Cari

Bekasi adalah Awal Kerajaan Sunda

Sang Tarusbawa, Mahara Sunda
Ilustrasi: Historiana


 

[Historiana] - Sejarah Kerajaan Sunda kerap kita dengar berpusat di Bogor Jawa Barat. Di wilayah Bogor ini terdapat Pakuan Pajajaran. Memang benar di zaman Pajajaran sekira abad ke-15 Masehi. Mari kita telusuri awal Kerajaan Sunda.

 

Sejarah Kerajaan Sunda tak terlepas dengan sejarah pendahulunya yaitu kerajaan Tarumanagara. Wilayah Tarumanagara pada masa Purnawarman membawahi 48 kerajaan daerah. Jika dibentangkan dalam peta daerah tersebut meliputi jawa bagian barat (Banten hingga Kali Serayu dan Kali Brebes Jawa Tengah).  

 

Kerajaan Sunda adalah Penerus Kerajaan Tarumanagara

Kerajaan Tarumanagara  berdiri sejak tahun 358 hingga 669 Masehi. Wilayah kerajaan ini mencakup wilayah Bekasi, Sunda Kelapa, Depok, Cibinong, Bogor, dan Indramayu.

 

Istilah Sunda didalam alur cerita kesejarahan resmi di mulai sejak Tarusbawa mengubah nama Kerajaan Tarumanagara Menjadi Kerajaan Sunda, pada tahun 669 M atau tahun 591 Caka. Pada masa itu kekuasaan Tarumanagara berakhir dengan beralihnya tahta Linggawarman pada tahun 669 M kepada Tarusbawa, menantunya yang menikah dengan Dewi Manasih. Tarusbawa kemudian diberi gelar Maharaja Tarusbawa Darmawaskita Manunggalajaya Sundasembawa.  Pelantikannya berlangsung tanggal 9 bagian terang bulan Jesta taun 591 Saka (18 Mei 669 Masehi).

 

Sang Tarusbawa lahir dan dibesarkan di Sundapura (kota Sunda) bekas ibu kota Tarumanagara. Ketika ibukota Kerajaan Sunda pindah, maka Sundapura berubah menjadi Sunda Sembawa. Dayeuh Sundasembawa inilah daerah asal Maharaja Tarusbawa (669-723 M) pendiri Kerajaan Sunda dan seterusnya menurunkan Raja-Raja Sunda sampai generasi ke-40 yaitu Ratu Ragumulya (1567-1579 M) Raja Kerajaan Sunda (disebut pula Kerajaan Pajajaran) yang terakhir.


Berita ini disampaikan kesegenap negara sahabat dan bawahan Tarumanagara. Demikian juga terhadap Cina, Terusbawa mengirimkan utusan bahwa ia pengganti Linggawarman. Sehingga pada tahun 669 M dianggap sebagai lahirnya Kerajaan Sunda.



Sundapura Berada di Bekasi

Lokasi Ibukota Kerajaan Tarumanagara adalah Sundapura atau kota suci. Lokasi Sundapura ini ditenggarai sebagai Bekasi saat ini. Keberadaannya disebutkan dalam Prasasti Kebantenan. Prasasti Kebantenan terdiri dari empat prasasti yang memuat keputusan dari Sri Baduga Maharaja yang ditulis dalam lima lempeng tembaga. Berdasarkan isi prasasti, kita dapat mengetahui bahwa Sunda Sambawa dan Jayagiri adalah 2 nama untuk 2 tempat yang berbeda. Artinya di Bekasi dan sekitarnya ada nama tempat Sunda Sambawa dan Jayagiri. 


Mengutip dari situs resmi Pemprov Jawa Barat, Bekasi zaman dahulu bernama Dayeuh Sundasembawa atau Jayagiri. Menurut para ahli sejarah, Dayeuh Sundasembawa adalah ibu kota Kerajaan Tarumanegara. Dayeuh Sundasembawa juga adalah daerah asal Maharaja Tarusbawa, pendiri kerajaan Sunda.


