[Historiana] - Artikel ini bersumber dari "Orang Sunda Perantau; Tinjauan dalam Carita Pantun" oleh Yuzar Purnama pada Jurnal Patanjala Vol. 12 No. 1 April 2020: 53-67 yang diterbitkan Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat.
Etnis Sunda sebagian besar tinggal di Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten. Namun demikian, perseberannya merata hampir di seluruh wilayah Nusantara. Ada etnis Sunda yang bermukim Provinsi Lampung sampai ke Provinsi Aceh, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, sampai ke wilayah paling timur NKRI yaitu pulau Irian Jaya (Papua).
Ciri implisit etnis Sunda sehari-harinya menggunakan bahasa Sunda dan memiliki mata budaya yang cukup dikenal baik di dalam negeri maupun mancanegara, seperti kesenian jaipong dan angklung. Selain itu, etnis Sunda kaya dengan kebudayaannya, mulai dari kuliner: lotek, rujak, bajigur, bandrek, karedok, soto Bandung, peuyeum, colenak, lalab-lalaban, sayur asem, sayur lodeh, bubur lemu, bubur kacang hejo, nasi timbel, nasi liwet, nasi tutug oncom, tumis genjer oncom, pepes ikan, bakakak hayam, gepuk, sate maranggi, laksa bogor, doclang, kupat tahu, asinan bogor, geco(toge dan tauco), surabi, tahu sumedang, dodol garut, leupeut, comro, misro, awug, bapatong(baso kupat gentong), cungkring, angeun lompong, buntil, kekedemes, dan sebagainya. Beragam busana: kebaya, pangsi, kain dodot,kampret, sarung kebat dilepet, karembong, calana komprang, iket (barangbang semplak, hanjuang nangtung), baju salontreng, baju bedahan, jas beludru sulam benang emas (menak), beskap (pakain resmi), dan busana pengantin yaitu kebaya brokat dan kain batik kebat lereng eneng pradaserta jas buka prangwedana.
Berbagai upacara adat Sunda seperti upacara seren taun, tutup taun, labuh saji, ngalungsurkeun pusaka, ngunjung/munjung, bubur syuro, ngiran(rebo wekasan), opat bulanan, nujuh bulanan, salapan bulanan, reuneuh mundingeun, memelihara tembuni, nenjrag bumi, puput pusar, ekah, nyangku, nurunkeun, cukuran(marhabaan), turun taneuh,gusaran, sepitan/sunatan. Berbagai jenis kesenian tradisional seperti wayang golek, calung, degung, rampak gendang, sisingaan, kuda renggong, bajidoran, sintren, cianjuran, kacapi suling, ciawian, reog, dogdog lojor, angklung buhun, debus, karinding, dan carita pantun. Sebenarnya masih sangat banyak mata budaya khas masyarakat Sunda, namun hanya sebagian saja diketengahkan untuk sekedar mengenal budaya masyarakat Sunda.
Kesenian atau tradisi lisan carita pantun yang dijadikan untuk melihat apakah masyarakat Sunda itu masyarakat perantau? Dalam perjalanan hidup dan kehidupan ini masyarakat paham benar bahwa etnis yang termasuk sebagai perantau di antaranya etnis Minangkabau (Padang), Cina, Arab, Bugis, dan Jawa. Oleh karena kebudayaan mereka mendukung ke sana serta mobilisasi keluar daerah relatif cukup besar. Hampir di setiap wilayah eksistensi mereka relatif menonjol dan masyarakat sudah tidak asing serta menerimanya.
Sementara itu pada masyarakat Sunda ada pepatah “bengkung ngariung, bongkok ngaronyok”, “dahar teu dahar asal kumpul”(makan tidakmakan yang penting kumpul) maksudnya berkumpul dalam keluarga itu lebih baik. Makan tidak makan yang penting bisa berkumpul. Dalam ungkapan lain jika ada orang Sunda marah lazim terucap ungkapan “Jig cing jauh ka sabrang ka Palembang” (Pergilah yang jauh ke seberang ke Palembang). Berdasarkan ungkapan tersebut bahwa masyarakat Sunda itu bukanlah berjiwa sebagai perantau. Namun demikian, dalam realitanya relatif cukup banyak orang Sunda yang hidup di luar habitatnya (Jawa Barat dan Banten). Mereka bermukim tetap dan sementara di Sumatera, Sulawesi, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua, bahkan ada yang bermukim di Negeri Malaysia, Arab Saudi, dan negara lainnya. Inilah yang menarik untuk diteliti. Adapun yang menjadi sampel kajian adalah dalam tradisi lisan carita pantun, karena disinyalir bahwa mata budaya ini merupakan budaya asli masyarakat Sunda.
