Cari

Sejarah Kerajaan Sumedang Larang


[Historiana] - Kerajaan Sumedang Larang memiliki alur kisah sejarah yang panjang. Beberapa pembaca Historiana menelusuri 'kadipaten-kadipaten' yang berada di bawah kerajaan Sumedang Larang. Tentunya tidak akan diketemukan. Penyebabnya sistem pemerintahan seperti itu hanya berlaku setelah Kerajaan Sumedang Larang berada di bawah Kerajaan Mataram Islam. Dan Sumedang Larang pada akhirnya setingkat Kabupatian sesuai struktur pemerintahan Mataram Islam.

Menurut pendapat ahli sejarah, runtuhnya kerajaan Padjadjaran pada abad ke 16 erat kaitannya dengan perkembangan kerajaan Sumedang Larang, Kekuasan Padjadjaran berakhir setelah adanya serangan laskar gabungan dari kerajaan Banten, Pakungwati, Demak dan Angke. Pada waktu itu Sumedang Larang tidak ikut runtuh karena sebagian besar rakyatnya sudah memeluk Agama Islam yang datang dari arah timur, oleh karena itu pula pemegang pemerintahan kerajaan Sumedang Larang waktu itu adalah Pangeran Kusumahdinata yang berkuasa dari tahun 1530-1578, yang lebih dikenal dengan sebutan Pangeran Santri.

Secara singkat, sejarah Sumedang yang penulis kutip dari laman jabarprov.go.id, menggambarkan kronologinya. Berdasarkan catatan sejarah yang ada, sebelum menjadi Kabupaten Sumedang  seperti sekarang ini, telah terjadi beberapa peristiwa penting diantaranya :
  1. Pada mulanya kabupaten Sumedang adalah sebuah kerajaan  bernama Kerajaan Tembong Agung dengan rajanya bernama Prabu Galuh Hadji Adji Putih (Adji Purwa Sumedang )
  2. Pada masa pemerintahan Prabu Tuntang Buana yang juga dikenal dengan sebutan Prabu Tadjimalela, Kerajaan Tembong Agung berubah nama menjadi kerajaan Sumedang Larang
  3. Kerajaan Sumedang Larang mencapai masa keemasan pada masa pemerintahan Pangeran Angka Widjaya atau dikenal dengan sebutan Prabu Geusan Ulun. Pada masa pemerintahan Prabu Geusan Ulun inilah diterapkan mulainya Sistem Pemerintahan Kabupaten
  4. Pada tanggal 22 april 1579, Prabu Geusan Ulun dinobatkan menjadi Prabu Sumedang Larang oleh Prabu Siliwangi. Penobatan ini menjadi titik awal berkembangnya Kabupaten Sumedang sebagai sebuah pemerintahan yang memiliki otoritas penuh. Oleh sebab itu Tanggal 22 April ditetapkan menjadi hari jadi Kota Sumedang.
Mari kita memerhatikan pada periode awal Sumedang Larang pasca runtuhnya Kerajaan Pajajaran. Struktur pemerintahan kerajaan masih menginduk ke sistem kerajaan Pajajaran. Pada masa pemerintahan Prabu Geusan Ulun, menurut catatan Bayu Suryaningngrat (1983:21) terdapat 44 Kandaga (Kepala Rakyat), terdiri dari 26 Kandaga Lante (Kepala Wilayah) dan 18 umbul dengan cacah sekitar 9000 jiwa umpi. Sedangkan menurut Asikin Wijaya Kusumah menjelaskan bahwa banyaknya pengikut Pangeran Geusan Ulun terdiri dari 40 Kandaga dan 4 Kandaga Lante ditambah 9000 jiwa umpi (Adeng, 2003:13).

Proses Pembentukan Kerajaan Sumedang Larang 

Kerajaan Sumedang Larang berasal dari pecahan Kerajaan Sunda-Galuh yang didirikan oleh Wretikandayun pada tahun 612 Masehi. Cikal bakal Kerajaan Sumedang Larang berawal dari Kerajaan Tembong Agung yang didirikan oleh Prabu Guru Aji Putih yang memerintah sekitar tahun 1500, atas perintah Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke Pajajaran, Bogor. Prabu Guru Aji Putih adalah putra Aria Bima Raksa/ Ki Balangantrang atau dikenal dengan nama Resi Agung, senapati Galuh cucu dari Wretikandayun. Menurut Carita Parahyangan, Prabu Guru Aji Putih bersaudara dengan Prabu Permana atau Prabu Sri Baduga Maharaja (+1498-1521) dari Kerajaan Sunda (Lubis, 2008:104).

Aria Bimaraksa adalah Senapati Galuh, cucu dari Wretikandayun pendiri Kerajaan Galuh. Ia datang ke Leuwihideung bersama keluarganya. Pada saat itu Bimaraksa berhasil meloloskan diri dari kejaran pengikut Prabu Sanjaya, putra Bratasenawa yang mengambil alih Kerajaan Galuh dari Purbasora, sepupu Bimaraksa. Dalam peristiwa itu Purbasora terbunuh oleh Sanjaya. Pertikaian untuk memperebutkan tahta Kerajaan Galuh terjadi di antara cucu dan cicit Wretikandayun, pendiri Kerajaan Galuh.