Prasasti Jayagiri (Prasasti Kebantenan I)
Lempeng 1 (E.42a) Recto


Prasasti Sunda Sambawa I (Prasasti Kebantenan II)
Lempeng E.43 recto

Prasasti Kebantenan I merupakan tanda peringatan dari Rahyang Niskala Wastu Kancana, turun kepada Hyang Ningrat Kancana, kemudian diamanatkan kepada raja yang berkuasa di Pakuan Pajajaran sehubungan dengan penitipan dayeuhan di Jayagiri dan Sundasembawa agar ada yang mengurus. Untuk itu diharapkan agar tidak ada yang berani mengganggu dengan memungut pajak atau sumbangan lain dari penduduk yang sangat taat beragama dan rajin memelihara tempat bersemayam para dewa.

Prasasti Kebantenan II berisi pengukuhan yang dilakukan oleh Sri Baduga Maharaja (abad ke-15), raja Pakuan Pajajaran terhadap tanah tempat bersemayam para dewa di Sundasembawa sehingga tidak ada yang berani mengganggu. Daerah itu ditentukan batas-batasnya: sebelah timur dari Ciraub sampai Sanghyang Salila; di barat dari Ruseb sampai Munjul, terus ke Cibakekeng, Cihonje, sampai ke muara Cimuncang; di selatan dari hutan Comon. Juga disebutkan bahwa sepanjang jalan besar ke arah hulu merupakan tanah larangan yang disediakan untuk para wiku sehingga jangan sampai ada yang mengingkari keputusan itu.

 

Berdasarkan prasasti Kebanten II, penulis membuat sketsa keletakan Kabuyutan/Dewasasana Sunda Sembawa sebagai berikut:


Sketsa penulis keletakan Sunda Sembawa
Berdasarkan Prasasti Kebantenan II

Berdasarkan sketsa peta keletakan Sunda Sembawa di atas, maka lokasi ini mestinya berada di Kota/Kabupaten Bekasi sebagaimana diklaim bahwa posisi Sunda Sembawa di Bekasi. Namun, penulis belum menemukan nama-nama lokasi yang disebutkan dalam prasasti. Untuk itu, kita menelusurinya ke bahasa Sunda Kuno dan jawa Kuno. Beberapa kata tidak ditemukan. Kita mencoba menelusurinya ke dalam Bahasa Melayu Kuno. Ini dilakukan mengingat di wilayah pesisir bagian barat Jawa barat dikenal berbahasa campuran Sunda-Melayu yang disebut Sunda Kamalayon (Sunda ke-Melayu-melayuan). Termasuk bahasa Melayu Kreol, artinya bahasa Melayu yang dituturkan oleh penutur bukan Melayu (dalam hal ini orang Sunda). Selain itu wilayah Bekasi-Jakarta hingga masyarakat pesisir propinsi Banten yang berbahasa Melayu kreol juga dengan Dialek Melayu-Baba yakni campuran bahasa Melayu dan Hokkien. Hal ini terjadi karena daerah pesisir yang berdekatan dengan pelabuhan menjadi pusat pertemuan antar bangsa. Dan bahasa Melayu telah lama digunakan sebagai Lingua Franca, bahasa penghubung percakapan dalam perniagaan dan keagamaan sejak zaman kuno.


Kata Raub dapat kita hipotesakan berasal dari bahasa Melayu yaitu kata Rao atau Rawa. Kemudian kata Raub mendapat awal Ci ~ Cai yang artinya air. Dahulu di Bekasi banyak rawa dan sekarang ini banyak toponimi menggunakan kata rawa. Contohnya Rawa Lumbu, Rawa Bebek, Rawa Gede, Rawa Panjang, Rawa Tembaga, Rawa Baru, Rawa Pasung, dan masih banyak lagi. Kita tidak dapat mengidentifikasi, daerah mana yang dimaksud Raub/rao/rawa dalam prasasti. Kemungkinan adalah Rawa Tembaga (Raub Rambra). Rawa Tembaga yang dahulu melintas cukup luas di sepanjang Bekasi, saat ini sudah berubah menjadi Kantor Pemkot Bekasi, Gelanggang Olah Raga (GOR) Bekasi, stadion, monumen, perumahan, bahkan pusat perbelanjaan seperti Metropolitan Mal, Bekasi Cyber Park, Living Plaza, Mega Bekasi Hypermall, dan Bekasi Square. Rawa Panjang pun saat ini hanya tinggal nama jalan saja karena sudah dibangun beberapa perumahan. 