Ciri implisit etnis Sunda sehari-harinya menggunakan bahasa Sunda dan memiliki mata budaya yang cukup dikenal baik di dalam negeri maupun mancanegara, seperti kesenian jaipong dan angklung. Selain itu, etnis Sunda kaya dengan kebudayaannya, mulai dari kuliner: lotek, rujak, bajigur, bandrek, karedok, soto Bandung, peuyeum, colenak, lalab-lalaban, sayur asem, sayur lodeh, bubur lemu, bubur kacang hejo, nasi timbel, nasi liwet, nasi tutug oncom, tumis genjer oncom, pepes ikan, bakakak hayam, gepuk, sate maranggi, laksa bogor, doclang, kupat tahu, asinan bogor, geco(toge dan tauco), surabi, tahu sumedang, dodol garut, leupeut, comro, misro, awug, bapatong(baso kupat gentong), cungkring, angeun lompong, buntil, kekedemes, dan sebagainya. Beragam busana: kebaya, pangsi, kain dodot,kampret, sarung kebat dilepet, karembong, calana komprang, iket (barangbang semplak, hanjuang nangtung), baju salontreng, baju bedahan, jas beludru sulam benang emas (menak), beskap (pakain resmi), dan busana pengantin yaitu kebaya brokat dan kain batik kebat lereng eneng pradaserta jas buka prangwedana.
Berbagai upacara adat Sunda seperti upacara seren taun, tutup taun, labuh saji, ngalungsurkeun pusaka, ngunjung/munjung, bubur syuro, ngiran(rebo wekasan), opat bulanan, nujuh bulanan, salapan bulanan, reuneuh mundingeun, memelihara tembuni, nenjrag bumi, puput pusar, ekah, nyangku, nurunkeun, cukuran(marhabaan), turun taneuh,gusaran, sepitan/sunatan. Berbagai jenis kesenian tradisional seperti wayang golek, calung, degung, rampak gendang, sisingaan, kuda renggong, bajidoran, sintren, cianjuran, kacapi suling, ciawian, reog, dogdog lojor, angklung buhun, debus, karinding, dan carita pantun. Sebenarnya masih sangat banyak mata budaya khas masyarakat Sunda, namun hanya sebagian saja diketengahkan untuk sekedar mengenal budaya masyarakat Sunda.
Kesenian atau tradisi lisan carita pantun yang dijadikan untuk melihat apakah masyarakat Sunda itu masyarakat perantau? Dalam perjalanan hidup dan kehidupan ini masyarakat paham benar bahwa etnis yang termasuk sebagai perantau di antaranya etnis Minangkabau (Padang), Cina, Arab, Bugis, dan Jawa. Oleh karena kebudayaan mereka mendukung ke sana serta mobilisasi keluar daerah relatif cukup besar. Hampir di setiap wilayah eksistensi mereka relatif menonjol dan masyarakat sudah tidak asing serta menerimanya.
Sementara itu pada masyarakat Sunda ada pepatah “bengkung ngariung, bongkok ngaronyok”, “dahar teu dahar asal kumpul”(makan tidakmakan yang penting kumpul) maksudnya berkumpul dalam keluarga itu lebih baik. Makan tidak makan yang penting bisa berkumpul. Dalam ungkapan lain jika ada orang Sunda marah lazim terucap ungkapan “Jig cing jauh ka sabrang ka Palembang” (Pergilah yang jauh ke seberang ke Palembang). Berdasarkan ungkapan tersebut bahwa masyarakat Sunda itu bukanlah berjiwa sebagai perantau. Namun demikian, dalam realitanya relatif cukup banyak orang Sunda yang hidup di luar habitatnya (Jawa Barat dan Banten). Mereka bermukim tetap dan sementara di Sumatera, Sulawesi, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua, bahkan ada yang bermukim di Negeri Malaysia, Arab Saudi, dan negara lainnya. Inilah yang menarik untuk diteliti. Adapun yang menjadi sampel kajian adalah dalam tradisi lisan carita pantun, karena disinyalir bahwa mata budaya ini merupakan budaya asli masyarakat Sunda.