Baca juga:

Bimaraksa dan keluarganya bersembunyi di sekitar Muara Sungai Cihonje yang tidak jauh dari Leuwihideung. Untuk menghindari kecurigaan Prabu Sonjaya ia mendirikan gubug untuk tempat berlindung, kemudian membuka lahan pertanian dengan memanfaatkan lahan di sekitar tepian Sungai Cimanuk dan Leuwihideung. Sejak itu muncullah dusun-dusun pertanian di sepanjang Sungai Cihonje dan Sungai Cimanuk. Mereka bercocok tanam dengan memanfaatkan sungai sebagai sarana pengairan. Aria Bimaraksa kemudian mendirikan Padepokan Tembong Agung di Kampung Muhara. Kehadiran Padepokan Tembong Agung dapat mendorong pada perkembangan keagamaan dan kebudayaan.

Secara perlahan padepokan tersebut menjadi pusat penyebaran agama dan kebudayaan Sunda. Kemudian padepokan tersebut dikembangkan oleh putranya yaitu Prabu Guru Aji Putih. Selanjutnya Aria Bimaraksa pergi ke daerah utara tepian Sungai Cimanuk, di sana ia mendirikan padepokan “Bagala Asih Panyipuhan” di daerah Cipeueut. Bagala artinya tempat, asih artinya menghaluskan perasaan dan menciptakan cinta kasih terhadap Sanghyang Murbawisesa pencipta alam semesta dan cinta kasih sesama manusia, dan panyipuhan artinya menempa jiwa atau mental (Rosmana, et al, 2009:128).

Prabu Guru Aji Putih yang merupakan keturunan dari Galuh mampu membawa perubahan-perubahan dalam tata kehidupan masyarakat setempat yang telah ada dan dirintis oleh Aria Bimaraksa atau Resi Agung. Secara perlahan dusun-dusun di sekitar pinggiran Sungai Cimanuk diikat oleh struktur pemerintahan dan kemasyarakatan hingga berdiri Kerajaan Tembong Agung sebagai cikal bakal Kerajaan Sumedang Larang. Kerajaan Tembong Agung terletak di Citembong Girang Kecamatan Ganeas Sumedang, kemudian pindah ke Kampung Muhara Desa Leuwi Hideung, Kecamatan Darmaraja sekarang.

Prabu Guru Aji Putih adalah putra Aria Bimaraksa atau Resi Agung dari istrinya yang bernama Dewi Komalasari. Dari pernikahannya dengan Dewi Nawangwulan ia dikaruniai empat orang putra, yaitu:
1. Batara Kusumah/ Batara Tuntang Buana/Prabu Tajimalela
2. Sakawayana/ Aji Saka
3. Haris Darma
4. Jagat Buana/ Langlang Buana

Kedudukan Kerajaan Tembong Agung berada dalam lingkaran situasi dan kondisi pengaruh kerajaan-kerajaan besar di Tatar Sunda. Prabu Guru Aji Putih telah mampu menyatukan dusun-dusun yang tersebar di daerah kaki Gunung Mandalasakti (Cakrabuana), Gunung Sanghyang, Gunung Penuh (Sindang kasih), Gunung Simpay, Gunung Jagat, Gunung Tampomas, Gunung Geulis, Gunung Langlangbuana, Gunung Kumala, dan Gunung Rengganis untuk berada dalam wilayah Kerajaan Tembong Agung. Daerah yang tersebar di bagian utara, yaitu Gunung Pangreugreug dan Gunung Julang juga masuk dalam wilayahnya. Perkembangan Kerajaan Tembong Agung pun mulai diperhitungkan oleh kerajaan lain karena mendapat pengakuan dan dukungan dari Kerajaan Galuh.

Baca juga:

Suatu kerajaan bila merujuk pada pengertian, adalah bentuk sebuah negara yang berdiri sendiri (merdeka) atau di bawah pengaruh negara lain yang lebih besar/kuasa. Kerajaan diperintah oleh seorang raja yang memiliki wilayah sendiri, sistem pemerintahan, serta rakyat sendiri, dan keberadaannya diakui oleh negara-negara lain. Seorang raja mengangkat dirinya sendiri dan atau diangkat oleh pengikutnya sebagai kepala pemerintahan, dan selanjutnya yang menjadi penggantinya adalah mereka yang mempunyai hubungan darah dan atau hubungan perkawinan dengan raja pertama. Mereka membentuk elit pemerintahan berdasarkan keturunan dan perkawinan. Demikian pula halnya yang terjadi di Kerajaan Tembong Agung.

Setelah Prabu Guru Aji putih wafat maka selanjutnya tahta diserahkan kepada putra sulungnya, yaitu Batara Tuntang Buana atau lebih dikenal dengan nama Tajimalela. Prabu Guru Aji Putih dimakamkan di Astana Cipeueut, Kampung Cipeueut, Desa Cipaku, Kecamatan Darmaraja. Tidak jauh dari areal makam Prabu Guru Aji putih adalah makam istrinya Dewi Nawangwulan, dan Resi Agung, ayahandanya. Dalam sumber tradisi disebutkan bahwa suatu waktu Batara Tuntang Buana berkelana mencari tempat yang sepi untuk mempelajari “elmu Kasumedangan” yang terdiri atas tiga puluh tiga pasal. Dalam pencariannya, ia melewati beberapa tempat di antaranya Gunung Merak, Gunung Pulosari, Gunung Puyuh, Gorowong, Ganeas, Gunung Lingga, dan tempat lainnya. Suatu ketika, ia berhenti di suatu daerah yang dianggapnya tepat untuk dijadikan tempat memperdalam ilmu Kasumedangan. Daerah itu bernama Gunung Mandala Sakti, di sekitar Situraja, di sanalah Batara Tuntang Buana memperdalam ilmu Kasumedangan hingga gunung itu terbelah. Demikian hebatnya ilmu yang dimiliki Batara Tuntang Buana sehingga ia mampu membalut (menyimpay) kembali gunung tersebut sehingga kemudian gunung tersebut dinamakan Gunung Simpay (Lubis, et al. 2008:104).

