
[Historiana] - Konsep Tata Kota yang dapat kita lihat zaman sekarang ini ditandai adanya alun-alun. Lebih khas lagi di Tanah Pasundan ini, di tengah-tengah alun-alun itu terdapat tangkal caringin (pohon beringin). Di sebelah selatan alun-alun terdapat gedung pendopo pemerintahan desa, kecamatan, atau kabupatian (kabupaten) bahkan gubernuran (contoh Gedung Sate Bandung).
Pola yang khas dari adanya alun-alun hampir sama di semua daerah di pulau Jawa. Di sebelah barat alun-alun adanya mesjid, di sebelah timur pasar dan di utara terdapat gedung militer atau gedung penjara. Namun tidak semua tata penyusunan seperti itu di Pasundan. Konsep seperti itu disebut 'Macapat' sebuah tradisi sejak Kekuasaan Mataram Islam masuk ke tatar Pasundan. Sebenarnya seperti apa konsepsi tata kota asli Sunda-Pajajaran?
![]() |
Alun-Alun Ciamis (1933) Sumber: KITLV Collection. Colonial CollectionKIT. Code Image 106902. Leiden: Universiteitsbibliotheek Leiden; Aloen-Aloen in Tjiamis. 1933. Koleksi Tropenmuseum. Amsterdam. |
Merujuk pada karya Weishaguna. "Dayeuh Sebagai Konsep Perkotaan Tatar Sunda". Jurnal PWK Unisba, kita menjejaki tapak karuhun mengenai konsepsi kota pakuan zaman Kerajaan pajajaran.
Berkat temuan benda-benda prasejarah yang ditemukan di Parigi (Ciamis), Jampang (Sukabumi), Leuwiliang (Bogor), dataran tinggi Bandung, dan beberapa tempat lainnya di Jawa Barat dan Banten, dapat diduga dengan benar bahwa gejala penghunian tatar Sunda sudah berlangsung selambat-lambatnya sejak masa Plestosen 600.000 SM. Meskipun demikian, jejak permukiman berbudaya kota, baru terditeksi pada tahun 150 M. Itupun berkat informasi dari kidung Ramayana yang berasal dari India karya Walmiki tahun 130 Masehi, berikut :
Yatnavanto Yavadwipam
saptarajyopacobhitam
Suvarnarupyakadvipam suparnakaramanditam
Yawadvipam atikramya Ciciro nama parvatah
divam sprcati crngena devadanavasevitah”
Terjemahannya :
“Jelajahilah Pulau Jawa, tujuh kota menjadi berhias (makmur) Nusa emas dan perak dengan banyak bertambang emas Di ujung pulau Jawa terletak gunung pesisir salju yang puncaknya menyapu awan serta dikunjungi dewa danawa” (Muhammad Yamin, 1951 : 128)
Berdasarkan buku Ghegrahike Hyphegesis karya seorang ahli bumi Yunani Purba bernama Claudius Ptolomeus yang dikutif oleh Yoseph Iskandar (1997: 30) bahwa ada sebuah kota bernama Argyre chora (kota perak) berada di timur jauh yang letaknya di ujung barat pulau Ibadiaou (Yawadwipa). Kemudian 5 buah prasasti berasal dari abad ke-5 Masehi ditemukan di dekat Jakarta berbahasa Sansakerta memberi petunjuk adanya permukiman berbudaya kota bernama Taruma. Berbagai teks prasasti - prasasti tersebut menggunakan istilah pura untuk mendefinisikan kota. Pura berasal dari bahasa sansakerta yang diartikan sebagai permukiman yang berpangkal pada kedudukan dan keunggulan keraton, dibatasi oleh sistem perbentengan dan tata ruangnya mendasarkan diri pada aturan keseimbangan mikro dan makro kosmos yang disebut vastu purasha mandala suci.
Istilah dayeuh itu sendiri berasal dari bahasa Sunda Kuno yang berarti ibu kota. Istilah ini mulai terditeksi mulai abad ke-8 Masehi dengan ditemukannya prasasti Kawali. Kemudian prasasti hulu dayeuh di Cirebon yang berasal dari abad ke-10 Masehi juga memberi indikasi adanya Dayeuh Pakuan.Meskipun prasasti batu tulis Bogor abad ke-14 Masehi tidak secara langsung menyebutkan istilah dayeuh. Namun kronik-kronik pelaut Portugis memperkuat keberadaan dayeuh untuk menyebutkan Ibu Kota Pakuan Pajajaran. Sangat disayangkan jejak peradaban dayeuh tersebut, kini tidak dapat diteliti lebih lanjut secara arkeologis. Meskipun demikian, konsep-konsep perkotaan yang terkandung dalam istilah dayeuh masih dapat ditelusuri jejak-jejaknya melalui penelusuran prasasti, pantun, kronik dan peta pelaut Portugis. Muncul kemudian pertanyaan, bagaimana konsep dayeuhsebenarnya ? Adakah elemen-elemen khusus yang membedakan dayeuhdengan konsep perkotaan masyarakat Hindu lainnya ? Apakah konsep dayeuhjuga didasarkan pada aturan keseimbangan mikro dan makro-kosmos?