Benarkah Orang Sunda Perantau?
Dalam konsep yang dikemukakan pada bagian pendahuluan di atas, dijelaskan bahwa orang yang dikategorikan sebagai perantau itu adalah orang yang mencari penghidupan; orang yang sedang mencari ilmu, dan sebagainya termasuk orang asing (KBBI). Kemudian ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang itu menjadi perantau yaitu orang-orang yang pergi dari tempat asalatau kelahirannya menuju tempat lain. Faktor yang dimaksud adalah tradisi atau budaya dari suatu kelompok etnis, juga ada faktor ekonomi, pendidikan, dan faktor peperangan.Dalam carita pantun Gantangan Wangi, tokoh cerita yaitu Gatangan Wangi putra mahkota Prabu Siliwangi berkehendak mempersunting Cintawati menjadi istrinya. Ia pergi merantau dari Kerajaan Pajajaran menuju Negara Tilu Kuta Emas untuk menikahi Putri Cintawati. Tidak lama kemudian Putri Cintawati diculik dan dibawa ke Negara Kuta Nusa Balitung. Akhirnya Gantang Pakuan, kakak Gantangan Wangi pergi merantau ke Kuta Nusa Balitung untuk mengambil kembali putri Cintawati. Gantang Pakuan melakukan pertempuran dengan raja Kuta Nusa Balitung, Gempur Alam dan adiknya yakni Rangga Sakti Mandraguna, Rangga Kemasan dan Andon Kancana. Dalam pertempuran itu Raja Gempur Alam berhasil ditaklukkan dan Negara Kuta Nusa Balitung disatukan dengan Negara Tilu Kuta Emas.
Dalam carita pantun Kidang Panandri, tokoh cerita yang bernama Kidang Panandri adalah seorang Hulubalang dari Kerajaan Pasir Batang Lembur Hilir, yang rajanya seorang keturunan Ratu Pakuan Pajajaran, Prabu Rangga Malati. Kidang Panandri diutus untuk mendapatkan binatang kuda berbulu burik yang ada di Nusa Bali. Kidang Panandri pergi merantau dari Negara Pasir Batang Lembur Hilir menuju Negara Nusa Bali untuk mengambil kuda berbulu burik sebagai syarat pernikahan yang diajukan Dewi Tulis. Padaakhirnya harus pergi merantau ke Negara Pasir Batang Negara Tengah untuk berperang menaklukkan rajanya yang tidak menyetujui adiknya, Dewi Tulis menikah dengan Prabu Rangga Malati, putra Ratu Pakuan Pajajaran.
Dalam carita pantun Mundinglaya Di Kusumah, tokoh cerita yang bernama Mundinglaya Di Kusumah berusaha mempertahankan calon istrinya yang bernama Dewi Asri yang sudah dijodohkan sejak dalam kandungan oleh ayahnya, Prabu Siliwangi. Mundinglaya Di Kusumah pergi dari Gunung Gumuruh ke Muara Beres untuk menikahi Dewi Asri yang mendapatkan tantangan dari Sunten Jaya. Namun sebelumnya Mundinglaya pergi merantau dari Gunung Gumuruh ke Leuwi Sipatahunan, Bangawan Cihaliwung dan ke Sangiang Patenggang untuk mencari Lalayang Kancana atas perintah neneknya Pohaci Wiru Mananggay.
Dalam carita pantun Badak Pamalang, tokoh cerita yaitu Badak Pamalang adalah keluarga besar Prabu Siliwangi yang memiliki kelainan. Dengan kelainannya itu, ia terdampar di Negara Nusa Bali. Setelah dewasa, Badak Pamalang pergi ke penjara di Nusa Bali untuk membebaskan orang-orang yang dipenjara. Ternyata yang dibebaskan pamannya yang bernama Prabu Kasep Munding Sanggawati beserta jajarannya yang ditangkap oleh Penguasa Nusa Bali, Demang Patih Naga Bali. Kemudian Badak Pamalang berhasil mengalahkan Demang Patih Naga Bali dan Kasep Munding Sanggawati menjadi raja di Nusa Bali.