Batara Tuntang Buana kemudian turun gunung setelah selesai mempelajari ilmu Kasumedangan. Selanjutnya Batara Tuntang Buana lebih memilih membentuk kerajaan baru dengan nama Kerajaan Sumedang Larang daripada meneruskan nama Kerajaan Tembong Agung meskipun lokasinya tetap berada di Tembong Agung dengan ibukota Leuwihideung, Darmaraja sekarang.

Setelah mendirikan Kerajaan Sumedang Larang, ia mengganti namanya menjadi Prabu Tajimalela, ia yang menjadi raja pertama Kerajaan Sumedang Larang. Mengenai asal nama Sumedang, menurut legenda masyarakat Sumedang, kata Sumedang berasal dari rangkaian kata ingsun medal, ingsun madangan. Batara Tuntang Buana atau Prabu Tajimalela dianggap sebagai raja yang memunculkan nama Sumedang. Hal ini terjadi ketika ia menobatkan putra keduanya, Gajah Agung sebagai penggantinya. Saat itu terjadi peristiwa alam, langit diterangi oleh cahaya melengkung menyerupai selendang atau taji selama tiga hari tiga malam, hingga ia berucap: Ingsun medal ingsun madangan, kaula bijil, kaula nyaangan (aku lahir, aku memberi penerangan) sehingga muncul kata Sumedang.

Sedangkan secara etimologis kata Sumedang Larang merupakan bentuk dari kata Su yang berarti bagus, Medang yang berarti luas, dan Larang yang berarti jarang bandingannya. Dengan demikian, Sumedang Larang berarti tanah luas bagus yang jarang bandingannya. Batara Tuntang Buana mempunyai tiga orang putra, yaitu:
1. Jayabrata/Batara Sakti/Prabu Lembu Agung
2. Atmabrata/Bagawan Batara Wirayuda/Prabu Gajah Agung
3. Mariana Jaya/Batara Dikusuma/Sunan Ulun

Oleh karena ingin menyempumakan ilmunya Prabu Tajimalela bermaksud meninggalkan keraton untuk melakukan tapabrata, tahta pun diserahkan kepada putranya. Yang pertama menjadi raja kedua Sumedang Larang adalah Lembu Agung, tetapi kemudian digantikan oleh adiknya, Gajah Agung karena Lembu Agung lebih memilih menjadi resi.

Dalam Babad Layang Darmaraja disebutkan, ketika Prabu Tajimalela menunjuk Lembu Agung untuk menjadi Raja Sumedang Larang yang kedua, ia menolaknya. Lembu Agung lebih memilih menjadi resi seperti adiknya Ulun daripada menjadi seorang raja. Demikian pula Gajah Agung, ia menolak menjadi raja. Oleh karena itu, kemudian Prabu Tajimalela memberi ujian kepada kedua putra kembarnya dengan perjanjian bahwa yang kalah harus menjadi raja. Prabu Tajimalela segera memerintahkan Lembu Agung dan Gajah Agung untuk pergi menuju Gunung Nurmala (sekarang Gunung Sangkanjaya). Keduanya diperintahkan untuk menjaga sebuah kelapa muda dan sebilah pedang.

Setelah menunggu beberapa lama, Prabu Lembu Agung meminta izin kepada adiknya untuk pergi sementara waktu. Tinggallah Prabu Gajah Agung seorang diri hingga akhirnya ia tidak kuasa lagi menahan haus. Maka ia pun segera membelah kelapa yang sejak tadi dijaganya kemudian meminum airnya. Oleh karena kegagalan menjaga buah kelapa tersebut, akhirnya Prabu Tajimalela menunjuk Atmabrata yang dikenal sebagai Prabu Gajah Agung menjadi Raja Sumedang Larang menggantikan kedudukannya, tetapi dengan syarat wilayah ibukota harus mencari sendiri. Sedangkan Prabu Lembu Agung tetap di Leuwihideung, menjadi raja sementara untuk memenuhi wasiat Prabu Tajimalela. Selanjutnya Prabu Lembu Agung menjadi resi dan para keturunannya menetap di Darmaraja, sedangkan keturunan adiknya, Sunan Ulun tersebar di Limbangan, Karawang, dan Brebes.

