Cari

Sang Hyang Talaga Rena Mahawijaya Karya Prabu Siliwangi

[Historiana] - Karya besar Raja Pajajaran Sri Baduga Maharaja atau dikenal sebagai Prabu Siliwangi yaitu sebuah telaga (waduk atau embung) bernama "Sang Hyang Talaga Rena Mahawijaya". Telaga dibangun oleh Prabu Siliwangi dalam mengatasi bencana alam. Telaga Rena Mahawijaya adalah salah satu karya Sri Baduga sebagaimana tertulis pada Prasasti Batu Tulis Bogor. 


Talaga Rena Mahawijaya atau Talaga Warna Mahawijaya?

Pembacaan Telaga Rena Mahawijaya rupanya ada kekeliruan, seharusnya "Telaga Warna Mahawijaya". Hal ini diketahui dari pembacaan baru Hasan Djafar pada Prasasti Batu Tulis (1991, 2007, 2008). Menurutnya, ketidaktelitian dalam melihat dan membaca bentuk aksara dan tanda ejaan dalam prasasti dapat menyebabkan tidak tepatnya hasil pembacaan dan transliterasi. Kesalahan pada pengenalan bentuk atau tipologi aksara dan variannya serta tanda-tanda ucapan.

 

Contoh: puraá¹…e, dibaca purana; saá¹… sida mok\ta [Sang sida mokta]; Å‹Ä•(m)ban, dibaca Ä•mban bahkan tiban; Tidak membedakan ng aksara seperti pada Å‹aran [ngaran] dan ng-anuswara (á¹…) seperti pada kata saá¹… (sang). Tidak membedakan aksara 'mati' yang disebabkan karena diberi tanda patÄ•n (pamaÄ•h) dan yang disebabkan karena diberi aksara 'pasangan', seperti pada penulisan aksara ka pada kata mok\ta [mokta] dan pak=wan\ [pakwan] - paku°an [pakuan]. Belum lagi jika terdapat kata-kata majemuk (kompositum) yang harus dipisahkan menjadi dua kata, yang kadang-kadang salah dalam pembacaannya, sehingga lebih jauh lagi dapat menyebabkan perbedaan arti. Seperti: talaga (wa)á¹›na [talaga warÄ•na] dibaca menjadi talaga réna.

Dengan demikian, bahwa karya Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan adalah pembangunan "Telaga Warna Mahawijaya".


Nina Lubis et al., (2013: 20-21) mengatakan di dalam bukunya "Sejarah Kerajaan Sunda" bahwa, Prasasti Batutulis merupakan sebuah Sakakala (tanda peringatan) yang dibuat oleh Prabu Surawisesa sebagai penghormatan 12 tahun meninggalnya Sri Baduga Maharaja (ayah dari Prabu Surawisesa). 

 

Prasasti Batutulis dibuat pada 1521 M. Terjemahan isi prasasti tersebut sebagai berikut:

"Semoga selamat. Inilah tanda peringatan (untuk) Prebu Ratu yang telah mangkat. Dinobatkan beliau dengan nama Prebu Guru Dewataprana. Dinobatkan (lagi) beliau dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Beliaulah yang membuat parit (pertahanan) Pakuan. Beliau putra Rahyang Dewa Niskala yang mendiang di Guna Tiga, cucu Rahyang Niskala Wastukancana yang mendiang di Nusa Larang. Beliaulahlah yang membuat tanda peringatan (berupa) gunung-gunungan, memperkeras jalan, membuat samida, membuat Sang Hyang Talaga Rena Mahawijaya. Beliaulah itu. Pada tahun Saka panca pandawa ngemban bhumi(1455)."