Dayeuh dalam Prasasti Kawali
Teks prasasti Kawali I yang berhuruf dan berbahasa Sunda kuno dengan jelas menyebutkan istilah dayeuhyang membedakan diri dari istilah kuta,kedatuan, dan desa. Bila mengamati teks dalam prasasti tersebut, kata dayeuh dihubungkan dengan kata marigi yaitu membuat pertahanan di sekelilingnya. Sistem parit pertahanan ini pula yang menjadi batas pemisah antara kawasan permukiman berbudaya kota dan perdesaan di bagian luarnya. Kalimat Nu najur sagala desa aya ma yang berarti mensejahterakan (memajukan pertanian) desa-desa memberikan indikasi bahwa secara struktur tata ruang, dayeuh merupakan kota agraris menjadi pusat koleksi dan distribusi hasil pertanian dengan mengorganisir beberapa desa atau kawasan pertanian sekitarnya, meskipun elemen pasar tidak diungkap secara jelas dalam teks tersebut.
![]() |
Prasasti Kawali I |
Teks Prasasti Kawali I :
nihan tapa kawali
nu siya mulia tapa bhagya parebu raja wastu
mangadeg di kuta kawali
nu mahayu na kadatuan surawisesa
nu marigi sakuliling dayeuh
nu najur sagaladesa aya ma
nu pa (n) deuri pakenagawe rahhayu
pakeun heubeul jaya dina buana
Terjemahannya adalah :
“Yang bertapa di Kawali ini adalah yang berbahagia Prabu Raja Wastu yang bertahta di kuta Kawali, yang memperindah kedatuan Surawisesa, yang membuat parigi (pertahanan) sekeliling ibu kota, yang mensejahterakan (memajukan pertanian) desa-desa. Semoga ada (mereka) yang kemudian membiasakan diri berbuat kebajikan agar lama berjaya di dunia”. (Yoseph Iskandar, 1997 : 210-211).
![]() |
Konsep Dayeuh kawali |
Keterangan :
1 = Kedatuan,
2 = Kuta (perbentengan),
3 = dayeuh,
4 = negeri Kawali.
5 Tanda panah = Arah pancaran kekuatan spiritual.
Bila teks prasasti Kawali I di atas diamati lebih mendalam, hubungan antara kedatuan, kuta, dayeuh, kawasan perdesaan, negeri kawali membentuk konsep struktur tata ruang konsentrik berhirarki dengan suatu kekuatan spiritual tertentu. Kedatuan Surawisesa merupakan unit lingkungan 1 berupa kompleks bangunan istana kerajaan sekaligus sebagai pusat spiritual yang memancarkan kekuatan ajaran pakenna gawe rahayu pakeun heubeul jaya dina buana (lihat kembali Prasasti Kawali I) dan pakena kereta bener pakeun nanjeur na juritan (lihat prasasti Kawali II). Unit lingkungan 2 adalah kuta atau permukiman yang dibatasi sistem perbentengan sebagai tempat keluarga dan kerabat pendukung raja pendukung kekuatan spiritual ajaran tersebut. Unit lingkungan ke-3 adalah dayeuh sebagai ibu kota Negeri Kawali. Dengan konsep ini dayeuh meliputi kuta dan permukiman di luar sistem perbentengan. Secara spiritual menerima pancaran kekuatan spiritual dari lingkungan kedatuan dan kuta. Lingkungan ke-4 adalah Negeri Kawali yang meliputi kedatuan, kuta, dayeuh dan desa-desa hinterlandnya. Kekuatan spiritutal pakenna gawe rahayu pakeun heubeul jaya dina buana dan pakena kereta bener pakeun nanjeur na juritan menyebar tidak terbatas secara geografis.
![]() |
Prasasti Kawali II |
Teks Prasasti Kawali II :
Aya ma
nu ngeusi bhagya
kawali bari pakena
kereta bener
pakeun na(n) jeur
na juritan
Terjemahannya :
“Semoga ada (yang kemudian) mengisi kebahagiaan (Negeri) Kawali ini sambil membiasakan diri berbuat kesejahteraan sejati agar tetap unggul dalam perang”. (Yoseph Iskandar, 1997: 210-211)
Berdasarkan prasasti tersebut, Dayeuh Kawali sebagai Ibu Kota Kerajaan Galuh merefleksikan suatu sistem sosial-ekonomi-pemerintahan masyarakat berbudaya. Hal ini telihat dari kebijaksanaan Mahaprabu Niskala Wastu Kancana, yang mengembangkan sikap membiasakan diri berbuat kebajikan (pakena gawe rahayu) dan membiasakan diri berbuat kesejahteraan sejati (pakena kereta bener) sebagai sumber hakiki bagi kesentosaan bernegara.