Periode pemerintahan kedua keturunan Prabu Tajimalela lebih kepada karesian daripada keprabuan. Prabu Taji Malela dimakamkan di Gunung Lingga, Desa Cimarga, Kecamatan Cisitu, Sumedang. Sesuai dengan syarat dan amanat dari ayahnya, Prabu Gajah Agung memindahkan pusat pemerintahan dari Darmaraja ke Ciguling, Desa Pasanggrahan. Prabu Gajah Agung kemudian menyerahkan tahta kerajaan kepada putranya yang bernama Wirajaya atau Jagabaya. Prabu Gajah Agung dimakamkan di Cicanting, Desa Sukamenak, Kecamatan Darmaraja. Sedangkan adiknya, Prabu Lembu Agung dimakamkan di Astana Gede Cipaku, Kecamatan Darmaraja. Wirajaya atau Jagabaya, dikenal sebagai Sunan Pagulingan menjadi Raja Sumedang Larang ke-4.

Setelah Sunan Pagulingan wafat, kedudukannya digantikan oleh putranya yang bernama Mertalaya. Makam Sunan Pagulingan terletak di Dusun Nangtung, Desa Ciherang, Kecamatan Sumedang Utara. Di areal makam tersebut selain makam Sunan Pagulingan, juga terdapat makam istrinya dan makam Singakerta, pengawalnya. Mertalaya, putra Sunan Paguling, dikenal dengan gelar Sunan Guling, menjadi Raja Sumedang Larang ke-5. Ia mempunyai 3 orang putra, yaitu:
1. Tirta kusuma
2. Jayadinata
3. Kusuma Jayadiningrat

Tirtakusuma sebagai putra pertama Sunan Guling adalah penerima tahta kerajaan selanjutnya setelah Sunan Guling wafat. Sunan Guling di makamkan di Dusun Ciguling, Desa Pasangrahan, Kecamatan Sumedang Selatan. Ciguling merupakan bekas ibukota terlama sejak pemerintahan Prabu Gajah Agung sampai masa pemerintahan Nyi Mas Patuakan. Tirtakusuma atau Sunan Tuakan, putra Sunan Guling, menjadi Raja Sumedang Larang ke-6. Sunan Tuakan dimakamkan di Dusun Heubeul Isuk, Desa Cinanggerang, Sumedang Selatan. Ia memiliki 3 putra, yaitu:
1. Ratu Ratnasih/Nyi Rajamantri
2. Ratu Sintawati/Nyi Mas Patuakan
3. Sari Kencana.

Oleh karena putri pertama Sunan Tuakan yaitu Nyi Rajamantri diperistri oleh Prabu Surawisesa Raja Pajajaran maka selanjutnya tahta kerajaan diserahkan kepada putri keduanya, Ratu Sintawati yang bergelar Nyi Mas Ratu Patuakan, menjadi Raja Sumedang Larang ke-7.

Nyi Mas Ratu Patuakan menikah dengan Sunan Corenda, Raja Talaga putra Ratu Simbar Kancana dari Kusumalaya, putra Dewa Niskala penguasa Galuh. Sunan Corenda mempunyai 2 orang istri, yaitu Mayangsari, putri Langlangbuana dari Kuningan, dan Sintawati (Nyi Mas Patuakan) dari Sumedang. Dari Nyi Mas Patuakan lahir seorang putri bernama Satyasih atau Nyi Mas Ratu Inten Dewata. Nyi Mas Ratu Inten Dewata, putri Nyi Mas Ratu Patuakan kemudian mengganti kedudukan ibunya sebagai Raja Sumedang Larang ke-8. Setelah menjadi ratu, Nyi Mas Ratu Inten Dewata bergelar Ratu Pucuk Umun. Ia menikah dengan seorang pangeran ulama Islam dari Cirebon bernama Pangeran Santri. Pangeran Santri adalah putra Pangeran Palakaran dari istrinya Mertasari, putri Sunan Gunung Jati. Sedangkan Pangeran Palakaran adalah putra Ario Damar, Sultan Palembang keturunan Majapahit.

Dari keterangan di atas jelas pula bahwa Pangeran Santri adalah cucu Sunan Gunung Jati menurut garis ibu. Pangeran Santri diperkirakan wafat pada tahun 1578, dimakamkan di Gunung Ciung, Kota Sumedang.

Oleh karena Pangeran Santri menikah dengan seorang ratu, maka ia disebut bupati. Ini berarti bahwa yang menjadi ratu dan kepala pemerintahan Sumedang Larang adalah tetap Ratu Pucuk Umun. Pangeran Santri adalah bupati pertama yang menganut agama Islam dan membangun Kutamaya sebagai ibukota baru dan menjadi pusat pemerintahan. Kutamaya terletak di sebuah dataran yang sekarang menjadi daerah pesawahan dan pemukiman (Suryaningrat, 1983:17).

Telah diuraikan di atas bahwa pada masa pemerintahan Nyi Mas Patuakan, sekitar tahun 1529 Masehi agama Islam mulai menyebar di Sumedang. Penyebar agama Islam di Sumedang adalah Maulana Muhammad alias Raden Kusen alias Pangeran Palakaran, ayah Pangeran Santri. Pangeran Palakaran adalah putra Aria Damar, wali pemerintahan Majapahit, juga Sultan Palembang ketika Palembang di bawah kekuasaan Majapahit. Akan tetapi setelah Majapahit runtuh akhirnya Pangeran Palakaran yang semula beragama Hindu masuk agama Islam, lalu ia pergi menuju Cirebon untuk menetap dan berguru kepada Sunan Gunung Jati.