Kedua nama daerah Sanghyang Salila. Sebutan Sanghyang sebagai pernghormatan atau pengangungan dari orang Sunda terhadap seseorang, objek sakral atau tempat sakral. Salila dalam bahas Sunda berarti 'Selama'. Jika kata Salila dalam bahas Sunda diterapkan rasanya kurang tepat dengan Sanghyang. Kita lihat dalam bahasa Sansekerta, Salilā yang artinya air hujan, hujan atau air. Mungkin Sanghyang Salilā berupa petirtaan, danau, sungai atau bagian sungai berupa situ (lubuk sungai). Tentunya sekarang telah berada di bawah lapisan aspal dan beton kota Bekasi. Dalam Buddisme (jika terkait candi Buddhis), Salila mengacu pada "hujan", menurut Ratnagotravibhāga (Uttaratantra) abad ke-3, ayat 4.43-44 .— 

"... dikatakan bahwa [pikiran Sang Buddha dalam aktivitasnya] seperti awan (megha). Seperti halnya, di musim hujan, awan-awan keluar, tanpa usaha apapun, Banyaknya air di bumi, Menyebabkan panen berlimpah; Sang Buddha Menurunkan hujan (salila) dari Ajaran Tertinggi (saddharma) Dari awan Welas Asih, tanpa pikiran mencari, Untuk membawa tanaman kebajikan di antara makhluk hidup. Sama seperti awan mengeluarkan hujan (salila), digerakkan oleh angin, ke atas bumi di mana Orang-orang berperilaku di jalan perbuatan bajik; Demikian pula, awan Sang Buddha Menuangkan hujan dari Ajaran Tertinggi Saat kebajikan meningkat di dunia Karena angin Welas asih ”.


Topinimi di sebelah barat Sunda Sembawa yaitu Ruseb, Munjul, Cibakekeng, Cihonje, dan muara Cimuncang adalah berasal dari bahasa Sunda yang artinya dikenali hingga sekarang sebagai nama-nama sungai. Namun, toponimi ini tidak kita kenali lagi di wilayah Bekasi. Jika dahulu ada Dewasasana berupa wilayah Sima atau Swatantra, kini hanya tertinggal dalam motto Kabupaten Bekasi 'Swatantra Wibawa Mukti'.


Kembali ke prasasti Kebantenan.Dengan memerhatikan prasasti Kebantenan ini, kita mengetahui bahwa pada abad ke-15, daerah ini termasuk wilayah kerajaan Sunda-Pajajaran. Ditandai bukti pengukuran daerah Sima: Sundasembawa dan Jayagiri oleh Sri Baduga Maharaja.

 

Prasasti Kebantenan ini dengan jelas dikatakan adanya daerah keagamaan yang diresmikan oleh Raja Sunda, Jayadewata atau Sri Baduga Maharaja (1482-1521) yang berkedudukan di Pakuan. Prasasti itu berisi pesan sang raja untuk tak mengganggu gugat permukiman Jayagiri dan Sundasembawa, serta tanah dewa sasana yang ada di Gunung Samaya. Daerah itu merupakan larangan yang tak boleh ditarik pajak. Di sana tempat tinggal bagi para wiku. Bagi yang menggangu akan dibunuh.

 

Prasasti ini menyebut daerah larangan itu kabuyutan dan kawikuan atau dewasasana. Dewasasana adalah sebutan tempat peribadatan atau Rabut dalam naskah Bujangga Manik, mengindikasikan sebagai tempat peribadatan agama Hindu-Buddha. Pengertian Dewasasana dari kata Dewa dan Sasama (tempat). Jadi tempat bersemayamnya dewa. Berikutnya terdapat penyebutan Wiku yang berasal dari kata Bikhu atau Biksu. Menunjukan lebih khusus sebagai sarana peribadatan Agama Buddha. Mungkinkah percandian Batujaya-Pakisjaya juga dikenal dan masih dilindungi di zaman Sri Baduga Maharaja?