Indikasi Dayeuh dalam Prasasti Geger Hanjuang
Prasasti Geger Hanjuang ditemukan di lereng Gunung Galunggung, tepatnya di bukit Geger Hanjuang atau Kabuyutan Linggawangi Kecamatan Leuwisari, Kabupaten Tasikmalaya. Prasasti Geger Hanjuang ini beraksara dan berbahasa Sunda Kuno, yang bacaannya sebagai berikut :
tra ba i gune apuy nasta
gomati sakakala rumatak
disusu(k) ku batari hyang pun
Terjemahannya :
“Pada hari ke-13 bulan Badra tahun 1033 Saka (21 Agustus 1111), Rumatak disusuk oleh Batari Hiyang”.(Yoseph Iskandar, 1997 : 181).
![]() |
Prasasti geger Hanjuang. Foto: Soekapura.or.id |
Ruma(n)tak yang dimaksud dalam prasasti Geger Hanjuang adalah nama ibu kota baru Kerajaan Galuh di Galunggung menggantikan Dayeuh Kawali. Berdasarkan hal itu pula dikatakan sebagai Dayeuh Rumantak. Pada prasasti tersebut Dayeuh Rumantak dilengkapi dengan elemen parit pertahanan (susukan). Hal ini hampir sama dengan tradisi marigi pada Dayeuh Kawali. Bila diamati lebih cermat lagi istilah nyusuk juga terdapat pada teks prasasti Batu Tulis Bogor untuk mendefinisikan parit pertahanan ibu kota Dayeuh Pakuan. Dengan demikian satu elemen penting melengkapi konsep perkotaan dayeuh adalah pertahanan dalam bentuk parigi atau susukan. Baca juga: kerajaan panjalu ciamis penerus panjalu.
Kekuatan spiritual bernegara yang dikembangkan oleh Dayeuh Rumantak bertumpu pada ajaran Tri Tangtu Di Buana yaitu sistem pemerintahan yang menitik beratkan pada kerjasama atau kemanunggalan tiga kunci pokok bernegara; Ratu (pemimpin), Rama (sesepuh), dan Resi (pendeta). Artinya kehidupan bernegara akan runtuh bila kemanunggalan ini sudah tiada lagi. Konsep spiritual bernegara ini juga dilengkapi dengan filosofi, semua berasal dari masa lalu oleh karena itu diperlukan penghormatan/ kepatuhan terhadap nilai-nilai tradisi leluhur yaitu :
Aya ma beuheula aya tu ayeuna,
hanteu ma beuheula hanteu tu ayeuna.
Hana tunggak kana watang,
tan hana tunggak tan hana watang,Hana ma tunggulna aya tu catangna.
(Yosep Iskandar, 1997 N0. 865 : 31).
Misteri Prasasti Hulu Dayeuh
Prasasti “Hulu Dayeuh” yang ditemukan pada tahun 60-an di Desa Hulu Dayeuh tidak jauh dari Kota Sumber Ibu Kota Kabupaten Cirebon, menyimpan misteri yang belum terpecahkan. Dalam bahasa Sunda, hulu dayeuh diartikan sebagai pusat kotanya Ibu Kota. Prasasti yang tingginya mencapai 70 cm, lebar 34 cm dan tebal 20 cm ini, ditulis dengan jenis huruf Sunda Kuno ini yang diperkirakan berasal dari abad ke-10 Masehi. Hal yang menjadi misteri adalah tertulisnya “Sri Pakwan” di dalam prasasti tersebut. Apakah mungkin Desa Hulu Dayeuh ini pernah menjadi pusat kota Ibu Kota Kerajaaan Pakuan Pajajaran?
![]() |
Prasasti Hulu Dayeuh |
…………..tra….na….
………..sri mahharaja ratu
haji di pkwan sya sang ratu
dewata pun/ masa sya……..
……..ngretakeun bumi ngaha……
….....lipukkeun/ bumi ngaha……
..ngarah sang di susuk/ lampu…
…….i ngareubhkeun/ ikang….ka…
susi padakah. Ngalasan…
na udugbasu. mipataka…….
is/nikang kala pun….
Terjemahan dari teks tersebut adalah:
"Prasasti ini dibuat atas perintah Sri Maharaja Ratu Haji di Pakuan Sya Sang Ratu Dewata sebagai tanda peringatan atas pekerjaan-pekerjaan yang telah dilaksanakan untuk kepentingan rakyat.
Fragmen prasasti tersebut secara garis besar mengemukakan tentang Sri Maharaja Ratu Haji di Pakwan Sya Sang Ratu Dewata yang bertalian dengan usaha-usaha memakmurkan negrinya.