Selain Prasasti Batutulis, pembuatan Talaga Rena Mahawijaya sebagai bangunan air dikisahkan pula di dalam Naskah Carita Parahyangan dari abad ke-16 M. Undang A Darsa (2011: 91) menuliskan dan menerjemahkan penggalan dari isi naskah sebagai berikut: "Ndeh nihan tembey Sang Resi Guru miseuweukeun Sang Haliwungan, inya Sang Susuktunggal nu munar na Pakwan reujeung Sang Haluwesi, nu nyaeuran Sanghiyang Rancamaya." (Demikian awalnya, Sang Resi Guru mempunyai anak Sang Haliwungan,yaitu Sang Susuk Tunggal yang memperbaiki Pakuan dan Sang Haluwesi, yang mengurug Sanghiyang Rancamaya).


Pembuatan bangunan air untuk pendukung pertanian telah dikenal jauh sebelum masa kolonialisasi. Pada abad ke-11 Masehi Raja Airlangga melaksanakan pembangunan 'Dawuhan', yaitu kolam besar (waduk) yang berfungsi sebagai penampungan air. Pada masa Kerajaan Majapahit dibangun Waduk Kumitir, Waduk Temon, dan Waduk Kedungwulan. Bambu, batu, dan batang pohon merupakan material utama untuk membuat bangunan-bangunan air di zaman tersebut (Meer dalam Inagurasi, 2014: 12).


Peristiwa-peristiwa pada masa lampau yang dilakukan oleh raja-raja yang pernah berkuasa di Pulau Jawa, bukan hanya sebagai bentuk instruksi raja yang hanya dinilai sebagai 'monumen' penguasa, atau suatu tujuan keagamaan (sebagai tempat upacara Srada). Candrabagha, Talaga Rena Mahawijaya, Dawuhan, Waduk Kumitir, Waduk Temon, dan Waduk Kedungwulan, dibuat dengan visi yang sangat jauh, yaitu sebagai bentuk 'sadar bencana' bagi masyarakat, serta fungsi-fungsi lainnya seperti untuk pengairan pertanian.


Pakwan Pajajaran (sekarang pusat Kota Bogor, mulai dari Lawang Gintung sampai Lawang Saketeng) merupakan ibukota Kerajaan Sunda yang didirikan oleh Prabu Trarusbawa. Rekaman kondisi Kota Pakwan Pajajaran pada saat itu bisa tergambar dari Naskah Bujangga Manik (Lubis et al., 2013: 139-142). 

 

Pada masa sebelum Sri Baduga Maharaja, dalam Naskah Fragmen Carita Parahyangan diceritakan adanya Panca Prasadha (lima kompleks keraton) di Pakwan Pajajaran, yaitu: "Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati" yang dibangun dan diperindah oleh Maharaja Trarusbawa (Darsa et al., 2000: 59-60).

 

Pada saat Sri Baduga Maharaja berkuasa (1482-1521 Masehi), dilakukan rekonstruksi tata kota di Pakwan Pajajaran dengan membuat parit untuk memperkuat keamanan, hal ini dilakukan karena tempat ini dijadikan sebagai pusat politik untuk seluruh Tatar Sunda, yang awalnya berada di kompleks Keraton Surawisesa (Galuh Pakwan) (Lubis et al., 2013: 144).

 

Lihat juga versi videonya 




Kota Pakwan Pajajaran selain dari prasasti dan naskah, terdapat di dalam laporan para penjelajah VOC, yaitu Scipio (1687), Adolf Winkler (1690), dan Abraham van Rieebeck (1703, 1704, dan 1709). Niemeijer (2015: 5-6) menulis bahwa, pada 21 Juli 1687 Scipio memulai ekspedisi dari Batavia dengan melewati Cijantung dan Pasar Baru. Setelah beberapa bulan, sampailah pada sebuah tempat yang diperkirakan sebagai “Benteng Padjajaran” pada 1 September, dia membuat deskripsi tentang reruntuhan kota Pakwan Pajajaran sebagai berikut:

Ini (Benteng Padjajaran) terletak antara sungai Tzillewon (Ciliwung) dan Zadanij (Cisadane), dan beberapa jam dari desa Paranhangsana (Parung Angsana), satu tembakan pistol dari sungai Tzillewon. Pertama, seorang berjalan antara dua tiang (dari batu) sepanjang empat kaki; lalu seorang memasuki pintu masuk, yang terdapat batu tingginya masih enam kaki. Di situs ini bebatuan masih dalam susunan yang rapi seluas sebuah “vadem” di kedua sisinya; seorang menduga bahwa semuanya dibuat oleh manusia. Delapan langkah dari sana, kita akan menemui sebuah tembok, dan di sana-sini bebatuan masih tertempel satu sama lainnya. Selanjutnya, seorang menaiki tangga satu atau dua anak tangga, dan seorang memasuki tempat berbentuk persegi sebesar ruang audiensi kerajaan. Selain itu, ada bebatuan yang masih tersusun rapi. Di satu sisi, ada dua buah batu karang, seperempat dan setengah kaki tingginya; yang paling kecil lebih terlihat seperti landaian ("schuin") dibandingkan dengan yang besar. Orang Jawa berpendapat bahwa itu pernah menjadi singgasana Raja Padjajaran. Singgasana ini dibuat, jika ini merupakan sebuah benteng, dari batu karang sungai, semuanya dalam ukuran yang tidak simetris, dan dari bumi, terekat satu sama lainnya. Kini terdapat banyak jenis pepohonan hutan dan buah, serta terdapat tumpukan yang menyerupai puing ("puinhoop"), walaupun orang Jawa takut akan itu. Hal ini dikarenakan mereka duduk di podium persegi dan tidak berani untuk pindah. Bersama-sama dengan orang Ambon (pembantu), mereka melaksanakan ibadah dan membakar beberapa kemenyan dengan cara Islam. Dan setelah berdoa, kami kembali ke desa Paranhangsana.


Mees (1922: 117-118) di dalam bukunya mencatat sekaligus menggambarkan tata ruang Pakwan Pajajaran, "In ieder geval liet Sang Ratoe Dewa in 1333 een nieuwe kraton te Pakoean bouwen, waarop het rijk Pakoean-Padjadjaran kwam te heeten. Het paleis was door een muur omgeven en ten Noorden er van lag, onmiddellijk er aan grenzend, de stad zelf." (Lalu, pada 1333, Sang Ratu Dewata membangun keraton baru di Pakuan. Istana tersebut dikelilingi oleh benteng, posisinya di sebelah utara tepat di samping kota itu sendiri).

 

Peta Situasi Pakwan Pajajaran pada 1922
Sumber: Mees. 1922 dalam Budimansyah, 2018


Selanjutnya pada 2013 tim peneliti Sejarah Kerajaan Sundamenerbitkan buku dengan judul yang sama. Buku ini menampilkan peta rekonstruksi Kota Pakwan Pajajaran, dengan disertai penjelasan yang menghasilkan temuan baru. Lubis et al., (2013: 148-149) di dalam bukunya menjelaskan bahwa: "Komplek Panca Prasadha terbagi menjadi dua zona, yaitu Dalem Kitha (Keraton Dalam) dan Jawi Kitha (Keraton Luar), dibatasi oleh Jalan Pahlawan yang tembus ke Jalan Siliwangi setelah berbelok di Jalan Batutulis. Bentuk tapak kompleks ini diagonal, melintang dengan sumbu tenggara-barat laut, dengan batas terluarnya, yaitu dari Jalan Siliwangi yang menerus dengan Jalan Suryakancana, kemudian belok di Jalan Ir. H. Djuanda menerus sampai Jalan Empang, kemudian berbelok lagi mengikuti sepanjang jalur kereta api sampai Sungai Cipaku, lalu berbelok sepanjang batas lahan Yon Zipurdan bertemu kembali dengan Jalan Siliwangi."