Pemindahan Ibukota

Perpindahan lokasi atau pembangunan istana Sunda pada masa Terusbawa digambarkan di dalam Fragmen Carita Parahyangan:

Diinyana urut Kadatwan, ku Bujangga Sedamanah ngaran Kadatwan Bima – Punta – Narayana – Madura – Suradipati. Anggeus ta tuluy diprebokta ku Maharaja Tarusbawa denung Bujangga Sedamanah.
(Disanalah bekas keraton yang oleh Bujangga Sedamanah diberi nama Sri Kedatuan Bima-Punta – Narayana – Madura – Suradipati. Setelah selesai dibangun lalu diberkati oleh Maharaja Tarusbawa dan Bujangga Sedamanah.).


Berita yang layak dijadikan bahan kajian tentang pembangunan istana yang dilakukan Tarusbawa juga tercantum dalam Pustaka Nusantara II/3 halaman 204/205, isinya :

”Hana pwanung mangadegakna Pakwan Pajajaran lawan Kadtwan Sang Bima – Punta – Narayanan – Madura – Suradipati ya ta Sang Prabu Tarusbawa”.
(Adapun yang mendirikan Pakuan Pajajaran beserta keraton Sang Bima – Punta – Narayana – Madura – Suradipati adalah Maharaja Tarusbawa)


Istana sebagai pusat pemerintahan terus digunakan oleh raja-raja Sunda Pajajaran atau Pakuan Pajajaran. Istilah Pakuan Pajajaran menurut Purbatjaraka (1921) berarti istana yang berjajar. Memang nama istana tersebut cukup panjang, tetapi berdiri masing-masing dengan namanya sendiri, berurutan Bima – Punta – Narayana – Madura-Suradipati, atau disebut juga panca persada (bangunan keraton). Bangunan Keraton tersebut dimungkin sebagaimana yang dilaporkan oleh Gubernur Jendral Camphuijs, tanggal 23 Desember 1687 kepada atasannya di Amsterdam. Isi laporan tersebut menyatakan seperti dikutip dari Di dalam buku Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat [RPMSJB]:

Dat hetselve paleijs specialijck de verhaven zitplaets van den Javaense Coning Padzia Dziarum nu nog geduizig door een groot getal tiigers bewaakt en bewaart wort. (bahwa istana tersebut. dan terutama tempat duduk yang ditinggikan – sitinggil – kepunyaan raja “Jawa” Pajajaran, sekarang ini masih dikerumuni dan dijaga serta dirawat  oleh sejumlah besar harimau). [RPMSJB jilid keempat hal. 34].


Laporan diatas mendasarkan pada penemuan Sersan Scipio, pada tanggal 1 September 1697, tentang penemuan pusat Kerajaan Pajajaran pasca dihancurkan pasukan Banten – Cirebon.
 


Istilah Pakuan Pajajaran, atau Pakuan atau Pajajaran saja ditemukan pula di dalam Prasasti tembaga di Bekasi. Urang Sunda kemudian terbiasa dengan menyebutkan nama Pakuan untuk ibukota Kerajaan dan nama Pajajaran untuk negaranya. Sama dengan istilah Ngayogyakarta Hadiningrat dan Surakarta Hadiningrat yang nama-nama keraton tersebut kemudian digunakan untuk nama ibukota dan wilayahnya.


Paska pemisahan Galuh secara praktis kerajaan Sunda terbagi dua, sebelah barat Sungai Citarum dikuasai Sunda (Tarusbawa) dan sebelah Sungai Citarum bagian timur dikuasai Galuh (Wretikandayun). Penyatuan kembali Sunda dengan Galuh dimasa lalu terjadi beberapa kali, seperti pada masa Sanjaya, Manarah, Niskala Wastu Kancana dan Sri Baduga Maharaja.


Istilah Pakuan Pajajaran, atau Pakuan atau Pajajaran saja ditemukan pula di dalam Prasasti tembaga di Bekasi. Urang Sunda kemudian terbiasa dengan menyebutkan nama Pakuan untuk ibukota Kerajaan dan nama Pajajaran untuk negaranya. Sama dengan istilah Ngayogyakarta Hadiningrat dan Surakarta Hadiningrat yang nama-nama keraton tersebut kemudian digunakan untuk nama ibukota dan wilayahnya.