Dayeuh Pakuan Pajajaran Kronik perjalanan Tome Pires
Tome Pires, seorang pelaut Portugis yang melakukan pelayaran ke berbagai tempat di Nusantara tahun 1513 menyebutkan ibu kota kerajaan Sunda disebut dayo (dayeuh). Letaknya kira-kira 2 hari perjalanan dari bandar Pelabuhan Sunda Kelapa ke arah pedalaman. Menurut kronik tersebut, Dayeuh Pakuan merupakan kota besar dengan penduduk mencapai 48.271 orang. Pada itu Dayeuh Pakuan merupakan kota terbesar kedua di Nusantara (Indonesia masa itu) setelah Demak yang jumlah penduduknya 491.187 orang. Pasai, waktu itu kota terbesar ketiga, dengan jumlah penduduk 23.121 orang (Yoseph Iskandar, 1997: 234).
Pada kronik J. De Baros, seorang pelaut portugis dalam karyanya Da Asia yang ditulis tahun 1531, menyebutkan Pulau Sunda dengan kota utamanya daio (dayeuh) adalah sebuah negeri pedalaman yang lebih bergunung-gunung dari Jawa dan memiliki pelabuhan terkemuka yakni Cimanuk (Chiamo), Xacatara atau karawang (caravam), Tangerang (Tangaram), Cigede (Cheguide), Pontang (Pondang) dan Banten (Bintam) yang merupakan tempat-tempat yang menghubungkan lalu lintas perniagaan di jalur Pulau Sumatera, Malaka hingga Pulau Jawa (Lihat gambar Peta Asia Karya De Baros tahun 1531).
![]() |
Peta Pulau Sunda dan Pulau Jawa karya J. De Baros tahun 1531; menyebutkan lokasi daio (Dayeuh Pakuan). Sumber: Adolf Heuken, 1999 : 96. |
Kronik perjalanan Tome Pires menyebutkan bahwa hal yang menarik di Dayeuh Pakuan Pajajaran terdapat adalah rumah-rumah penduduknya yang berukuran besar dan indah terbuat dari kayu dan palm serta terdapatnya istana tempat tinggal raja yang dikelilingi oleh 330 pilar sebesar tong anggur yang tingginya 5 fathon (1 fathon = 1,828 meter) dengan ukiran pada puncaknya. Naskah Carita Parahiyangan menyebutnya Sri Kadatwan Bima-Punta-Narayana-Madura-Suradipati yaitu keraton yang berjumlah 5 buah atau dalam sastra klasik sering disebut panca persada. (Yoseph Iskandar, 1997 : 159).
![]() |
Denah Dayeuh Pakuan Pajajaran menurut suatu penelitian. Adolf Heuken, 1999: 2 |
Keterangan Winkler yang pernah berkunjung ke Dayeuh Pakuan menyatakan bahwa Ibu Kota yang bernama Pakuan terletak di antara dua buah sungai yang mengalir sejajar dan sama besar. Laporan utusan-utusan militer VOC abad 17 dan 18, menyebutkan bekas-bekas kuta atau sistem perbentengan berupa tanah dan batu, jalan-jalan, pemandian, terusan-terusan (susuk) serta bekas-bekas kebun durian, mangga, beringin dan lain-lain.
Dalam sejarahnya, Kerajaan Sunda masa silam masih terlihat samar, jika tidak ingin kita katakan gelap. Untuk menelusuri bagaimana konsep tata kota dan arsitektur bangunan keraton dan penyangganya, terkait dengan kosmologi Sunda. Beberapa anasir adanya sinkretisme Sunda-Hindu dan Buddha nampak dalam naskah-naskah lontar dan cerita pantun. Perlu pembuktian dalam bukti arkeologis. Jika dipengaruhi Hindu, maka dalam pembangunan struktur petirtaan, istana dan candi tentunya memerlukan seorang arsitek (Sthapati) dengan berlandaskan pada ilmu tentang tata ruang Wastu Sastra (Vastu shastra). Wastu Sastra ini tentunya dipengaruhi oleh kepercayaan saat itu. Untuk itu, kita dapat merujuk pada Naskah Lontar Sunda Kuno yaitu "Warugan Lemah" atau Kropak 622 peti 88. Anasir Hindu sangat terlihat dalam naskah ini.