 

Peta Rekonstruksi Kota Pakwan Pajajaran
Sumber: Budimansyah et.al. 2018

 


Lokasi Talaga Rena (Warna) Mahawijaya

Sri Baduga menjadi raja di Pakwan Pajajaran selama 39 tahun (Lubis et al., 2013: 144). Naskah Carita Parahyangan dan Prasasti Batutulis menceritakan bahwa Sri Baduga memperbaiki kota dan memperkokoh pertahanan dengan membuat parit, serta membangun sebuah telaga yang disebut Talaga Rena Mahawijaya atau Sanghiyang Rancamaya, lengkap dengan sebuah pulau di tengah danau yang bernama Bukit Badigul (Darsa, 2011: 91; Lubis et al., 2013: 166).

 

Topografi Bukit Badigul pada 1992
Sumber: Budimansyah et.al. 2018

 

Talaga Rena Mahawijaya merupakan tempat suci yang dikeramatkan, telaga yang di tengahnya terdapat Bukit Badigul sebagai tempat menyatakan rasa syukur (berdoa). Pada saat sekarang tempat ini sudah berubah menjadi perumahan elit dan lapangan golf (Lubis et al., 2013: 166-167). Penelitian pada 1992 yang dilakukan oleh tim dari Puslit Arkenas menemukan artefak-artefak, seperti fragmen gerabah, fragmen keramik, fragmen logam, artefak batu, kaca, limbah kerak besi, serta tulang dan gigi binatang (Wibisono et al., 1992: 9-10).


Soelaeman (2003: 60) mengatakan bahwa, kawasan Rancamaya merupakan lahan basah yang landai (rawa-rawa), yang kemudian dilakukan penimbunan oleh Sribaduga Maharaja pada 1567 M, untuk dijadikan bendungan (telaga) serta membuat sebuah bukit untuk tempat upacara srada. Rancamaya dengan bukit Badigul rusak dan perlahan menghilang pada awal 90-an (Djasepudin, 2011). Pada 1982 terjadi kontroversi di kalangan masyarakat Bogor mengenai situs Bukit Badigul, pertama seiring dengan adanya pembangunan di kawasan tersebut, dan yang kedua ditengarai bahwa Bukit Badigul sudah mengalami perubahan besar dari wujud aslinya dahulu, dan struktur batu yang ada merupakan 'bangunan artifisial' (Wibisono et al., 1992: 1).

Bukit Badigul pada 1973
Sumber: Soelaeman (2003).

Bukit Badigul pada 2013
Sumber: Budimansyah et.al, Juni 2013.

Pada masa sekarang lokasi bekas Talaga Rena Mahawijaya kurang lebih berada di Kelurahan Kertamaya, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor. Terletak pada 6°39'27" Lintang Selatan dan 106°49'23" Bujur Timur (http://wikimapia.org/), dengan ketinggian 445 MdPL (https://twcc.fr/). Rekonstruksi lokasi Talaga Rena Mahawijaya akan digambarkan sebagai berikut: 



 

Keletakan Talaga Rena Mahawijaya dengan Kota Pakwan Pajajaran
Sumber: Budimansyah et.al, Maret 2018.

 

Talaga Rena Mahawijaya sebagai wujud sikap Sadar Bencana

Sikap Sadar lingkungan sejatinya telah diajarkan oleh orang-orang sejak dahulu, bahwa alam bukan sekadar untuk lahan eksploitasi, tetapi harus juga dirawat dan dimanfaatkan secara bijak. Gunawan (2010: 148) menuliskan sebuah Pikukuhmasyarakat Kanekes, sebagai pengingat kepada kita semua:

Isi Pikukuh:

"Gunung teu beunang dilebur. Lebak teu beunang diruksak. Larangan teu meunang dirempak. Buyut teu meunang dirobah. Lojor teu meunang dipotong Pondok teu meunang disambung. Nu lain kudu dilainkeun."

Terjemahan:

Gunung tidak boleh dikeruk. Wilayah datar tidak boleh dirusak. Aturan tidak boleh dilanggar. Pantangan tidak boleh diubah. Panjang tidak boleh dipotong. Pendek tidak boleh disambung. Yang bukan haruslah tidak.