Di Cirebon ia menjadi ulama dan menikah dengan Mertasari, putri Sunan Gunung Jati dari istrinya yang bernama Nyi Mas Kusumasari. Dari pernikahan itu lahir Pangeran Santri, kelak ia menikah dengan penguasa Kerajaan Sumedang Larang, Ratu Pucuk Umun. Dari perkawinan itu lahir 6 orang putra, yaitu:
1. Rd. Angkawijaya/ P. Geusan Ulun
2. Kyai Rangga Haji.
3. Kyai Demang Watang di Walakung
4. Santowan Wirakusumah
5. Santowan Cikeruh
6. Santowan Awi Luar


Perkembangan dan Keruntuhan Kerajaan Sumedang Larang 

Kerajaan Sunda runtuh pada tahun 1579, akibat serangan dari pasukan Banten yang dipimpin oleh Maulana Yusuf. Menurut Tome Pires, proses menuju keruntuhan Kerajaan Sunda sebenarnya telah berlangsung lama yaitu sejak tahun 1513. Pada masa Raja Nilakendra atau Tohaan di Majaya naik tahta sebagai penguasa Kerajaan Sunda Pajajaran yang kelima (1551-1567), situasi kenegaraan dalam keadaan tidak menentu, bahkan frustasi sedang melanda segala lapisan masyarakat. Nilakendra lebih memilih hidup berfoya-foya dengan berpesta pora daripada mempersiapkan pasukan kerajaan untuk menghadapi serangan dari kerajaan Banten yang bisa datang setiap saat.

Sebagai penganut ajaran Tantra yang lebih mengutamakan mantra-mantra ia membuat sebuah bendera keramat “Ngibuda Sanghyang Panji” yang dipercaya bisa menjadi penolak musuh. Kenyataannya laskar Banten tetap melakukan penyerangan, tidak bisa ditakut-takuti dengan “bendera keramat” itu.

Akhirnya Nilakendra kalah perang dan segera meninggalkan keraton. Menurut buku Sejarah Banten, serangan ke Kerajaan Sunda Pajajaran melibatkan Sultan Hasanuddin dengan putranya Pangeran Maulana Yusuf. Dapat disimpulkan bahwa yang tampil dalam serangan ini adalah putra mahkota yaitu Pangeran Maulana Yusuf. Kekalahan Raja Nilakendra ini terjadi ketika Sunan Gunung Jati masih hidup, karena ia meninggal pada tahun 1568.

Sejak itu ibukota Pajajaran telah ditinggalkan oleh rajanya dan dibiarkan nasibnya berada di tangan penduduk dan para prajurit yang ditinggalkan. Tetapi ternyata Kerajaan Sunda Pajajaran masih sanggup bertahan 12 tahun lagi hingga tahun 1579 sebagai puncak keruntuhannya. Raja Kerajaan Sunda Pajajaran selanjutnya adalah Raga Mulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579). Ia tidak berkedudukan di Pajajaran tetapi di Pulasari, Pandeglang. Kemungkinan kedudukannya di daerah Kadu Hejo, Kecamatan Menes pada lereng Gunung Pulasari (Danasasmita, et al, 1983/1984:80).

Setelah raja tidak lagi berkedudukan di ibukota, maka kehidupan Pakuan Pajajaran sebagai pusat pemerintahan sebenarnya sudah berakhir. Meskipun runtuhnya Kerajaan Sunda Pajajaran merupakan suatu proses yang panjang, tetapi puncak kemunduran kekuasaan Kerajaan Sunda Pajajaran adalah ketika direbut dan dikuasainya Kerajaan Sunda Pajajaran oleh Banten pada tanggal 11 bagian terang bulan wesaka tahun 1501 Saka, kira-kira jatuh pada tanggal 8 Mei 1579.

Salah satu sebab runtuhnya Kerajaan Sunda yang penduduknya beragama Hindu dan animisme adalah karena masuknya agama Islam ke dalam wilayah Kerajaan Sunda. Keadaan Kerajaan Sunda Pajajaran menjadi tidak menentu, kegiatan pemerintahan berhenti total karena tidak ada pemimpinnya. Rajanya, Nusiya Mulya ngahiyang tanpa bekas, rakyat bersembunyi ke gunung-gunung yang belum pernah dijamah manusia. Banyak penduduk pusat Kerajaan Sunda Pajajaran yang menyingkir menyelamatkan diri dari peperangan. Runtuhnya Kerajaan Sunda Pajajaran ini juga mengakibatkan terjadinya perpecahan wilayah sehingga muncul kerajaan-kerajaan daerah yang merdeka dan berdaulat seperti Cirebon, Banten, dan Sumedang Larang. Runtuhnya Kerajaan Sunda Pajajaran tersebut dikenal dengan istilah “Burak Pajajaran”.