Kepergian Kasep Munding Sanggawati merantau ke Nusa Bali bertujuan untuk menjadi raja yang sempurna, namun nasib buruk menimpanya dan menyeretnya ke penjara karena dianggap tidak memiliki rasa hormat kepada tuan rumah.
Dalam carita pantun Langgasari, tokoh cerita Langgasari merantau ke Gunung Larang dan mengabdi kepada Lenggang Manik. Langgasari tidak terima ketika majikannya Lenggang Manik disiksa oleh Jamang Haji Jamang Kuning, Jamang Beureum, Jamang Hideung kemudian ditantang dan dibunuhnya. Peristiwa ini diadukan ke padaleman Gunung Larang dan semua penguasa Gunung Larang dapat ditaklukkannya. Kemudian pergi merantau ke Negara Pasir Batang dan berhasil pula menaklukkan ponggawa Pasir Batang yang bernama Prabu Bagus Ratu Jaya. Akhirnya Prabu Langgasari menetap di Pasir Batang.
Dalam carita pantun Kuda Wangi, tokoh cerita adalah Kuda Wangi yaitu seorang raja di Gunung Wangi. Setelah menikahkan adiknya yang bernama Nyi Lenggang Wangi dengan Putra Ratu Pakuan Pajajaran, bernama Prabu Munding Liman. Kemudian Kuda Wangi berkelana untuk mencari pengalaman dan wawasan yaitu ingin menantang mereka yang gagah. Ketika bertemu dengan raja Nusa Bali terjadilah pertempuran yang dimenangkannya, begitu pula ketika bertempur dengan Raja Pulo.
Dalam carita pantun Kuda Wangi, tokoh cerita Kuda Wangi adalah raja di Negara Gunung Wangi. Raja Kuda Wangi pergi ke Negara Nusa Bini dan Negara Pulo Kancana. Setelah berperang dan berhasil menaklukkan raja kedua negara tersebut, akhirnya wilayah Negara Nusa Bini dan Negara Pulo Kancana masuk di bawah kekuasaan Negara Gunung Wangi, dengan rajanya Prabu Kuda Wangi.
Dalam perantauannya itu Raden Tanjung berhasil mendirikan negara di hulu negeriyang disebut Negara Babakan Kuta Waringin. Di negara ini Ratu Puspa Laya Mantri memerintah dengan Raden Tanjung yang menjadi kepala pamuk.
Selanjutnya Raden Tanjung harus merantau ke Negara Buana Rarang kemudian ke Negara Buana Panca Tengah untuk mencari buah pari kumbang yang berkulit emas, berbiji intan, milik Kebo Longkay Kalang Sinom. Akhirnya buah pari kumbang berhasil didapatkan setelah mengalahkan Kebo Longkay Kalang Sinom, sebagai pemilik buah pari kumbang.
Dalam carita pantun Panggung Karaton, tokoh cerita Panggung Karaton adalah seorang raja di Kerajaan Dayeuh Manggung. Ia mempunyai seorang adik yang bernama Agan Bungsu Rarang Purbaratna Aci Kembang yang sedang mencari suami. Takdir menentukan adiknya menikah dengan Raden Layang Batik putra raja Kerajaan Pajajaran yang bernama Pangeran Banyak Wide. Akhirnya adiknya diculik oleh seorang raja yang bernama Raden Patih Gajah Manggala, dari Kuta Ganggelang, karena merasa penasaran dan sakit hati sudah kalah dalam sayembara. Akibatnya lebih jauh tidak mendapatkan putri cantik pujaan hatinya. Panggung Karaton selanjutnya pergi merantau ke Kerajaan Kuta Ganggelang untuk menyelamatkan adiknya yang diculik oleh Raden Patih Gajah Manggala. Akhirnya terjadi peperangan dan perkelahian seru yang dimenangkan oleh Raja Panggung Karaton.