 

Letak geografis wilayah Indonesia yang berada di daerah iklim tropis yang memiliki dua musim (musim panas dan musim hujan dengan ciri-ciri perubahan cuaca, suhu, dan arah angin yang cukup ekstrim), sangat rentan terhadap bencana banjir dan kekeringan (hidro-meteorologis). Banjir yang secara umum diakibatkan oleh hujan yang tinggi dan semakin berkurangnya daerah resapan, menyebabkan sungai/saluran drainase tidak sanggup lagi menampung volume air yang berlebih (BNPB, 2010: 14-16).

 

Jika menilik permasalahan bencana banjir akibat dari alih fungsi lahan yang berlawanan dengan lingkungan alam, sesungguhnya masyarakat Sunda pada masa lampau telah mempunyai sebuah buku panduan tentang pemanfaatan lahan yaitu Naskah Warugan Lmah, yang merupakan aturan dan arahan mengenai bentuk dan topografi lahan beserta peruntukan fungsinya. Gunawan (2010: 149-150) menyebutkan bahwa Warugan Lmahditulis sekurang-kurangnya sebelum abad ke-17, berisi tentang 18 pola tanah dan wilayah permukiman yang memiliki pengaruh baikserta berdampak buruk, disertai dengan mantra-mantra penyuciannya. Pembagian dua kelompok isi naskah adalah sebagai berikut:

Berdasarkan kontur tanah

  1. Talaga Hangsa (tanah condong ke kiri).
  2. Banyu Metu (tanah condong ke belakang).
  3. Purba Tapa (tanah condong ke depan).
  4. Ambek Pataka (tanah condong ke kanan).
  5. Ngalingga Manik (tanah membentuk puncak).
  6. Singha Purusa (tanah memotong bukit).
  7. Sumara Dadaya (tanah datar).
  8. Jagal Bahu (dua lahan terpisah).
  9. Sri Madayung (tanah berada di antara dua aliran sungai, yaitu sungai kecil dan besar).


Berdasarkan keadaan wilayah

  1. Luak Maturun (bagian tengah wilayah terdapat lembah).
  2. Wilayah yang melipat.
  3. Tunggang Laya (wilayah permukiman menghadap laut).
  4. Mrega Hideung (wilayah permukiman bekas kuburan).
  5. Talaga Kahudanan (wilayah permukiman terbelah sungai).
  6. Wilayah membelakangi bukit.
  7. Si Bareubeu (wilayah berada di bawah aliran sungai).
  8. Kampung dikelilingi rumah
  9. Bekas tempat kotor dikelilingi rumah.


Mengacu pada pembagian klasifikasi lahan dalam Warugan Lmah, Talaga Rena Mahawijaya berada pada posisi Sri Madayung, karena letaknya yang berada di antara dua aliran sungai, yaitu Sungai Cipaku (sungai kecil) dan Sungai Cisadane (sungai besar). Lalu terletak pada posisi Luak Maturun, karena fisik lahannya yang berupa lembah, sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Soelaeman (2003: 60) bahwa kawasan Rancamaya merupakan lahan basah yang landai (rawa).

Sri Madayung memiliki arti 'wanita yang mendayung', dan Luak Maturun berarti 'lahan yang berceruk' atau lembah. Penamaan tersebut merupakan metafora yang disesuaikan dengan keadaan/kondisi fisik lahan atau wilayah permukiman, yang berkaitan dengan jenis topografi yang memberi pertanda baik atau pengaruh buruk bagi penggunanya (Gunawan, 2010: 156).

Pembagian klasifikasi dan fungsi lahan dalam Naskah Warugan Lemah sampai saat ini masih dipertahankan oleh masyarakat adat Sunda, sebagai hukum yang mengatur agar manusia memperlakukan alam dengan bijak dan mengolahnya secara tepat, seperti bunyi petuah berikut:

Isi Petuah:

Ieu hukum adatnyaeta hukum kami.Hukum kami nyaeta:Gunung kayuan,lamping awian,lebak sawahan,legok balongan,jeung datar imahan.