Baca juga:

Dapat dibayangkan, suatu daerah bekas pusat kerajaan yang besar setelah mengalami kekalahan, tanpa ada pemerintahan baru, kemudian diduduki oleh Laskar Banten, pada akhirnya rakyat banyak yang meninggalkannya pergi ke berbagai wilayah di Jawa Barat. Menjelang runtuhnya Kerajaan Sunda Pajajaran, Raja Sumedang Larang yang berkuasa adalah Nyi Mas Ratu Inten Dewata atau Ratu Pucuk Umun dan suaminya, Pangeran Santri. Pada masa pemerintahan Ratu Pucuk Umun kekuatan dan kekuasaan Kerajaan Sunda Pajajaran sudah tidak terasa lagi di beberapa negara bawahannya, apalagi di Sumedang Larang yang letaknya jauh dari pusat kerajaan Pajajaran. Oleh sebab itu sekitar tahun 1575, sebelum Kerajaan Sunda Pajajaran benar-benar runtuh pada tahun 1579, Kerajaan Sumedang Larang menjadi kerajaan merdeka secara “de facto”. Pada masa kejayaan Kerajaan Sunda Pajajaran, Sumedang Larang adalah kerajaan daerah yang terbesar kekuasaan, kekuatan dan wilayahnya serta terbanyak penduduknya.

Setelah pemerintahan Ratu Pucuk Umun, selanjutnya tahta kerajaan diserahkan kepada putra sulungnya, Raden Angkawijaya. Setelah dinobatkan menjadi raja, Raden Angkawijaya mendapat gelar Prabu Geusan Ulun. Ia merupakan penerus tahta Kerajaan Sumedang Larang yang memerintah dari tahun 1578 sampai tahun 1608. Naik tahtanya Prabu Geusan Ulun seringkali dikaitkan dengan runtuhnya Kerajaan Sunda Pajajaran. Pada masa awal pemerintahannya Kerajaan Sunda Pajajaran sedang mengalami kehancuran karena diserang oleh pasukan Banten yang dipimpin oleh Maulana Yusuf, putra Sultan Hasanuddin.

Prabu Geusan Ulun dinobatkan menjadi Raja Sumedang Larang ke-9 di usia 22 tahun pada tanggal 10 bagian terang bulan Posya tahun 1502 Saka (18 Nopember 1580), 13 bulan setelah Pangeran Santri wafat. Saat yang dipilih untuk penobatan itu telah mencerminkan suasana keislaman, sebab tanggal 18 Nopember 1580 jatuh pada hari Jumat Legi bertepatan dengan tanggal 10 Sawal tahun 988 Hijriah. Suasana lebaran dan hari Jumat. Di samping itu, menurut tradisi hari pasaran Legi (Manis) merupakan saat baik untuk memulai suatu upaya besar dan sangat penting. Peristiwa itu sangat penting karena pengukuhan Geusan Ulun sebagai Cakrawarti atau nalendra merupakan semacam “proklamasi” kebebasan Sumedang Larang yang mensejajarkan diri dengan Kerajaan Banten dan Cirebon (Danasasmita IV, 1983/1984:59).

Setelah mengetahui Kerajaan Sunda Pajajaran runtuh, Prabu Geusan Ulun tampil menyatakan dirinya sebagai “nalendra” (penguasa) dan segera memproklamirkan bahwa Kerajaan Sumedang Larang merupakan penerus Kerajaan Sunda Pajajaran dan seluruh wilayah Kerajaan Pajajaran adalah daerah kekuasaan Kerajaan Sumedang Larang. Menurut babad, wilayah kekuasaan Kerajaan Sumedang Larang meliputi daerah: di sebelah Timur dibatasi oleh Sungai Cipamali, sebelah Selatan dibatasi oleh Samudra Hindia, sebelah Barat dibatasi oleh Sungai Cipamugas (Cisadane), dan di sebelah Utara dibatasi oleh Laut Jawa.

Namun demikian tidak seluruh wilayah yang di klaim sebagai wilayah Kerajaan Sumedang Larang menjadi daerah kekuasaannya. Daerah-daerah seperti Dayeuh Pakuan Pajajaran menjadi wilayah kekuasaan Kesultanan Banten, Cirebon menjadi kerajaan yang merdeka, dan Galuh menjadi bagian Mataram Islam pada tahun 1597. Luas daerah kekuasaan Prabu Geusan Ulun dapat dilihat dari isi surat Rangga Gempol III yang dikirimkan kepada Gubernur Jenderal Willem van Outhoorn. Surat itu dibuat pada hari Senin tanggal 2 Rabiul awal tahun Je (4 Desember 1690) yang dicatat dalam buku harian VOC di Batavia tanggal 31 Januari 1691. Dalam surat itu Rangga Gempol III menuntut agar kekuasaannya dipulihkan seperti kekuasaan buyutnya yaitu Pangeran Geusan Ulun. Sumedang Larang pada masa Prabu Geusan Ulun membawahi 44 penguasa daerah yang terdiri atas 26 kandaga lante dan 18 umbul, sementara itu Rangga Gempol III hanya menguasai 11 dari 44 daerah (Danasasmita IV, 1983/1984:57).