Di Zaman Kerajaan Tarumanagara, terjadi pemindahan Ibukota oleh Maharaja Purnawarman dari Rajatapura (sebagai Ibukota Salakanagara) ke Sundapura. Pemindahan pusat pemerintahan Tarumanagara ke Sundapura tentunya memiliki alasan, bukan karena Purnawarman berasal dari Sundapura, melainkan erat kaitannya dengan masalah pelaksanaan pemerintahannya. Mungkin adanya kepercayaan saat itu dimana nama Kerajaan Berganti dari Salakanagara menjadi Tarumanagara maka Ibukota kerajaan pun ikut berpindah. Peristiwa ini diulangi oleh penerusnya yaitu Maharaja Tarusbawa.


Pada saat itu kondisi Tarumanagara sudah tidak sekuat masa lalu. Tarumanagara pasca meninggalnya Purnawarman sudah mulai turun pamornya di mata raja-raja daerah, terutama pasca kekacauan yang terjadi diintern istana. Banyak raja-raja daerah yang melakukan pembangkangan, terutama yang berada di wilayah sebelah timur Citarum. Disisi lain nama Sriwijaya dan Kalingga sudah mulai naik pamornya sebagai pesaing Tarumanagara. 

 

Pada tahun 670 M, tepatnya satu tahun setelah naik tahta, Tarusbawa menginginkan kembalinya kejayaan Tarumanagara sebagaimana pada masa Purnawarman. Ketika itu Purnawarman memindahkan ibukota Salakanagara ke Sundapura diikuti perubahan nama Kerajaan menjadi Tarumanagara. Seperti deja vu, Sejarah berulang. Tarubawa mengubah nama Kerajaan Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Lalu ia memindahkan Ibukota dari Sundapura (Bekasi)  ke daerah pedalaman dekat Hulu Cipakancilan, yang kemudian dikenal dengan nama Pakuan (Bogor). Namun Tarusbawa tidak memperhitungkan akibat politis dari pergantian nama kerajaan dan pemindahan ibukota kerajaannya.'

 

Dengan alasan inilah Wretikandayun kemudian pada tahun 670 itu juga, menyatakan Galuh membebaskan diri dari Sunda. Sejak saat itu ditatar Sunda muncul dua kerajaan kembar, yakni Sunda dan Galuh.Alasannya bahwa kedudukan Tarusbawa sebagai Menantu wangsa Warman para raja Tarumanagara tidak lebih tinggi dari Wretikandayun yang juga keturunan Maharesi Manikmaya yang juga menantu wangsa warman.
 
 

Perbedaan Sunda dengan Galuh bukan hanya menyangkut masalah pemerintahan, menurut para penulis RPMSJB dan Saleh Danasasmita, antara Sunda dengan Galuh masing-masing memiliki entitas yang mandiri dan ada perbedaan tradisi yang mendasar. Hal yang sama dikemukan Prof. Anwas Adiwilaga, menurutnya: Urang Galuh adalah Urang Cai sedangkan Urang Sunda disebut sebagai Urang Gunung. Mayat Urang Galuh diterebkeun/ditarab atau dilarung, sedangkan mayat Urang Sunda dikurebkeun. Penyatuan tradisi tersebut diperkirakan baru tercapai pada abad ke-13, dengan mengistilahkan penduduk dibagian barat dan timur Citarum (citarum = batas alam Sunda dan Galuh) dengan sebutan “Urang Sunda”. Sebutan tersebut bukan hasil kesepakatan para penguasanya, melainkan muncul dengan sendirinya.

 

Setelah Sundapura tidak lagi menjadi ibukota kerajaan, konon Sundapura (Bekasi) berubah namanya menjadi Sundasembawa. Nama Sunda Sembawa ini tertulis dalam Prasasti Kebantenan. Sunda Sembawa berarti Sunda Awal atau Sunda Awitan atau Sunda Wiwitan

 

Sebagai nama tempat (toponimi), nama Bekasi rupanya lebih tua daripada Sundapura atau Sunda Sembawa. Bekasi berasal dari kata Chandrabaga seperti tertulis dalam prasasti Tugu. Prasasti Tugu tercatat pertama kali dalam laporan Notulen Bataviaasch Genootschap tahun 1879. Kemudian pada tahun 1911 atas prakarsa P.de Roo de la Faille prasasti ini dipindahkan ke Museum Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (sekarang Museum Nasional) serta didaftar dengan nomor inventaris D.124. 