Terjemahan:

Ini tentang hukum adatyaitu hukum kami.Hukum kami adalah:Tanami gunung dengan pohon,tanami tebing dengan bambu,tanah yang landai tanami dengan padi,tanah yang berceruk jadikan kolam,dan tanah yang datar difungsikan untuk membangun rumah.

Keletakan Talaga Rena Mahawijaya dengan Dataran Tinggi sekitarnya
Sumber: Budimansyah et.al, Maret 2018.


Dengan melihat peta keletakannya (Gambar di atas), posisi Talaga Rena Mahawijaya dikelilingi oleh gunung dan dataran tinggi. Pada bagian Barat Daya terletak Gunung Salak, lalu di bagian Tenggara terletak Gunung Pangrango, dan di sebelah Timur Laut terdapat dataran tinggi Cibadak. Ketiga sisi tersebut menjadi hulu dari beberapa sungai yang mengalir melewati kawasan Rancamaya yaitu, Sungai Cisadane, Sungai Cipake, Sungai Ciliwung, dan anak-anak sungai lainnya. Fisik topografi tersebut yang membuat daerah Rancamaya sebagai rawa.

Pengelolaan dan pemanfaatan daerah aliran sungai harus dilakukan dengan pendekatan yang terpadu, yang mensinergikan pengelolaan/pemanfaatan lahandi kawasan dataran tinggi dengan perencanaan pemanfaatan tata guna lahan yang 'ekologis', dengan penerapan ilmu rekayasa, dan pertimbangan aliran air yang mengikuti lereng dari dataran tinggi ke dataran rendah. Proses yang terpadu tersebut adalah sebagai langkah yang tepat, karena menempatkan lingkungan alam sebagai subjek, karena bagaimanapun kekuatan alam sampai kapanpun tidak akan bisa dilawan (BNPB, 2010: 13-18).

Sribaduga membuat Talaga Rena Mahawijaya pada abad ke-16, jika dilihat dari banyak perspektif ternyata tidak hanya ditujukan sebagai fungsi keagamaan, namun banyak fungsi lain yang memberikan manfaat bagi masyarakat. Sebagai pemegang kekuasaan dan kebijakan, Sribaduga Maharaja memiliki visi yang sangat jauh, serta bisa berpikir secara komprehensif, yang pada akhirnya menghasilkan konsep dan teknis penanganan bencana secara enjiniringyang berangkat dari kaidah-kaidah ekologi, yang disinergikan dengan teknologi sangat sederhana.