Dengan runtuhnya Kerajaan Sunda Pajajaran maka secara tidak langsung Kerajaan Sumedang Larang menjadi pewaris Kerajaan Sunda Pajajaran. Hal ini terbukti dengan diserahkannya atribut kebesaran milik Kerajaan Sunda Pajajaran yang diserahkan kepada Kerajaan Sumedang Larang. Sebelum meninggalkan keraton, Prabu Nusiya Mulya pemegang mahkota terakhir Pajajaran mengutus 4 orang Kandaga Lante (lebih tinggi satu tingkat daripada cutak atau camat), empat bersaudara bekas senapati dan pembesar Kerajaan Pajajaran, untuk menyerahkan pusaka kerajaan kepada Prabu Geusan Ulun yang berupa mahkota Binokasih yang terbuat dari emas. Keempat Kandaga Lante tersebut a dalah:
1. Sang Hyang Hawu (Mbah Jaya Prakosa)
2. Batara Dipati Wiradijaya (Mbah Nanganan)
3. Sang Hyang Kondang Hapa
4. Batara Pancar Buana (Mbah Terong Peot)

Mahkota raja Binokasih yang diserahkan tersebut merupakan mahkota turun temurun yang dikenakan raja-raja Pajajaran sebagai lambang penguasa. Penyerahan mahkota tersebut dapat diartikan sebagai lambang bahwa yang berhak melanjutkan Pajajaran adalah Sumedang Larang. Apalagi ketika Banten melakukan penyerangan, batu penobatan raja-raja Sunda yaitu Sriman Sriwacana dibawa ke Banten dan di letakkan di Istana Surosowan sebagai batu penobatan raja-raja Banten yang disebut Watu Gilang. Dengan dibawanya batu penobatan raja-raja Sunda itu menandakan bahwa Kerajaan Sunda Pajajaran sudah berakhir karena tidak ada lagi tempat penobatan raja yang baru. Bagi Banten, meskipun merupakan sebuah kerajaan Islam, batu itu menandakan berpindahnya legitimasi kekuasaan ke tangannya (Lubis et al,2000:106).

Ibukota Kerajaan Sumedang Larang ketika itu masih berada di Kutamaya yang terletak di pinggir sebelah barat Kota Sumedang. Periode pemerintahan Prabu Geusan Ulun, merupakan periode sangat penting dalam sejarah Tatar Sunda, khususnya bagi sejarah Sumedang, mengingat dua hal. Pertama, pada masa Geusan Ulun dinobatkan menjadi raja terjadi keruntuhan Kerajaan Sunda Pajajaran akibat serangan Kesultanan Banten tahun 1579. Kedua, Prabu Geusan Ulun merupakan raja terakhir sekaligus berakhirnya Kerajaan Sumedang Larang (Lubis et al, 2008:112).


Masa pemerintahan Prabu Geusan Ulun dapat dikatakan sebagai masa kejayaan Kerajaan Sumedang Larang. Kerajaan Sumedang Larang yang pada masa kejayaan Kerajaan Sunda Pajajaran merupakan kerajaan bawahan, namun ketika Kerajaan Sunda Pajajaran runtuh maka Sumedang Larang tidak hanya menjadi kerajaan merdeka, tetapi juga dianggap mewarisi kebesaran Kerajaan Sunda Pajajaran. Bahkan daerah-daerah yang ketika Kerajaan Sunda Pajajaran melemah akibat serangan dari Banten dan berusaha melepaskan diri, kembali bisa ditaklukkan oleh pasukan Prabu Geusan Ulun. Daerah-daerah itu adalah Karawang, Ciasem, Pamanukan, dan Indramayu (Suryaningrat, 1983: 22).

Sikap Kerajaan Sumedang Larang tersebut tentu saja mengundang kemarahan Kesultanan Banten. Kesultanan Banten sebagai pemenang dalam peperangan dengan Kerajaan Sunda Pajajaran menganggap dirinya menjadi penguasa dan berhak atas seluruh wilayah yang menjadi bawahan Kerajaan Sunda Pajajaran, termasuk Sumedang Larang. Prabu Geusan Ulun meninggal pada tanggal 7 bagian gelap, bulan Kartika tahun 1530 Saka atau +/- 5 November 1608 Masehi. Saat itu kedudukan Kerajaan Pajang telah tergeser oleh Mataram, dan pada tahun 1608 diperintah oleh Mas Jolang atau dikenal dengan nama Panembahan Seda Krapyak (1601-1613 Masehi), yaitu putra Panembahan Senopati yang kedua.

Sementara itu keadaan Kerajaan Sumedang Larang sepeninggal Prabu Geusan Ulun kemudian dibagi menjadi dua wilayah. Yang pertama dipegang oleh Pangeran Rangga Gede putra sulungnya dari Nyi Mas Gedeng Waru, istri pertamanya dengan pusat pemerintahan di Dayeuh Luhur, ada juga yang mengatakan di Canukur. Yang kedua dipegang oleh Pangeran Suriadiwangsa, putra dari Ratu Harisbaya dengan ibukota di Tegalkalong. Beberapa versi menyatakan, di antaranya menurut Babad Sumedang, bahwa Pangeran Suriadiwangsa atau Rangga Gempol sebenarnya bukan anak biologis Prabu Geusan Ulun, melainkan putra dari Panembahan Girilaya Cirebon. Ketika Harisbaya melarikan diri dari Cirebon bersama Prabu Geusan Ulun, ia dalam keadaan hamil dua bulan. Bayi yang lahir adalah laki-laki diberi nama Raden Suriadiwangsa. Meskipun bukan anak kandung Prabu Geusan Ulun tetapi Pangeran Suriadiwangsa dianggap sebagai putra kandungnya sendiri karena sejak usia 2 bulan dalam kandungan ibunya ada dalam pengasuhannya.