Tokoh lainnya dalam carita pantun Panggung Karaton yang melakukan perantauan adalah Raden Layung Batik yang merantau ke Dayeuh Manggung untuk mencari seorang pendamping hidup. Akhirnya ia menikah dengan adik Panggung Karaton di Negara Dayeuh Manggung. Setelah menikah menjadi raja di Negara Dayeuh Manggung.
Dalam carita pantun Lutung Leutik, tokoh yang melakukan perjalanan adalah Raden Bungsu Karmajaya, bangsawan Pakuan Pajajaran. Ia melakukan perjalanan dan merantau karena ingin membuktikan mimpinya. Ia bermimpi bertemu dengan seorang gadis cantik jelita. Gadis tersebut adalah adik Tumenggung Laksa Gading dari Negara Nusa Gayonggong, bernama Bagendan Sari. Raden Bungsu minta izin kepada ibu dan ayahnya untuk pergi ke Negara Nusa Gayonggong dengan maksud mencari calon istri. Berangkatlah Raden Bagus dengan tujuan ke Nusa Gayonggong. Perjalanan dan perantauan Raden Bungsu tidak sebatas ke Negara Gayonggong namun melanjutkan ke Negara Margacina karena putri idamannya Bagendan Sari ada di sana.
Tokoh atau pelaku utama dalam carita pantun hampir semuanya melakukan pergi merantau dan meninggalkan tempat tinggal, tempat kelahiran, dan tempat wilayah kekuasaan untuk berbagai tujuan. Seperti, pergi mencari calon istri, pergi bertapa, pergi untuk membantu raja menghadapi huru-hara yang akan timbul, memperluas wilayah kekuasaan kerajaan, dan lain sebagainya. Menurut Soekanto sebagaimana dikutip oleh Heryana (2014: 164) bahwa yang dimaksud kekuasaan adalah kemampuan satu pihak (subjek kekuasaan) untuk mempengaruhi pihak lain (objek kekuasaan) sehingga pihak lain bertindak sesuai kehendak dan tujuan subjek kekuasaan (pemegang kekuasaan).
Dengan demikian jelaslah bahwa karakter orang Sunda yang digambarkan dalam tokoh atau pelaku utama narasi carita pantunadalah sebagai perantau. Maka tidaklah heran jika ada orang Sunda dapat tinggal sampai berketurunan di berbagai wilayah baik di wilayah Nusantara maupun di mancanagara dengan tujuan pekerjaan, mendapatkan jodoh, belajar, dan lainsebagainya. Mengingat masih relatif cukup banyak cerita-cerita dalam tradisi lisan yang menggambarkan kehidupan manusia di masa lampau dan memiliki nilai budaya, maka perlu dilakukan penggalian dan penelitian dalam berbagai cerita dalam tradisi lisanagar dapat dijadikan pegangan, pedoman, dasar, pijakan, dan cermin tauladan khususnya bagi generasi muda.
Referensi
- Atja &Danasasmita,S. 1981. "Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian (Naskah Sunda Kuno Tahun 1518 Masehi)". Jawa Barat: Proyek Pengembangan Permuseuman
- Djunaedi, E. 1995. "Pola Merantau Masya-rakat Dusun Cisayong Desa Cisayong Kecamatan Cisayong Kabupaten Tasikmalaya Jawa Barat: Studi Antropologi tentang Faktor-Faktor Pendorong dan Penarik Merantau Masyarakat Dusun Cisayong". Tesis Universitas Indonesia.
- Ekadjati, E.S. 2005. "Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah". Cetakan kedua. Jakarta: Pustaka Jaya
- Heryana, A. 2014. "Jejak Kepemimpinan Orang Sunda". Patanjala, 6 (2),163-178.
- Koswara, D. 2013. "Nilai-nilai Pendidikan Karakter Bangsa dalam Carita Pantun Mundinglaya Di Kusumah: Kajian Struktural-Semiotik dan Etnopeda-gogi". Metasastra,6 (2),33-48.
- Meijer, J. J. 1891. "Badoejsche Pantoen Verhalen". Bidjragen tot de Taal-Land-en Volkenkunde (BKI),40 (1), 45-105.