Namun demikian, jika di zaman Kerajaan Pajajaran daibawah pemerintahan Sri Baduga Maharaja menganut ageman Jati Sunda, maka kita dapat membuat hipotesis bentuk arsitektur dipengaruhi "Pikukuh Sunda", seperti dapat kita bandingkan dengan konsep dari Masyarakat Baduy (Kanekes):
Gunung teu meunang dilebur
Lebah teu meunang diruksak
Buyut teu meunang dirobah
Lojor teu meunang dipotong
Pondok teu meunang disambung
Nu lain kudu dilainkeun
Jika memerhatikan ajaran pikukuh Sunda seperti dikutip di atas, maka besar kemungkinan pengelolaan tata kota mengikuti aturan tersebut. Tidak akan mendapatkan aktivitas pembangunan yang mengubah lingkungan alam secara ekstrim. Misalnya penyusunan benteng (kuta) bisa jadi menggunakan batu-batu boulder dalam bentuk alaminya tanpa diubah bentuk dengan cara diratakan atau dalam bentuk kotak dan lain-lain. Tetapi jika ada sinkretisme ajaran dalam pembangunan itu, maka akan terdapat kombinasi di dalamnya. Terlihat dalam temuan 'Jaladwara' (pancuran air khas Hindu-Buddha di wilayah Sunda seperti didokumentasikan Brumun.
![]() |
Jaladwara (arca pancuran) Kerajaan Sunda Brumund, J.F.G. 1868 |
![]() |
Jaladwara (arca pancuran) Kerajaan Sunda Brumund, J.F.G. 1868 |
![]() |
Ilustrasi Petirtaan Pakuan Pajajaran dengan mengkombinasikan pengaruh Pikukuh Sunda Dengan pengaruh Hindu-Buddha |
Baca juga: Arca Zaman hindu-Buddha di Bogor
![]() |
Prasasti batu Tulis Bogor |
Memperkuat fakta di atas, teks Prasasti Batu Tulis yang ditemukan di Bogor, menyebutkan kalimat-kalimat penting yang merujuk pada konsep elemen-elemen penting Dayeuh Pakuan seperti nyusuk na pakwan, Nu nyiyan sakakala gugunungan, Ngabalay, Nyiyan samida dan Nyiyan sanghiyang talaga rena mahawijaya. Berikut teks Prasasti Batu Tulis:
00//wang na pun/ ini sakakala, prebu ratu purane pun, diwastu diya wingaran prebu guru dewataprana diwastu diya dingaran sri baduga maharaja ratu haji di pakwan pajajaran sri sang ratu de- wata pun ya nu nyusuk na pakwan diya anak rahyang dewa nis- kala sa(ng) sidamoka di gunatiga, I(n)cu rahyang niskala wastu ka(n)cana sa(ng) sidamokta ka nusa larang, ya siya nu nyiyan sakaka- la gugunungan ngabalay nyiyan samida, nyiyan sanghyang talaga (wa)rna mahawijaya, ya siya pun /00/ i saka, panca pandawa (m)ban bumi //00
Terjemahannya adalah :
Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi prabu ratu suwargi. Ia dinobatkan dengan gelar Prabuguru Dewataprana; dinobatkan (lagi) ia dengan gelar Sri Baduga Maharaja ratu penguasa di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit (pertahanan) di (Dayeuh) Pakuan. Dia anak Rahiyang Dewa Niskala yang mendiang di Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang mendiang ke Nusalarang. Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan, mengeraskan jalan dengan batu, membuat (hutan) samida, membuat telaga Warna Mahawijaya. Ya dialah (yang membuat semua itu). (Dibuat) dalam (tahun) Saka 1455(Yoseph Iskandar, 1997: 226).
Nu nyusuk na pakwan, membuat “susukan” atau parit pertahanan sepanjang 3 kilometer tebing Cisadane, bekas tanah galian dibentuk benteng memanjang di bagian dalam, sehingga jika musuh menyerang dari luar akan terhambat oleh parit kemudian benteng tanah. Nu nyiyan sakakala gugunungan, membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan, yaitu bukit Badigul di daerah Rancamaya, tempat upacara dan menyemayamkan abu jenazah raja-raja tertentu (sangat disayangkan bukit Badigul itu sudah dibuldoser dan dibangun real-estate tanpa diteliti dahulu kepentingannya secara seksama). Ngabalay, memperkeras jalan dengan batu-batuan tertentu (penetrasi) dari gerbang Pakuan sampai keraton, kemudian dari gerbang Pakuan ke Rancamaya (7 km). Nyiyan samida, melestarikan hutan tutupan (Terlarang) yang ditanami kayu samida (untuk kepentingan upacara ngahiyangkeun) dan berfungsi ganda sebagai reservoir alami. Nyiyan sanghiyang talaga warna mahawijaya, membuat talaga yang diberi nama Talaga Warna Mahawijaya untuk kepentingan rekreasi dan penyuburan tanah (setelah bendungannya tidak diperbaiki, kemudian airnya surut membentuk ranca atau rawa) dan namanya berubah menjadi Rancamaya.
