Cari

Ronggowarsito tentang Peristiwa Gunung Kapi dan Berakhirnya Gladiator Romawi | Legenda Asal-usul Pulau Jawa


 

[Historiana] - Sejarah awal Pulau Jawa seolah terbungkus oleh misteri, karena sama sekali tidak diketahui keberadaannya oleh dunia sampai pulau ini dikunjungi oleh peziarah dari China, Fa Hien pada tahun 412 Masehi.

Mengutip Kitab Karya Ronggowarsito III, dengan Mengacu pada Serat Mahaparwa karya Empu Satya pada tahun 851 Sakla (929 Masehi sezaman dengan Era Kerajaan Kediri). Dalam  mitologi pewayangan Jawa, dikisahkan bahwa zaman dahulu, mulai Aceh Hingga Bali Membentang dalam satu pulau. Dalam Serat Mahaparwa karya Empu Satya tahun 851 Surya atau 879 Candra dari Mamenang (Kediri), ada sebuah pulau panjang yang belum berpenghuni dan belum punya nama. Suatu ketika para dewa yang bersemayam di kahyangan Gunung Tengguru (Himalaya) datang ke pulau tersebut dipimpin oleh Sanghyang Manikmaya (Bethara Guru) dan menamakan pulau tersebut dengan Jawa berasal dari kata Dawa (jawa = panjang) sesuai dengan keadaan dari pulau tersebut yang waktu itu membentang dari Aceh hingga Bali.

Setelah surut Pulau Jawa terbelah menjadi dua, dibagian barat dinamakan Pulau Sumatera dan dibagian timur masih disebut dengan pulau Jawa. Sebagian Gunung Krakatau tenggelam dan menjadi Selat Sunda dan Negeri Samaskuta amblas ke bumi menjadi danau Sinkara (Singkarak) di Padang. 

Dalam buku "Catatsrophe - An Investigation into the origin of the modern world", David Keys memperkirakan peristiwa meletusnya Gunung Krakatau adalah petengahan Abad ke-6 Masehi atau tahun 535 Masehi. Ia juga merujuk Catatan China dalam "History of Southern Dynasties (of Sung)" bahwa pada Desember tahun 529 Masehi terdengar gemuruh yang datangnya dari arah barat daya negeri itu sebanyak 2 kali ledakan. Suara tersebut diperkirakan berasal dari letusan Gunung Krakatau. Dr Wohletz dan David Keys membuat simulasi komputer atas peristiwa letusan Krakatau itu dengan memperkirakan bahwa sebaran magma sebanyak 200 kubik per kilometer dengan diameter 50 kilometer (diperkiran lebih besar dari letusan Gunung Tambora Flores tahun 1815 M). Peristiwa itu membuat Gunung Proto-Krakatau meninggalkan kawah kaldera sehingga memisahkan Pulau Jawa dan Sumatera. Hasilnya seperti pada gambar di atas.

Muncul sebuah pertanyaan apa yang terjadi sebenarnya sehingga terdapat rentang perbedaan tahun kejadian yang jauh sekitar 119 tahun. David Keys memperkirakan kejadiannya tahun 535 M senebtara dalam Buku Raja Purwa (The Book of Ancient Kings) ditulis tahun 436 Masehi. Mungkin terdapat kekeliruan disaat buku Raja Purwa ditulis berdasarka tradisi lisan sebelumnya yang disampaikan secara turun. Sementara dokumen dibuat 1000 tahun kemudian, tentu terjadi bias dan kekeliruan. Yang terpenting bagi kita, menurut David Keys, adalah adanya peristiwa dan indikasi bukti sejarah letusan Gunung Krakatau di masa lalu.

Hasil simulasi Komputer oleh Dr Wohletz atas peristiwa letusan Gunung Kratau juga tidak dapat menentukan kapan peristiwa itu terjadi. Hanya bisa menampilkan efek dari letusan tersebut. Catatan paling kuno dari negeri China menyebutkan bahwa dahulu Pulau Jawa dan Sumatera adalah daratan yang menyatu. Kondisi seperti itu hingga tahun 400 Masehi, Jawa dan Sumatera tetap menyatu. Demikian seperti dikutip dari artikel Prof Chihara, seorang ahli penelitian arsitektur Jawa Kuno. Namun pendapat Prof Chihara belum dapat dijadikan bukti sejarah.

Tahun 416 Masehi adalah masa pemerintahan Tarumanagara oleh raja ke-3 yaitu Sang Purnawarman (395-434 M).  Kemudian dilanjutkan masa pemerintahan Sang Wisnuwarman (434-445 M). Pada dua paruh terang, bulan Magha tiga ratus lima puluh tujuh di tahun Saka (357 S/435 M). Maharaja Tarumanagara mengutus dutanya di negeri China. Meskipun demikian, prasasti Pasir Muara (Kebon Kopi II) menuliskan bahwa:

    Ini sabdakalanda rakryang juru pengambat I kawihaji panyaca pasagi marsandeca.
Terjemahan dari tulisan tersebut adalah:

“Ini tanda ucapan rahyang juru pengambat, Berpulihkan haji sunda dalam tahun 854 Saka bahwa pemerintah daerah dipulihkan kepada Raja Sunda”.

