (tempat pemujaan nenek moyang). Menjadikan kawasan tersebut sebagai Mandala atau kawaan suci. Masyarakatnya sendiri di kenal memiliki kepercayaan Sunda Wiwitan (wiwitan: asli,pokok). Sampai sekarang pun masyarakat Baduy masih memegang teguh kepercayaan tersebut. 


Referensi

  1. Adimihardja. 2000. "Orang Baduy di Banten Selatan: Manusia Air Pemelihara Sungai". Jurnal Antropologi Indonesia, Th. XXIV, No. 61, Jan-Apr 2000, hal 47–59.
  2. Danasasmita, Saleh et. al. 1986. Kehidupan Masyarakat Kanekes, Bandung: Bagiab Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi). Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidik-an Dan Kebudayaan. 
  3. Djatisunda, Anis. 2005. "Sunda Wiwitan Agama Orang Sunda Yang Berpribadi Sunda". Makalah dalam sebuah seminar bertema: Memahami Sunda Wiwitan dalam Konteks Kebudayaan Sunda. Bandung.
  4. Djoewisno, Ms., Aam Abdus Salam, A. & Djoewarso, MS. 1987. "Potret kehidupan masyarakat Baduy: bukan suku terasing tapi mengasingkan diri". Banten: Cipta Pratama, 1987
  5. Ekadjati, Edi S.1995. "Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah)". Jakarta: Pustaka Jaya.
  6. Garna, Y. 1993. “Masyarakat Baduy di Banten, dalam Masyarakat Terasing di Indonesia”, Editor: Koentjaraningrat & Simorangkir, Seri Etnografi Indonesia No.4. Jakarta: Departemen Sosial dan Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial dengan Gramedia Pustaka Utama. 
  7. Ipa, Mara., Djoko Adi Prasetyo &Johan Arifin Kasnodihardjo. 2014. "Balutan Pikukuh Persalinan Baduy: Etnik Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten". Jakarta: Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan  dan Pemberdayaan Masyarakat  Departemen Kesehatan RI.
  8. Purwitasari, Tiwi., 2000. "Kultus Arca Domas dan Pelestarian Hutan: Studi Kasus Komunitas Baduy. Kompol-Jawa Barat. Dalam Etty Saringendyati (ed.). Kronik Arkeologi: Perspektif Hasil Penelitian Arkeologi di Jawa Barat, Kalimantan Barat dan Lampung. Jakarta: Pusat Arkeologi Nasional. Hal. 64-73.
Baca Juga

Sponsor