Konsepsi spiritual yang dikembangkan dalam kebudayaan Dayeuh Pakuan adalah konsep Ngahiyang. Dalam kropak 630 Siksa Kandang Karesian yang ditulis pada tahun 1518 M,pokok ajarankeagamaan di Pajajaran mendudukan Hiyang merupakan Zat tertinggi sebagai situhu lawan pretyaksa (Yang Hak dan Yang Wujud). Ratu bakti di dewata, dewata bakti di hiyang (pemimpin berbakti kepada dewata, dewata berbakti kepada Hiyang). Sudah menjadi ajaran spiritual masyarakat Pajajaran pada waktu itu adalah manggihkeun Hiyang yang berarti sukma bertemu dengan Zat asalnya (Hiyang)m sehingga tercermin tata laku bernegara dan bermasyarakat yang diharapkan.
Dayeuh Dalam Pantun
Pantun adalah karya sastra lisan masyarakat Sunda. Cerita dalam pantun bukanlah sesuatu yang bersifat empirik tetapi gambaran-gambaran perilaku, ide-ide, aturan atau pola-pola yang bersifat idealistik pada zamannya. Jadi istilah dayeuh dalam pantun bukan menunjukkan ibu kota secara arkeologis tetapi konsepsi ideal sebuah tatanan ibu kota dirancang. Misalkan pantun Nyi Sumur Bandung menjelaskan ada tahapan gerbang atau pintu untuk mencapai sirah/ hulu dayeuh (pusatnya ibu kota) yaitu lawang saketeng, lawang luar, lawang paseban, masuk ke kandang wilis, masuk ke kalapa gading atau kandang laratan, masuk ke kalapa nunggal, barulah tiba di pintu masuk ke hulu (sirah) dayeuh.
metu di lawang ping pitu,
medal di lawang ping sanga,
parapat ka lawang luar,
monteng di lawang saketeng,
lulurung tilu ngabandung,
disorang tiluanana,
mipirna kandang wilis,
sumping ka kalapa gading,
dongkap ka kalapa nunggal,
mapayna ka sirah dayeuh.
(Sumber: Jacob Sumardi, 2001: 4).
![]() |
Ilustrasi Benteng (Kuta) dan Lawang Saketeng di Pajajaran Benten dlm foto adalah di Okinawa (Ryukyu) Jepang yang dahulu sangat intens berniaga di Sunda Kalapa zaman Kerajaan Pajajaran |
![]() |
Foto-foto Sisa Benteng Pakuan Pajajaran di masa sekarang Hasil Penelitian Astrie Syahrina Ramadhanti. Skripsi 2015 |
Baca juga: Replika Keraton Pajajaran akankah Dibangun di Bogor...?
Mengingat ungkapan metu lawang manjing lawang, keluar pintu dan masuk pintu, maka dapat disimpulkan, bahwa konsep dayeuh idealnya dirancang hanya mempunyai satu jalan saja, yakni pintu-pintu masuk dan sekaligus pintu-pintu keluar. Adanya pintu gerbang untuk masuk dan keluar yang berjumlah tujuh dan sembilan, mengisyaratkan adanya sistem perbentengan yang berlapis-lapis. Seperti Pantun Lutung Kasarung:
jug ka alun-alun, dangdeung ka lawang paseban, parapas ka lawang luar, medal ti lawang saketeng, kulantung turut lulurung, lulurung tilu ngabandung, kaopat nu keur disorang, kalima heuleut-heuleutan. (Sumber: Jacob Sumardi, 2001 : 4).
![]() |
Contoh Benteng Berlapis Pakuan Pajajaran Foto adalah Benteng Okinawa (Ryukyu) Jepang yang dahulu sangat intens berniaga di Sunda Kalapa zaman Kerajaan Pajajaran |
Sistem perbentengan yang berlapis-lapis ini pula mengindikasikan adanya konsep spiritual tingkatan-tingkatan kahiyangan yaitu: hulu dayeuh sebagai pusat mandala kahiyangan berada di tengah-tengah, dikelilingi oleh tiga lapisan dalam dan dikelilingi lagi oleh tiga lapisan luar atau lingkungan pengikut-pengikut raja. Tiga lapisan dalam, ditempati oleh seluruh anggota keluarga raja beserta kabuyutannya, dan lapisan luar ditempati oleh para pendukung raja.
Konsep ideal kompleks keraton Sunda (lingkungan di dalam sistem perbentengan atau kuta) berupa kompleks hunian yang dilengkapi dengan banyak taman dan kebun sebagaimana pantun Panggung Karaton ini :
bandar panjang pamarakan, ereng deet panandean, paranti nu geulis mandi, paranti nu lenjang siram. ana ret ti kidul kana patulanana, mani ngalamuk kebon kawungnya. Sumber: Jacob Sumardi, 2001 : 4
Konsep ideal alun-alun dayeuh Sunda dirancang tidak hanya berupa lapangan tapi dirancang pula dengan beberapa bangunan semacam Gazebo :
Alun-alun sewu cengkal, babancong tilu ngariung, pingitan dalapan puluh, (Sumber: Jacob Sumardi, 2001: 4).