Dengan diserahkannya kedudukan raja kepada dua orang putranya tersebut maka yang terjadi adalah adanya dualisme kepemimpinan. Mungkin karena kedua putranya umurnya sebaya atau mungkin karena Pangeran Suriadiwangsa atau Dipati Kusumadinata adalah putra angkat sejak masih dalam kandungan Ratu Harisbaya dan Pangeran Rangga Gede adalah putranya sendiri (Surianingrat, 1983: 33).

Setelah Prabu Geusan Ulun wafat, terjadi beberapa perubahan penting dalam status pemerintahan dan kewilayahan. Negeri-negeri bawahan Kerajaan Sumedang Larang banyak yang melepaskan diri, diantaranya: Karawang, Ciasem, Pamanukan, dan Indramayu sehingga wilayah Sumedang Larang menjadi lebih kecil, meliputi Bandung, Sukapura, Sumedang, dan Parakanmuncang (Cicalengka). Pada masa pemerintahan Pangeran Kusumadinata atau Pangeran Rangga Gempol (1608-1625), Mataram dengan pusat pemerintahan di sekitar Yogyakarta dan Surakarta sedang giat mengadakan ekspansi wilayah ke seluruh Pulau Jawa.

Pembentukan Kabupaten Sumedang pun berawal dari adanya upaya perluasan wilayah yang dilakukan oleh Sultan Agung. Dalam upayanya meluaskan wilayah dan pengaruhnya, Sultan Agung melakukan invasi baik ke arah barat maupun ke arah timur. Upaya invasi Mataram ini tentu saja mengancam eksistensi Kerajaan Sumedang Larang.

Pangeran Kusumadinata sebagai penguasa Sumedang Larang sudah merasa terancam oleh niat Sultan Agung tersebut meskipun Sumedang Larang belum diinvasi. Selain Mataram ada kekuatan lain yaitu Banten dan Kompeni yang juga merongrong keberadaan Sumedang Larang. Pangeran Kusumadinata kemudian menganalisa kekuatan tempur yang dimiliknya dan berkesimpulan bahwa Sumedang Larang tidak akan sanggup melawan kekuatan Mataram, Banten, maupun Kompeni. Atas dasar beberapa pertimbangan itu, pada tahun 1620 ia pergi ke Mataram untuk menyatakan bahwa Sumedang Larang bersedia menjadi negeri bawahan Mataram. Alasan paling kuat dari keputusan itu adalah karena Pangeran Kusumadinata masih keturunan Mataram dari pihak ibunya, Ratu Harisbaya yang merupakan adik Panembahan Senopati. Sejak saat itu Sumedang Larang tidak lagi berdaulat sebagai negeri kerajaan yang bebas tetapi berubah menjadi daerah bawahan Kesultanan Mataram Islam di daerah Yogyakarta.

Selanjutnya Pangeran Kusumadinata mendapat gelar Pangeran Rangga Gempol I dan menjadi bupati wedana untuk seluruh Pasundan. Sultan Agung kemudian mengubah nama wilayah yang termasuk ke dalam Sumedang Larang dengan nama Priangan. Priangan berasal dari kata “Prayangan” artinya penyerahan diri dengan hati yang suci. Sebagai penghargaan atas penyerahan diri Sumedang Larang, Sultan Agung menyerahkan pemerintahan di Priangan kepada Pangeran Kusumadinata. Sejak itu maka riwayat Kerajaan Sumedang Larang sebagai kerajaan berakhir, statusnya kini hanya sebagai kabupaten dari Mataram Islam.

Simpulan

Menelaah tentang keberadaan Kerajaan Sumedang Larang memunculkan beberapa catatan, di antaranya, karena panjangnya masa pemerintahan Kerajaan Sumedang Larang akhirnya muncul berbagai versi, baik mengenai urutan raja-raja, tahun kekuasaan, tentang peristiwa Harisbaya, dan sebagainya. Contohnya, banyak versi mengenai tahun urutan raja-rajanya, di antaranya ada versi Yayasan Pangeran Sumedang, dan versi Saleh Danasasmita, tentu dengan argumen masing-masing. Hal ini tentu saja akan memunculkan kebingungan. Sebaiknya memang ada kesepakatan, minimal jalan tengah antara pihak keluarga kerajaan dengan sejarawan mengenai susunan raja dan tahun pemerintahannya sehingga jarak perbedaan waktu tidak terlalu jomplang. Tentu saja agak sulit untuk menentukan mana yang harus menjadi pegangan mengingat sumber yang digunakan lebih banyak menggunakan sumber tradisi. Akan membutuhkan waktu yang panjang untuk bisa mengungkapkannya.

Namun demikian, apapun, bagaimanapun uraian di atas mudah-mudahan berguna sebagai bahan bukti bahwa Kerajaan Sumedang Larang pernah ada di wilayah Jawa Barat, dan pernah berjaya pada masa pemerintahan Prabu Geusan Ulun. Beberapa bukti peninggalannya satu per satu mulai terungkap, baik berupa situs bekas kerajaan maupun makam raja-rajanya. Dan kini nama Prabu Geusan Ulun telah diabadikan sebagai nama Museum di Kabupaten Sumedang.

Referensi

  1. "Kabupaten Sumedang: Profil Daerah - Sejarah" jabarprov.go.id Diakses 22 Mei 2020.
  2. "Sejarah Kerajaan Sumedang" oleh Euis Thresnawaty S. Jurnal Patanjala Vol. 3, No. 1, Maret 2011. Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung
Baca Juga

Sponsor