Prasasti Pasir Muara (Prasasti Kebon Kopi II) ini berangka tahun 854 C (932 M). Prasasti yang berbahasa Melayu kuna ini ditemukan di Desa Kebon Kopi, Kabupaten Bogor. Diperkirakan bahwa "Juru Pangambat" sebagai seorang "pemangku".  Angka tahun yang dibaca oleh David Keys pada Prasasti Muara adalah bukan 854 Saka melainkan terbalik menjadi 458 Saka atau sekira tahun 535/536 Masehi.

Pada tahun 535 M adalah masa pemerintahan peralihan di Tarumanagara raja ke-6 yaitu Chandrawarman (515-535 M) ke raja ke-7 yaitu Suryawarman 535-568 M). Dalam masa pemerintahan Suryawarman ini, Menantunya yaitu Gururesi Manikmaya mendirikan kerajaan Kendan (di sekitar Bandung). Menurut Keys, ini juga mungkin berkaitan dengan kedudukan pemerintahan Tarumanagara akibat letusan Gunung Krakatau yang memblah pulau menjadi dua yaitu Jawa dan Sumatra.

Pulau Api seperti dalam ilustrasi di atas, menjelaskan seperti yang dimaksud dalam The book of Kings in the land of Archipelago adalah pulau dimana Gunung Api (Gunung Kapi atau Krakatau) berada.  Fakta bahwa Jawa Barat, Pulau Api menyatu dengan pulau Sumatera. Terbelahnya kedua bagian pulau panjang (Dawa) tersebut setidaknya pada abad ke-2 Mashi.

Peristiwa letusan Kratakau tahun 1883 mengkonfirmasi betapa besarnya efek letusan tersebut. Letusan Krakatau 1883 mengguncang dunia, dimana 813 meter gunung itu meledak ke udara. Suara ledakannya terdengar sejauh 3500 km hingga Perth bagian barat Australia dan Pulau Rodrigues di Samudra Hindia yang berjarak 4800 km jauhnya. Mega Tsunami menghancurkan kota dan perkampungan di sepanjang pantai Jawa dan Sumatera dan merenggut 10 ribu jiwa bahkan ada yang menyebutkan angka 36.417 jiwa.



Mempengaruhi Eropa

Letusan Gunung Krakatau 1883 dilaporkan dalam Jurnal Nature. Sebuah puisi Victorian dikutip oleh Gerald Manley Hopkins (1884 - 1889) yang menjelaskan warna matahari ketika terbenam (sunset) pada 19 Oktober 1884 di Dublin.

Lihat juga versi videonya...



Sebanyak 11 baris puisi St Telemachus karya Alfred Tennyson dikutip untuk menggambarkan siatuasi Eropa sebagai efek letusan Gunung Krakatau.


    Had the fierce ashes of some fiery peak
    Been hurl’d so high they ranged about the globe?
    For day by day, thro’ many a blood-red eve,
    In that four-hundredth summer after Christ,
    The wrathful sunset glared against a cross
    Rear’d on the tumbled ruins of an old fane
    No longer sacred to the Sun, and flamed

Bahwa abu ganas dari puncak gunung yang berapi menutupi dunia. Hari demi hari, malam berwarna merah darah, Pada musim panas ke empat ratus setelah Kristus (400 Masehi), seolah Matahari terbenam dalam murka melotot ke salib. Tidak lagi suci bagi Matahari, dan dinyalakan.


 

 Mengutip dari Davis Keys, bahwa puisi tersebut menggambarkan "Kakatau" dimana puisi Victorian tersebut ditulis pasca kejadian letusan Gunung Krakatau. Pada tahun 2003, Prof Jeff Matthews menjabarkan bahwa puisi St Telemachus telah menggambarkan kondisi atmosfer saat itu (1884) sama dengan kondisi tahun 400 M ketika seorang pendeta Almachius (st Telemachus) mendengar suara Tuhan di Asia (Sekarang Asia Minor atau Anatoria) yang menuju Romawi untuk menghentikan permainan Gladiator. Setelah kematian St Telemachus sebagai Martir, Kaisar Honorius melarang Gladiator di Romawi untuk selamanya.

Sejak letusan besar Gunung Krakatau 1883, tidak ada lagi gunung terslihat di selat Sunda. Namun mulai tahun 1927 muncul Gunung Anak Krakatau yang terus tumbuh. Hingga tahun 2005 ketinggiannya mencapai 300 meter.


Referensi

  1. Iguchii, Masatoshi. 2015. "Java Essay: The History and Culture of a Southern Country". UK ed. edition: Troubador Publishing Ltd. ISBN-13: 978-1784621513 google Books Diakses 3 Juli 2019.
  2. Judd, J.W. "The earlier eruption of Krakatau", Nature 40, 1889, 365. Pustaka Raja Purwa (Book of Ancient King).
  3. Leadbeater, C.W. 1951. "The Occult History Of Java". India, Adyar Madras: The Theosophical Publishing House. Versi online theosophist.org Diakses 3 Juli 2019.
  4. Tennyson, Alfred. "St Telemachus. telelib Diakses 3 Juli 2019.
  5. "Ancient Times in the Malay Peninsula". Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society Vol. XVII. 1939. Indian Agricultural Research Institute, New Delhi. SINGAPORE: Printers Limited.  archive.org Diakses 3 Juli 2019.
  6. "Menelusuri Jejak Cerita Rama Dalam Serat Pustakaraja Karya Pujangga R. Ng. Ranggawarsita" Majalah Jumantara Edisi : Vol. 3 No. 1 - April 2012. perpusnas.go.id Diakses 3 Juli 2019

Sponsor