 

Chandrabhaga berasal dari dua kata bahasa Sansekerta, yaitu Chandra dan Bhaga. Jika diartikan, Chandra sendiri berarti bulan atau sasi dalam bahasa Jawa kuno. Sedangkan Bhaga berarti bagian. Secara harfiah, Chandrabhaga diartikan sebagai "bagian dari bulan". Dalam urutan lain, Chandrabhaga sering juga disebut dengan Sasibhaga atau Bhagasasi. Kata Bhagasasi ini kemudian sering diucapkan menjadi Bhagasi. Seiring berjalannya waktu dan lidah masyarakat setempat, kata tersebut menjadi Bakasi atau Bekasi. Saluran irigasi yang dibuat Maharaja Purnawarman itu, sekarang juga dikenal sebagai Kali Bekasi. Sedangkan wilayah di sekitarnya dikenal sebagai daerah Bekasi, Jawa Barat.




Referensi

  1. Atmamihardja, R. Ma´mun, 1950. "Sadjarah Sunda I". Bandung: Ganaco.
  2. Atja. 1968. "Tjarita Parahijangan". Bandung: Yayasan Kebudayaan Nusalarang.
  3. ________. 1970. "Tjarita Ratu Pakuan". Bandung: Lembaga Bahasa.
  4. ________. 1986. "Negarakertabhumi 1-5". Karya kelompok kerja di bawah tanggung jawab Pangeran Wangsakerta Panembahan Cirebon, Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan (Sundanologi) Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
  5. Bosch, F.D.K. 1914/1915 “Guru, Drietand en Bron” BKI 107(2/3), 1951: 117-134. Juga terjemahan bahasa Inggris “Guru, Trident and Spring” dalam Selected Studies in Indonesian Archaeology, The Hague: Martinus Nijhof, 1961:164-dst
  6. Damais, L.Ch. 1955. “Les Ecritures d’Origine Indienne en Indonesie et dans le Sud-Est Asiatique Continental’ BSEI XXX (40. 1955:365-382).
  7. Darsa, Undang A. 2000. "Tinjauan filologis terhadap fragmen Carita Parahyangan: naskah Sunda kuno abad XVI tentang gambaran sistem pemerintahan masyarakat Sunda". Bandung: Lembaga Penelitian, Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran 
  8. Danasasmita, Saleh. et. al. 1983/1984. "Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat [RPMSJB]".  Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintahan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
  9. Kern, H. 1910. “Een woord in ‘Sanskrit opschrift van Toegoe verbeterd” TBG. LII. 1910:123
    Krom, N.J. 1915. “Inventaris der Hindoe-oudheden” ROD 1914, 1915:19 (no.35)
    Krom, N.J. 1931. "Hindoe-Javaansche Geschiedenis, ‘s-Gravenhage", Martinus Nijhof l931:79-81
  10. Lubis, Nina, et al. 2000. Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat. Bandung: Alqa Print
  11. _________. 2003. Sejarah Tatar Sunda, Jilid I, Bandung: Lembaga Penelitian UNPAD.
  12. Noorduyn, J. dan H.Th. Verstappen. 1972. “Purnavarman Riverworks Near Tugu” BKI 128(2/3), 1972:298-307. 
  13. "Notulen van de Algemeene en Bestuursvergaderingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen", blz. XVII:98-99, 1879
  14. Pleyte, C.M. 1905/1906. “Uit Soenda’s Voortijd” Het Daghet 1905/1906:176-dst.
  15. "Sejarah Kota Bekasi". bekasikota.go.id Diakses 1 November 2020.
  16. Vogel, J.Ph. “The Earliest Sanskrit Inscriptions of Java” ROD. 1914, 1915:28-35; plate 27
Baca Juga

Sponsor