Baca juga: Dimanakah keraton Pajajaran? | Telusur Jejak Kota Pakuan Pajajaran
![]() |
Alun-Alun Garut (1890) dengan Babancong (Gazeebo) Foto: Tropen Museum |
Kenapa contoh dari Ryukyu?
Pendalaman stuktur bangunan dari Kerjaan Ryukyu. dalam teori "Out of Sunda" asal-usul bangsa Jepang (Ainu dan Ryukyu) berasal dari Sundaland sejak zaman prasejah. Beberapa contoh benteng (kuta) yang digunakan penulis dari Ryukyu Jepang (Okinawa) dengan alasan ada banyak kesamaan dalam konsepsi kosmologinya. Dalam sejarah juga, tercatat oleh Tome Pires (Portugis) bahwa para pedagang Ryukyu pada abad ke-15 ada di pelabuhan Sunda Kalapa. Saat itu Ryukyu berada di bawah pengaruh kekuasaan Tiongkok (China) hingga tahun 1609 M.
Kesamaan kosmologi Ryukyu adalah adanya sosok tertinggi adalah seorang perempuan yang sama dengan Kosmologi Sunda yaitu Sunan Ambu. Salah satu fitur keagamaan yang paling kuno Ryukyu adalah kepercayaan onarigami, keunggulan spiritual wanita yang berasal dari Amamikyu, yang memungkinkan untuk pengembangan dari sistem noro (pendeta wanita) dan pengikut yang signifikan dari yuta (cenayang atau dukun perempuan). Ritual pengagungan terhadap kekuasaan 'adikodrati' tanpa menghadirkan rupa dalam bentuk arca. Simbol ritual menggunakan menhir atau kita mengenalnya Lingga. Barulah kemudian Ryukyu terpengaruh Buddhisme sehingga menghadirkan perupaan kekuasaan adikodrati dengan arca. Pun demikian di Sunda, terdapat 62 Candi Buddha di kompleks percandian Batujaya Karawang.
Lokasi istana Pakuan Pajajaran berada di lemah duwur (tanah tinggi) alias bukit yang dalam naskah Warugan lemah disebut 'Ngalingga Manik'. Lokasi istana Ryukyu di atas bukit, pun di pakuan Pajajaran disebut 'ngalingga manik' di puncak bukit. Untuk segi arsitektural bangunan kuta/benteng menggunakan batu boulder (batu kali) dalam bentuk apa adanya, kemudian disusun dalam bentuk 'balay'. Bangunan keraton Pajajaran menurut Tome Pires dicat berwarna merah, mengingatkan kita pada warna Vihara dan juga bangunan istana Kerajaan Ryukyu. Dan.. paling menarik bahwa orang Ryukyu menjunjung tinggi kesopanan sebagaimana juga tertulis “Shurei no Kuni” di gerbang Shureimon di kastil Shuri tempat tinggal raja-raja Ryukyu.
![]() |
Gerbang Shureimon peninggalan Kerajaan Ryukyu Jepang |
Invasi militer Jepang ke Kerajaan Ryukyu berkali-kali terjadi. Padahal telah berabad-abad Kerajaan Ryukyu telah memberikan penghormatan kepada Keshogunan Ashikaga (1336–1573) Jepang seperti yang dilakukannya terhadap Cina sejak 1372. Pada tahun 1609 dilakukan invasi atas perintah Shogun Tokugawa ke Kerajaan Ryukyu namun gagal. Perundingan beberapa kali dilakukan dengan pengiriman seorang duta dalam misi diplomatik yang bernama Kian Nyūdō Bangen. Dia terkenal karena buku hariannya, Kian Nikki, yang mencatat Invasi Ryukyu 1609. Kerajaan Ryukyu baru bergabung dengan Jepang secara resmi dianeksasi oleh Jepang pada tahun 1879 sebagai Prefektur Okinawa.
Versi videonya...