Referensi

  1. Budimansyah, Kunto Sofianto, Reiza D. Dienaputra. 2018. "Sang Hyang Talaga Rena Mahawijaya: Telaga sebagai Solusi Bencana". Jurnal PatanjalaVol. 10 No.3 September 2018:419 -434. ejurnalpatanjala.kemdikbud.go.id
  2. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). 2013. "Info Bencana" Edisi Desember 2013. 
  3. Darsa, Undang Ahmad et al. Desember 2000. "Tinjauan Filologis terhadap Fragmen Carita Parahyangan: Naskah Sunda Kuno Abad XVI Tentang Gambaran Sistem Pemerintahan Masyarakat Sunda". Jurnal Sosiohumaniora, Vol. 2 No. 3. Universitas Padjadjaran. 
  4. Darsa, Undang A. 2011. "Nyukcruk Galur Mapay Laratan, Pucuk Ligar di Dayeuh Galuh Pakuan", dalam Sundalana 10. Bandung: Pusat Studi Sunda. 
  5. Djafar, Hasan. 1991. "Prasasti-prasasti dari Masa Kerajaan-kerajaan Sunda". Yayasan Kebudayaan Sunda.
  6. _____________. 2000. "Aksara-aksara di Indonesia dari Masa Abad ke-13 sampai Abad ke-16", dalam Endang Sri Hardiati (ed), Perkembangan Aksara di Indonesia. Jakarta: Museum Nasional [Katalog Pameran].
  7. _____________. 2007. "Prasasti Batu Tulis: Peninjauan Kembali". Makalah pada Seminar Kesejarahan Kota Bogor, diselenggarakan oleh Pemerintah Kota Bogor. Bogor, 22 Nopember 2007.
  8. _____________. 2008. "Sekitar Harijadi Bogor: Tinjauan Sumber Sejarah Pakuan Pajajaran". Makalah pada Seminar Kajian Harijadi Bogor. Diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemerintah Kabupaten Bogor, 11 Juni 2007. 
  9. _____________. 2011. "Prasasti Batu Tulis Bogor". AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol.29 No.1 Juni 2011.
  10. Mees, W. Fruin. 1922. "Geschiedenis van Java". Batavia: Uitgave van De Commissie Voor De Volkslectuur Weltevreden. 
  11. Garraghan, Gilbert J. 1947. "A Guide to Historical Method". New York: Fordham University Press. 
  12. Gottschalk, Louis. 2006. "Mengerti Sejarah". Terj. Nugroho Notosusanto. Jakarta: UI Press. 
  13. Gunawan, Aditia. 2010. "Warugan Lmah, Pola Permukiman Sunda Kuna", dalam Sundalana 9. Bandung: Pusat Studi Sunda. 
  14. Heryanto, Bambang. 2011. "Roh dan Citra Kota - Peran Perancangan Kota sebagai Kebijakan Publik". Surabaya: Brilian Internasional.
  15. Jha, Abhas K. et al. 2012. "Kota dan Banjir-Panduan Pengelolaan Terintegrasi untuk Risiko Banjir Perkotaan di Abad 21". Washington DC: International Bank for Reconstruction and Development (IBRD). 
  16. Koentjaraningrat et al. 1984. "Kamus Istilah Antropologi". Jakarta: Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. 
  17. Kuntowijoyo. 1995. "Pengantar Ilmu Sejarah". Yogyakarta: Bentang.
  18. Lubis, Nina H. et al. 2000. "Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat". Bandung: Dinas Pariwisata Dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat - Yayasan Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat. 
  19. ________. 2013. "Sejarah Kerajaan Sunda". Bandung: YMSI Cabang Jawa Barat Bekerjasama dengan MGMP IPS SMP Kabupaten Purwakarta.
  20. Niemeijer, Hendrik E. 2015. "Beberapa Catatan untuk Rujukan ke Padjajaran di Arsip VOC yang Disimpan di ANRI", disajikan pada Focus Group Discussion (FGD) 29 September 2015, Rekonstruksi Situs Astana Gede Kawali dengan Pendekaten Sejarah, Arkeologi, Filologi, dan Antropologi. Bandung: FIB, Universitas Padjadjaran. 
  21. Qodratillah, Meity Taqdir et al. 2008. "Kamus Bahasa Indonesia". Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 
  22. Soefaat et al. 1997. "Kamus Tata Ruang" Edisi 1. Jakarta: Direktorat Jenderal Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum dan Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia. Soelaeman, Eman. 2003. Kumpulan Asal Mula Nama Tempat (Toponimi) Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Dan Kota Depok. Bogor: Yayasan Hanjuang Bodas.
  23. Wibisono, Sonny Chr. et al. 1992. "Laporan Penelitian Arkeologi Bukit Badigul, Rancamaya, Kabupaten Bogor. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. 
  24. Wibisono, Sonny C. Juni 2013. "Irigasi Tirtayasa: Teknik Pengelolaan Air Kesultanan Banten pada Abad ke-17 M". Jurnal Amerta, Vol. 31 No. 1. Pusat Arkeologi Nasional, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Baca Juga

Sponsor