Penutup
Secara konsep tata ruang dayeuh membedakan dirinya dari permukiman desa atau kota-kota hinterland-nya. Kasus Dayeuh Kawali memberi contoh dayeuh mengorganisasikan beberapa desa dan kawasan pertanian. Kasus Dayeuh Pakuan menjadi contoh dayeuh mengorganisir kota-kota pelabuhan. Dari berbagai kasus yang diteliti, Parigi atau susuk yaitu parit pertahanan menjadi elemen penting dan khas untuk merepresentasikan konsep dayeuh. Prasasti batu tulis mengisyaratkan elemen-eleman penting dayeuh secara lebih baik yaitu susuk, sakakala gugunungan, balay, samida dan sanghiyang talaga warna mahawijaya. Dayeuh sebagai konsep perkotaan khas masyarakat Sunda memiliki pola idealnya konsentrik dengan hirarki-hirarki ruang yang mencerminkan kosmologi tertentu. Kasus Dayeuh Kawali, hirarki ruang terbagi atas lapisan kosmologi yaitu kedatuan – kuta – dayeuh dan negara. Sedangkan konsep ideal ruang yang terdapat di dalam pantun ruang terbagi atas 7 tingkatan yang masing-masing memiliki nama pintu. Konsep spiritual tingkatan-tingkatan ruang kosmologi kahiyangan itu meliputi: hulu dayeuh sebagai pusat mandala kahiyangan berada di tengah-tengah, dikelilingi oleh tiga lapisan dalam dan dikelilingi lagi oleh tiga lapisan luar atau lingkungan pengikut-pengikut raja. Tiga lapisan dalam, ditempati oleh seluruh anggota keluarga raja beserta kabuyutannya, dan lapisan luar ditempati oleh para pendukung raja.
Konsep spiritual yang dikembangkan pada beberapa kasus dayeuh Tatar Sunda menunjukkan adanya perbedaan pendekatan seperti kasus Dayeuh Kawali menggunakan pendekatan ajaran pakennagawe rahayupakeun heubeul jaya dina buana dan pakena kereta bener pakeun nanjeur na juritan,kasus Dayeuh Rumantakmenggunakan ajaran tri tangtu dibuana yang mendasarkan pada kesatuan tiga unsur pokok negara yaitu raja (pemimpin), rama (sesepuh) dan resi (pendeta), dan kasus Dayeuh Pajajaran mengembangkan ajaran Ngahiyang yaitu sukma bertemu dengan Zat asalnya (Hiyang). Tiga kasus konsep spiritual di atas memiliki hakikat yang sama yaitu ajaran kebaikan dari sosok seorang raja yang berkediaman di hulu dayeuhterpancar ke segala arah.
Referensi
- Brumund, J.F.G. 1868 "Bijdragen tot de Kennis van het Hindoeisme op Java", VBG, Vol. XXX.111, pp 1-3 09, Batavia.
- Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1979. Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.
- Gunawan, Aditia. 2010. "Warugan Lemah: Pola Permukiman Sunda Kuno". Seri Sundalana - academia.edu 2010 Diakses 25 Agustus 2020.
- Falah, Miftah, Nina H. Lubis, & Kunto Sofianto. 2017. "Morfologi Kota-Kota di Priangan Timur pada Abad XX-XXI: Studi kasus pada Kota Garut, Ciamis, dan Tasikmalaya" Jurnal Patanjala vol. 9 1 Maret 2017: 1-4. researchgate.net Diakses 25 Agustus 2020.
- Handinoto . 1992. “Alun-alun sebagai Identitas Kota Jawa, Dulu dan Sekarang”. Jurnal Dimensi 18/ARS SEPTEMBER 1992. petra.ac.id PDF Diakses 25 Agustus 2020.
- Heuken SJ, Adolf. 1999. "Sumber-Sumber Asli Sejarah Jakarta" (Jilid I). Jakarta : Yayasan Cipta Loka Caraka.
- Iskandar, Yoseph. 1997. Sejarah Jawa Barat. Bandung : CV Geger Sunten.
- Kawabata , Miki. 2011. "(Re)locating Identities in the Ancestral Homeland: The Complexities of Belonging among the Migrants from Peru in Okinawa". Disertasi Doktoral Department of Anthropology and Sociology School of Oriental and African Studies University of London. London: SOAS University of London. core.ac.uk Diakses 26 Agustus 2020.
- Lombard, Denys. 2000. Nusa Jawa : Silang Budaya, Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris (Jilid 3). Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
- Lubis, Nina H. 2000. Sejarah Kota-Kota Lama di Jawa Barat. Bandung : Alqaprint Jatinangor.
- Muhammad Yamin. 1951. 6000 Tahun Sang Merah Putih. Jakarta. Balai Pustaka.
- Ramadhanti, Astrie Syahrina. 2015. “Evaluasi Pelestarian Lanskap Sejarah Periode Kerajaan Terhadap Kesiapan Bogor Sebagai Kota Pusaka” . Skripsi 2015. Departemen Arsitektur Lanskap Institut Pertanian Bogor.
- Sumardi, Jakob. 2001. Fokus : Kraton Sunda dalam Pantun. Bandung : Pikiran Rakyat, 18 Maret 2001 hal 4
- Wiryomartono, A.Bagoes. 1995. Seni Bangunan dan Seni Binakota di Indonesia. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
- _________ . 1992. Di Cirebon ada Batu Tulis ? Jakarta : Travel Club, Edisi No.41, Tahun ke-4, Januari 1992 hal 54,
- Weishaguna. "Dayeuh Sebagai Konsep Perkotaan Tatar Sunda". Jurnal PWK Unisba.